19. KONTRAS 🍵
--- 19. Kejutan ---
“Seharusnya aku sudah terbiasa, tetapi ternyata, aku tak sekuat itu untuk merasa biasa.”
- KONTRAS -
"Ris, kok kamu diam aja dari tadi, sih? Masih marah sama aku, ya?"
"Enggak ...," Risha menjawab pelan. Tangannya masih sibuk menulis materi yang baru saja gurunya ajarkan di papan tulis.
"Bohong banget. Orang masih diem aja gitu."
"Enggak marah, Ra. Tenggorokan aku, tuh, sakit."
"Hah? Kamu radang? Kok bisa?"
"Nggak tau." Risha mengidikkan bahu. Dalam hati dia merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya setengah toples teh ia habiskan dalam semalam. Ditambah lagi tidak minum air putih sebelum tidur. Paginya pun malah minum air es. Argh! Pantas saja tenggorokannya sakit.
Masalah lusa dengan Laura, Risha sudah tidak terlalu memikirkan. Ya, walaupun rasa kesal masih sedikit ada, tetapi melihat Laura meminta maaf tadi pagi, berhasil membuat Risha tidak tahan untuk marah lama-lama.
Jujur, Risha bingung dengan Laura yang waktu itu. Kenapa dia sangat yakin kalau ada yang aneh dengan Naufal. Ardan pun begitu. Kenapa cowok itu tadi malam sangat yakin kalau Naufal tidak baik. Sebenarnya ada apa? Ada apa dengan Naufal?
"Apa, Raaa? Aku tuh udah nggak marah sama kamu," ujar Risha saat merasa Laura menyenggolnya berkali-kali.
"Dih, melamun, ya? Itu dijemput Mas Pacar di luar."
Risha mengerjap. "Emang udah bel?"
"Udah dari tadi. Gih, sana samperin."
Risha tidak menjawab. Gadis itu membereskan peralatan tulisnya, sebelum kemudian berlalu meninggalkan Laura.
Benar saja. Sudah ada Naufal di luar kelas. Cowok itu tampak tengah berbicara serius dengan Raka. Mungkin tentang ekstrakurikuler yang mereka ikuti. Entahlah, Risha tidak ingin tahu lebih.
"Eh, udah?" tanya Naufal, saat melihat Risha sudah berdiri di sampingnya. Rautnya seketika berubah cerah saat berbicara dengan Risha.
Tidak lama kemudian, Raka pergi meninggalkan keduanya. Netranya sempat bertubrukan dengan Risha. Berhasil membuat gadis itu mengernyit melihat tatapan tidak seperti biasa yang cowok itu layangkan.
"Udah. Tumben cepet, Mas?"
"Heem. Tadi gurunya nggak masuk."
Risha mengangguk-angguk.
"Temenin ke perpus, yuk!"
"Hah? Meh apa?" tanya Risha. Gadis itu sedikit terkejut mendengar ruangan keramat itu diucapkan.
"Meh cari buku buat sinau, dong, Sayang. Sebentar lagi, 'kan UKK."
Oiya! Naufal, 'kan, anak rajin! Astaghfirullah ... kok kamu lupa, sih, Ris!
Risha merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya dia lupa kalau seseorang yang menjadi pacarnya ini merupakan orang yang terkenal pintar di tingkatannya. Pantas saja. Pasti perpustakaan sudah menjadi langganannya. Tidak seperti Risha, yang belajar saja selalu memakai SKS, alias sistem kebut satu malam.
Risha semakin merasa tidak pantas dengan Naufal.
"Hey, kok melamun. Ayo. Mau, 'kan?"
"Eh, iya. Ayo."
Tidak perlu waktu lama, kini keduanya sudah berada di dalam perpustakaan. Di tangan keduanya pun sudah ada buku--pelajaran untuk Naufal dan novel untuk Risha.
"Mas, kamu belajar tiap hari berapa jam?" celetuk Risha. Gadis itu rupanya sudah jengah dengan buku bacaannya.
"Enggak tentu. Kadang dua jam, kadang lima jam," jawabnya tanpa mengalihkan pandangan.
"Enggak capek?"
"Enggak."
Hening. Melihat respons Naufal yang seadanya, Risha kehabisan kata-kata. Gadis berlesung pipi itu kini meletakkan kepalanya di meja, dengan pandangan menghadap ke cowok yang kini berstatus kekasihnya.
Saat netra Risha tengah sibuk mengagumi ciptaan Tuhan di depannya, tiba-tiba sesuatu melintas di pikiran. Gadis itu sontak mengerjap, diikuti badan yang menegak.
"Ada apa, Rish?" tanya Naufal tiba-tiba. Cowok itu rupanya sadar dengan kelakuan aneh Risha.
"E-enggak papa." Risha tampak berpikir setelah kata itu terlontar. Sesuatu yang melintas di pikirannya terasa sangat mengganjal.
Wajah gelisah Risha ternyata tidak luput dari pandangan cowok di depannya. Membuat kerutan samar tercipta di dahi mulus itu. "Ada apa? Kok kayak mau ngomong sesuatu gitu."
"Mm ... aku meh tanya dikit ... boleh?" tanya Risha hati-hati.
Dahi Naufal semakin berkerut. "Emang meh tanya apa?"
"Mm ... kamu punya rahasia apa, Mas?"
Naufal semakin mengernyit mendengar kata itu. Detik berikutnya, tawanya pecah. Bahkan tawa itu sempat membuat pengunjung lain yang berada di perpustakaan melayangkan tatapan tidak suka ke keduanya.
"Loh, kok malah ketawa, sih!" protes Risha. Wajahnya menekuk melihat tawa lebar Naufal. Sangat menyebalkan.
"Kok kamu tiba-tiba tanya gitu, Rish. Emang kenapa?" Naufal berkata dengan sisa tawanya.
"Ya, enggak papa, sih. Pengen tau aja."
Naufal berdeham. Cowok itu kemudian menghadap ke Risha sepenuhnya. Matanya menyorot lurus. "Ada yang bilang enggak-enggak tentang aku ke kamu?"
Pandangan Risha mengedar. Ditatap seperti itu membuat dirinya salah tingkah. "E-enggak, sih. Cuma ... semalam Ardan ...."
"Ardan? Cowok pemilik Barongan, yang sering bareng kamu itu?"
"I-iya," jawab Risha takut-takut, "dia cuma sah ...."
"Sahabat? Enggak ada yang murni dari persahabatan cewek-cowok!" Lagi-lagi Naufal memotong ucapan Risha. "Jauhin Ardan. Aku nggak suka."
Kini gantian Risha yang menautkan kedua alis. Setelah semalam Ardan memintanya untuk menjauhi Naufal, kenapa kini malah Naufal yang memintanya untuk menjauhi Ardan? Sebenarnya ada apa dengan mereka?
Tatapan tajam Naufal seketika melembut setelah melihat raut Risha. Tangan besarnya bergerak menggenggam tangan mungil di depannya.
"Risha, Ardan nggak baik buat hubungan kita." Nada Naufal melembut. "Itu tadi buktinya, kan?"
Risha bergeming. Tatapan Naufal seolah menarik jiwanya ke dalam sana.
"Padahal hubungan kita belum ada sebulan. Kalo dibiarkan bisa semakin menjadi-jadi," lanjutnya dengan tatapan lembut, "Risha, jauhin Ardan, ya."
Kalimat itu seolah hipnotis untuk Risha. Raut wajah yang tadi mengisyaratkan ketidaksetujuan, kini mengangguk perlahan bagai anjing di depan majikan.
Melihat anggukan itu, lengkungan manis seketika terbit di bawah kumis tipis Naufal. "Makasih, Sayang," katanya. Genggamannya mengerat seiring senyum yang semakin mengembang.
Tidak terasa, bel masuk ternyata baru saja bunyi bersamaan dengan kata terakhir Naufal. Membuat kedua sejoli itu cepat-cepat mengambil buku yang akan mereka pinjam, lalu segera mencatatnya ke buku laporan perpustakaan.
🍵🍵🍵
"Itu tadi siapa, Mbah?" tanya Risha setelah sampai di kamar Marsinah. Dahinya mengernyit saat tidak ada sahutan dari wanita paruh baya yang tengah mengetik di ponsel jadulnya itu.
"Orang yang mau beli rumah ibumu, Nduk."
Mata Risha membulat. Dadanya bergemuruh. Ucapan lemah Marsinah ditambah nadanya yang terdengar parau berhasil membuat gadis itu lemas seketika.
"Jadi? Rumahnya jadi dijual?"
Marsinah menghela napas. Matanya berkaca-kaca saat menatap ke arah Risha.
Tidak perlu menunggu jawaban lagi. Semua sudah jelas. Tatapan itu sudah menjelaskan semua lebih dari kata-kata.
Risha berhambur memeluk wanita di depannya. Hatinya seakan diremas melihat sosok renta yang sudah ia anggap orang tua sendiri berkaca-kaca di depan matanya.
Kenapa, Ya Tuhan? Kenapa! Belum cukupkah cobaan yang Engkau kasih hingga harta satu-satunya pun Kau ambil dari kami?
Risha masih tidak menyangka dengan semua cobaan yang menimpa keluarganya. Bahkan satu per satu kepunyaan keluarganya harus dikorbankan, berharap masalah itu segera selesai dan tidak meneror lagi.
Namun, ternyata semua pemikiran itu salah. Tuhan masih belum puas menguji hambanya, hingga rumah kayu hasil jerih payah sang ibu pun mau tidak mau harus dikorbankan.
Risha mengurai pelukan. Rasa penasaran di dalam dadanya sungguh tidak bisa ditahan lagi. "Dijual berapa, Mbah?" tanyanya hati-hati.
Marsinah kembali menghela napas. Pandangannya bergerak tidak tentu. "Kata Mbah Kakung kamu, masih ditawar tujuh puluh, Nduk."
Keterangan:
Meh: mau
Sinau: Belajar
______________________________
Kok bisa rumah Risha kejual, sih :(
Kenapa?
______________________________
5 Februari 2021
©wishasaaa
Jangan lupa jejaknya. Terima kasih :)
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro