18. KONTRAS 🍵
- Gelang dan Kenangan -
🍵🍵🍵
Di perjalanan, senyum terus terukir di bibir kedua sejoli itu. Suasana suram yang tadi memenuhi rongga dada, kini berganti dengan warna cerah yang membuat wajah pun ikut berseri karenanya.
Risha memejamkan mata. Membiarkan angin malam membelai lembut wajahnya. Membiarkan tangan mungil itu bertengger manis di pundak depannya. Juga membiarkan seseorang menikmati senyum manis itu dari balik spion motor yang ditumpanginya.
Diam-diam, Ardan tersenyum melihat wajah damai itu. Wajah tanpa beban yang selalu berhasil membuat dirinya ikut semangat. Wajah yang selalu berhasil membuat dirinya khawatir saat tidak dekat. Juga wajah yang sialnya selalu menari-nari di pikirannya setiap saat. Entahlah, Ardan sendiri tidak tahu apakah ini keberuntungan atau kesialan.
Cowok bermata tajam itu melirik gelang yang melilit pergelangan tangannya, kemudian berganti melirik ke tangan mungil yang bertengger manis di pundaknya. Bibir itu lagi-lagi melengkung.
"El, aku baru tau lho, kalo di sana ada pasar malam," ujar Risha tiba-tiba. Badannya kini lebih condong ke depan agar Ardan dapat mendengar jelas suaranya.
"Mosok sih?"
"Iyaaa ... Naufal nggak pernah ngasih tau kalo ada pasar malam di sana."
Deg!
Senyum di bibir Ardan seketika luntur. Pikiran cowok itu kini berkelana ke mana-mana setelah nama itu dilontarkan Risha.
"El, kamu denger nggak, sih, aku ngomong apa?"
Bukannya menjawab, Ardan malah menepikan motornya di depan sebuah warung. Membuat gelombang samar seketika muncul di dahi Risha.
"Nal, aku mau ngomong bentar."
Gadis dengan rambut dicepol asal itu tampak kebingungan. Kepalanya celingukan melihat-lihat keadaan sekitar.
"Mau ngomong apa, El?" tanya Risha setelah turun dari motor. Keduanya kini berjalan ke arah bangku panjang yang berada di depan warung.
Ardan terlihat menghela napas. Pandangannya lurus mengarah ke mata Risha. "Nal ... jauhin Naufal."
Deg!
Mata Risha seketika membulat. Pandangannya menatap Ardan dalam, seolah menuntut untuk segera dijelaskan.
"Tolong jauhin Naufal, Nal. Dia nggak sebaik yang kamu kira."
Dahi Risha mengernyit. Sebelah tangannya bergerak meraba kening cowok di depannya. "El, kamu sakit? Ngantuk? Apa kecapean? Ayo pulang aja, deh."
"Nggak, Nal. Ini serius." Ardan menggenggam tangan Risha yang ada di dahinya. "Kamu boleh pacaran sama siapa aja, Nal. Asal jangan sama Naufal."
Tubuh Risha seketika menegang. Kepalanya menggeleng, tampak tidak percaya dengan apa yang Ardan katakan. "El, kamu kenapa, sih? Hari ini kamu bukan El yang aku kenal."
"Nala, terserah kamu mau bilang aku aneh, beda, atau gila sekalipun. Tapi yang perlu kamu tau, aku serius ngomong gini."
"El, kalo kamu nggak suka aku pacaran sama Naufal, langsung bilang aja, jangan nyebar fitnah kayak gini."
"Bukan gitu, Nal. Apa yang aku omongin itu serius. Tadi--"
"Cukup, El!" Risha menggelengkan kepala. Tangan yang masih di genggaman Ardan ditarik, seolah tidak ingin disentuh cowok itu lagi. "Udah cukup!"
Risha terlihat berdiri, hendak pergi, tetapi lengannya sudah terlebih dahulu dicekal oleh Ardan.
"Nala, deng--"
"El, kamu udah keterlaluan!" Risha memekik. Matanya menyorot kecewa. "Naufal salah apa, sih, sama kamu? Dia salah apa!"
Ardan terdiam. Hatinya ngilu saat melihat orang yang ia anggap paling tahu tentang dirinya, malah tidak percaya dengan apa yang ia katakan.
"Udahlah, El. Aku mau pulang aja." Risha sudah hampir pergi, tetapi lagi-lagi tangan besar Ardan lebih gesit menahan pergelangan tangannya.
"Ayo."
"Nggak usah. Makasih. Aku mau naik ojek aja."
Bukannya mendengarkan apa yang Risha katakan, Ardan malah semakin mengeratkan genggaman. Tangan besar itu sudah menarik lembut lengan Risha ke tempat motornya terparkir, tetapi lagi-lagi Risha mengentakkannya. Bahkan lebih kasar dari yang tadi.
"El, kamu budek, ya!"
"Nala!"
"Apa!"
Adu mulut yang keduanya lontarkan berhasil memancing semua mata dari dalam warung. Bahkan, salah seorang wanita sudah berjalan ke arah keduanya.
"Nduk, Nang. Pulang," katanya. Nadanya rendah, tetapi penuh penekanan di setiap kalimat. "Wes mbengi. Nggak baik teriak-teriak di pinggir jalan gini."
🍵🍵🍵
Risha membanting tubuhnya ke ranjang. Pikirannya kalut. Matanya memanas saat mengingat kejadian-kejadian tadi.
Entah warna apa yang tepat untuk hari ini. Entah gambar apa yang terlukis dari warna yang terjadi. Entahlah. Telalu banyak warna, hingga hanya hitam yang tampak di mata Risha.
Bahkan, mungkin jika digambar dengan diagram garis, gelombang hari ini akan sangat bervariasi. Dari puncak teratas, lalu jatuh ke palung terdalam. Semua terjadi di hari ini.
"Jadi, itu yang mau kamu omongin, El?" gumam Risha. Matanya menyorot gelang retro yang melilit pergelangan tangannya, seolah dia adalah Ardan yang menjelma.
"Iya, ini?" Risha memekik. "Jawab, El!"
Gadis yang masih memakai cardigan itu memukul pergelangan tangannya. Napasnya tersengal. Dadanya naik turun menahan amarah yang meluap.
Risha tidak habis pikir. Baru saja keduanya mengukir kenangan baru. Baru saja keduanya kembali baikan setelah masalah--yang Risha sendiri pun tidak tahu apa penyebabnya. Baru saja keduanya melepas tawa dengan suatu rasa yang menyelinap diam-diam. Namun ternyata, baru saja pula keduanya menabur benih dinding baru yang akan membuat sekat semakin tinggi dan menebal.
Andai saja Risha tahu hal ini akan terjadi, pasti tadi ia lebih memilih dimarahin Mbah Kakung daripada pergi bersama Ardan. Setidaknya, dengan memilih itu, pasti hanya akan bertahan semalaman, tidak seperti kejadian ini, yang entah akan bertahan sampai kapan lamanya.
Risha mencopot gelang yang melilit pergelangannya. Matanya memandang lekat saat sudah berada di genggaman.
"Kamu! Kenapa kamu tiba-tiba dateng dan bikin kenangan baru, sih! Apa kamu udah tahu kalo ini bakal terjadi? Apa emang niat kamu dateng biar jadi kenangan?"
Gila! Anggap saja Risha gila karena memaki benda tak bersalah yang ada di genggamannya. Bahkan tadi ia sempat berpikir ingin memukul orang yang memboncengnya pulang kalau tidak ingat orang itu adalah ojek.
Kini Risha tidak peduli lagi, yang terpenting sekarang emosinya bisa tersalur lewat benda itu.
Sial! Mata Risha semakin memanas. Pandangannya bahkan sudah mulai berkabut.
"Jawab!"
Tak!
Risha membanting gelang itu. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun. Air mata yang sedari tadi ditahan, kini runtuh sudah. Bahkan meluncur deras melewati pipi.
Pikiran Risha kembali berkecamuk saat matanya menangkap gelang yang sudah terkulai di lantai. Berbagai spekulasi bermunculan di kepalanya.
Apa maksud Ardan berkata demikian?
Kenapa cowok itu bisa berpikir kalau Naufal tidak baik untuknya?
Kenapa pula malam ini dia dan Ardan banyak mengukir kenangan?
Apa mungkin Ardan sudah merencakan semuanya?
Apa mungkin cowok itu tengah merencanakan sesuatu?
Tapi apa? Apa! Tolong siapa pun jelaskan pada Risha, rencana apa yang tengah Ardan buat!
🍵🍵🍵
Ket:
- Mosok sih? = masa sih? Iyakah?
- Wes mbengi = sudah malam
________________
Jumat, 15 Januari 2021
©Wishasaaa
Jangan lupa jejaknya!❤
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro