10. KONTRAS🍵
- Pura-pura -
🍵🍵🍵
"Ada yang tau kenapa hati, lisan, dan pikiran selalu tidak sejalan?"
- Kontras -
Dering ponsel yang dari tadi bersuara dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. Seakan tidak ingin diganggu, orang itu malah men-silent ponselnya yang kemudian diletakkan di bawah bantal.
Kini suara dering ponsel itu tidak terdengar lagi. Namun, suara itu malah berganti menjadi gedoran pintu diiringi suara panik dari seseorang.
"Fata, ban motor Mbah Kakung bocor, Ta."
Deg!
Seorang cowok yang tadinya tertidur pulas dengan angin dari kipas angin yang membelai tubuhnya itu seketika terbangun dengan mata terbelalak. Badannya refleks bergerak turun membuka pintu.
"Motor Mbah Kakung bocor?" tanyanya tanpa aba-aba. Berhasil membuat kaget orang yang mengetuk pintu barusan.
"Iya, Ta! Mbah Kakung habis telepon. Kamu disuruh ke sana sekarang! Suruh nganter ke bank, soalnya nanti siang mau ke sawah!"
"Di bengkel mana?"
"Sebelah Rumah Sakit Sukma Permata."
Setelah mendengar itu, Ardan bergegas keluar ke kamar mandi. Meninggalkan Paijo begitu saja di pintu kamarnya.
"Cepet, Ta! Mbah Kakung udah hampir satu jam di sana. Bengkelnya rame!" seru Paijo.
"Yo, Pak!" jawab Ardan dari balik kamar mandi.
Cowok itu hanya cuci muka, sikat gigi, lalu kembali ke kamarnya untuk mengganti baju serta mengambil barang yang ia butuhkan. Tidak perlu mandi. Toh, Ardan bisa mandi di mana-mana. Bisa di kamar mandi milik orang, kamar mandi umum, atau semacamnya karena ia sudah terbiasa dengan hal itu. Tidak penting.
Yang terpenting sekarang adalah ia bisa cepat sampai di tempat Mbah Kakung berada.
Ardan mengeluarkan motornya dari rumah. Jaket serta helm sudah terpasang rapi di dirinya.
Tanpa pikir panjang, Ardan mengendarai kuda besi itu membelah jalanan desa. Motor itu melaju perlahan saat melewati perumahan dan seketika melaju kencang saat sudah jauh dari sana.
Perjalanan yang Ardan lewati cukup panjang. Rumah Sakit Sukma Permata memang tidak sejauh sekolahnya. Namun, tempatnya tetap saja jauh dari rumahnya.
Motor melaju seiring dengan pikiran Ardan yang melayang ke arah Risha. Bukankah Mbah Kakung pergi untuk mengantar dia ke sekolah?
Lalu tadi bagaimana? Apakah dia naik bus? Apakah dia telat? Kenapa tadi tidak menelepon dirinya saja?
Pikiran Ardan berkecamuk. Ia sungguh paham dengan Risha yang walaupun barbar dan perusuh, tetapi gadis itu sangat anti dengan kata telat. Apalagi dia bilang kalau hari ini ada ulangan pagi. Pasti gadis itu sudah seperti cacing kepanasan sekarang.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan panjang, Ardan pun akhirnya sampai di bengkel tempat Mulyadi berada.
Di sana Ardan melihat pria paruh baya itu tengah duduk dengan seorang pria di sampingnya. Mereka terlihat asyik bercengkerama satu sama lain sampai tidak sadar kalau Ardan sudah berada di sana.
"Mbah ...," panggil Ardan pelan.
"Eh, Nang. Kamu cucunya Mbah Mul, ya?" celetuk pria di samping Mulyadi. Membuat pria paruh baya itu ikut menoleh ke arah Ardan.
"Eh, iyo. Ini cucuku yang rumahnya di depan rumah. Setiap hari mainnya ke rumahku terus." Mulyadi memperkenalkan sambil terkekeh.
Ardan sendiri hanya tersenyum sambil menyalami tangan keduanya. Sedikit canggung.
"Yo wes tak langsung aja, ya. Takutnya kesiangan. Soalnya mau ke sawah." Mulyadi berkata sambil berdiri dari duduknya.
"Eh, kok langsung aja, Mbah? Cucunya baru sampe, lho. Mboten disuruh istirahat dulu?"
"Biar nanti sekalian aja istirahatnya ya, Nang? Sekalian tak beliin es teh di warung." Mulyadi menepuk bahu Ardan sambil tertawa.
"Hehe, enggih, Mbah."
"Yo wes tak terus yo. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
🍵🍵🍵
"Nal, kamu tadi berangkat bareng siapa?" tanya Ardan ketika Risha berada di hadapannya. Nadanya terdengar panik.
Risha sendiri yang ditanya malah senyum-senyum tidak jelas. Membuat Ardan mengerutkan kening curiga.
Kini mereka berdua tengah berada di halte, dengan Risha yang baru pulang sekolah dan Ardan yang menjemputnya.
Tadinya cowok itu hendak menjemput langsung ke sekolah, tetapi Risha melarangnya. Katanya, malu karena tidak berangkat tetapi malah berada di sekolah. Padahal Ardan sendiri tidak apa-apa.
Namun, saat Ardan mendapat pesan dari pacarnya, ia menjadi menyetujui permintaan Risha. Ia tidak ingin Lareta melihat dirinya menjemput Risha, sedangkan gadis itu yang pacarnya sendiri sering diabaikan begitu saja.
Hingga, berakhirlah dia di sini. Menonton jalanan yang tampak lengang bersama dengan bapak-bapak yang juga menunggu anaknya pulang.
Sekolah mereka memang letaknya di pinggir jalan raya, jadi bisa dengan mudah mendapati angkutan umum. Namun, jarak jalan raya sendiri dengan rumah keduanya sangat jauh. Lagi pula kalau pagi, angkutan umum sering susah didapatkan dan sering penuh oleh pelajar dari berbagai sekolah.
Jadilah, mereka berdua lebih suka memakai kendaraan sendiri dan melewati jalan tikus sebagai solusi agar tidak terlambat.
"El, Naufal idaman banget, ya," celetuk Risha tiba-tiba.
"Naufal?"
"Iya. Tadi ....." Ucapan Risha terpotong saat dirinya tidak sengaja melihat banyak orang yang melirik dirinya dengan Ardan di sana. Hal itu membuatnya risi seketika.
"Ayo, langsung pulang, El. Nanti aku cerita di jalan." Risha langsung melompat duduk di jok belakang motor Ardan, membuat cowok berambut ikal itu sedikit terkesiap.
"Kenapa gak di sini aja?"
Risha berdecak. "Coba noleh."
Ardan mengikuti perintah Risha. Seketika ia mengerti apa yang terjadi. Motor pun akhirnya melaju di jalanan dengan kecepatan standar-ralat, sangat pelan. Membuat Risha berdecak berkali-kali.
"Cepetin dikit, El! Kok lambat banget kayak keong, sih!"
"Katanya mau cerita."
"Oiya." Risha nyengir. "Eh, tapi ini cepetin dikit, dong. Jangan kayak keong begini."
Ardan yang melihat pantulan gadis itu dari kaca spion, berdecak pelan sambil sedikit menambah kecepatan.
Risha sendiri yang ada di belakang terlihat membenarkan duduknya menjadi sedikit condong, agar Ardan bisa mudah mendengar suaranya.
"Tadi ...." Ucapan Risha menggantung.
Ardan melirik Risha sembari menaikkan sebelah alis.
"Aku ke sekolah bareng Naufal!" pekik Risha tiba-tiba. Motor yang mereka tumpangi bahkan hampir oleng gara-gara suara membahana itu.
Ardan sontak tergelak. Netranya melirik spion lagi. "Udah sore, Nal. Jangan ngimpi, deh," ejeknya, masih dengan sisa-sisa tawa.
Mata Risha membulat. Tangannya bergerak memukul punggung tegap di depannya. "Orak ngimpi! Ini serius." Risha mencebikkan bibir kesal. "Lha wong aku beneran diboncengin tadi, kok. Kalo gak percaya, tanya aja Mbah Kakung."
Risha membenarkan posisi duduk yang tadinya condong ke depan, menjadi lurus ke samping. Ia sudah tidak mood untuk menceritakan hal menyenangkan yang tadi dialami. Gadis itu lebih memilih menonton awan sore yang mulai menjingga daripada bercerita.
Ardan terlalu menyebalkan.
Ardan sendiri yang berada di depan seketika terdiam. Laju motor kini bertambah seiring pikirannya yang berkelana ke seseorang yang barusan Risha sebut di akhir kalimat-Mbah Kakung.
Nala bilang cuma dua puluh, tapi kenapa tadi Mbah Kakung pinjamnya tiga puluh?
Nala ... sebenarnya apa yang kamu tutupi?
Ardan melirik Risha melalui kaca spion. Raut tenang gadis itu saat melihat awan senja sangat kontras dengan raut di kamarnya waktu itu. Kini, wajah itu tampak tenang seolah tiada beban.
Nala ... apa kamu sebenarnya tidak tau? Atau ternyata kamu pura-pura tidak tau?
Keterangan:
• Yo wes tak terus, yo: ya udah, aku langsung aja, ya
• Enggih, enggeh: iya
• Mboten (krama alus), Orak (ngoko kasar): tidak
• Nang, sinang, tole: sebutan untuk anak laki-laki dalam bahasa jawa. Semacam; Nak
___________
©Wishasaaa
19 Juli 2020
Repub: 26 September 2020
Jejaknya jangan lupa, uhuq🤭 mkasih 😍
👇
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro