•25• Mati Lampu
Sudah dua hari Bima menginap di rumah neneknya karena bertepatan dengan hari Minggu. Selama itu pula Amanda tidak melanjutkan tulisannya. Waktunya ada, kegiatannya sedikit, tempatnya lapang, cemilan, bahkan permen memadai, tetapi kepalanya tidak sanggup merangkai kata. Sejak satu jam yang lalu, lembar MS. Word masih kosong. Mau mencari inspirasi di internet pun berakhir dengan gulir-gulir sampai baterai ponsel habis.
Ditambah lagi di dalam rumah ini hanya ada dirinya dan Adipati. Entah sedang apa pria itu, Amanda enggan mencari tahu. Yang jelas, Amanda tidak akan menampakkan diri. Dia tidak mau adegan ciuman itu terulang lagi ke part dua, tiga, bahkan sampai ke adegan berikutnya. Amanda belum siap menghadapi itu. Tidak masalah mau dibilang dosa, apalagi dikutuk. Namanya belum siap, masa mau dipaksa.
Tidak mendapatkan apa pun, Amanda memilih bangkit seraya mengangkat gelas melamin yang ingin diisi ulang dengan air putih. Ketika pintu dibuka, tubuhnya terperanjat saat mendapati seorang laki-laki berdiri di depan kamarnya.
"Ya Allah! Bapak ini udah siap nanggung biaya kalau saya kena serangan jantung?"
"Saya mau ketuk pintunya, tapi kamu udah keluar duluan," balas Adipati. "Kenapa kamu kirim bab sepuluhnya ke email saya? Biasanya kamu datang terus kasih laptop ke saya."
Amanda memalingkan wajah. Yang dikatakan Adipati benar. Tadi pagi dia kirim bab sepuluh lewat surel. Ya, demi mengurangi intensitas pertemuan dengan laki-laki ini.
"Saya lagi nggak mau ketemu sama Mas," kata Amanda terang-terangan.
"Kenapa? Kamu takut saya mengulangi adegan kemarin?"
Mata Amanda membeliak. "Iya, saya takut. Puas? Sekarang, minggir. Saya mau jalan."
"Mau ke mana?" Adipati malah merentangkan kedua tangannya di antara kusen pintu. Sehingga Amanda tidak bisa keluar. Amanda mencoba menerobos, tetapi tubuh pria ini sangat kokoh.
"Mas, ih! Saya mau ambil minum!"
"Saya belum selesai."
"Ya, kan, bisa ditunda dulu. Saya haus, nih!"
"Habis ini pasti kamu menghindari saya lagi, kan?"
"Saya lagi nulis, bukan menghindar."
"Ya, udah kalau gitu mana tulisan kamu?"
"Belum selesai!" Amanda menghirup napas, memejamkan matanya sebentar. "Saya stuck gara-gara Anda! Kenapa,, sih, Mas itu mencuri ciuman saya?"
"Mencuri? Yang ada justru saya memberikan hak kamu, kamu memenuhi kewajiban saya."
"Saya, kan, belum bilang boleh. Artinya itu mencuri."
"Ya sudah, bagaimana kalau saya bertanggung jawab? Saya akan buat kamu lancar menulis lagi."
Adipati melangkah maju, Amanda perlahan mundur. Begitu terus sampai Adipati berhasil masuk ke kamar. Jantung Amanda mulai tak karuan. Matanya tak lepas dari wajah Adipati yang juga tidak berhenti menatapnya. Tepat saat Amanda ingin mendorong tubuh laki-laki itu, lampu kamar tiba-tiba padam. Suasana berubah gelap gulita. Gelas di tangan Amanda meluncur hingga menimbulkan suara.
Tak lama terlihat cahaya dari sebuah ponsel di tangan Adipati. Sementara itu, tangan Adipati satu lagi meraih tangan Amanda. "Kamu nggak apa-apa?"
"Saya nggak apa-apa," jawab Amanda sedikit terbata-bata. Keringat dingin perlahan timbul. Bukan karena tindakan Adipati, melainkan karena situasi ini.
"Oke. Saya keluar dulu cari lilin. Kayaknya ini lagi pemadaman listrik."
"Saya ikut!"
"Kamu di sini aja. Saya cuma ke depan."
"Nggak mau. Pokoknya saya tetep mau ikut." Kali ini suara Amanda terdengar bergetar. Rasa takut mencengkeram sampai ke dalam dada. Sungguh dirinya benci ditinggal sendirian ketika gelap. Dulu ketika masih kecil Anida pernah mengerjainya. Waktu itu, mereka berdua sedang main petak umpet saat malam hari. Amanda kebagian menghitung, sedangkan Anida yang bersembunyi. Begitu hitungannya selesai, Amanda mencari kakaknya sampai di rumah kosong yang gelap, tetapi tidak ada tanda-tanda kemunculan sang kakak. Amanda menangis sembari mencari kakaknya. Rupanya, Anida pulang ke rumah dan tertawa melihat Amanda datang dengan wajah basah. Kejadian itu terus membekas meskipun sudah bertahun-tahun lamanya. Bahkan, setiap kali tidur, Amanda tidak pernah mematikan lampunya.
"Kamu takut?"
"Iya, saya takut."
"Ya sudah, kamu jangan lepas dari saya. Kita jalan keluar sama-sama."
Amanda mengangguk. Alih-alih bergandengan tangan, dia justru memilih mencengkeram ujung kaus yang dikenakan Adipati. Mereka berjalan pelan-pelan hanya dengan modal cahaya dari ponsel Adipati. Tiba di nakas yang letaknya di ruang tengah, Adipati berhenti dan menarik laci itu. Begitu sudah menemukan barang yang dicari, Amanda diajak duduk di sofa.
Ruangan mulai terang saat Adipati menyalakan lilin di meja. Perlahan-lahan ketakutan Amanda berkurang.
"Saya takut kalau gelap begini, Mas," kata Amanda. "Ada sesuatu yang bikin saya jadi punya ketakutan ini."
"Nggak usah kamu ceritakan. Saya nggak mau kamu makin takut kalau ingat kejadian itu."
Hening setelah itu. Amanda memainkan jemarinya karena tidak membawa barang apa pun dari kamar. Adipati juga sibuk dengan ponselnya. Mungkin pria itu sedang membalas DM dari Gea. Amanda malu ingin mengintip, tetapi penasaran.
"Mas, Gea kayaknya suka sama Mas." Amanda bersuara. Niatnya, sih, ingin memancing.
Adipati meletakkan ponsel di atas paha, kemudian menatap Amanda. "Atas dasar apa kamu bilang begitu?"
"Kemarin dia bilang sering DM Mas, tapi nggak dibalas-balas. Kenapa nggak dibalas, Mas?"
"Ya, karena saya sudah punya kamu sekarang."
Amanda mengedipkan mata. Tertegun.
"Saya nggak mau cari penyakit dengan meladeni perempuan lain. Kita ini sudah menikah, bukan pacaran anak SMA. Saya ingin menumbuhkan rasa percaya ke kamu. Saya ingin kita saling menghargai. Kamu emang nggak mau pernikahan ini berjalan normal?"
Kali ini, Amanda kehilangan banyak kalimat di kepala. Mulanya ingin memancing, tapi malah dirinya yang tertembak. "Saya juga mau. Makanya tadi saya tolak pas Gea minta bantuan saya."
"Nah, kamu ngerti, kan, kita harus ngapain sekarang?"
Semua berawal dari dirinya. Kalau Amanda tidak bilang pernikahan ini dirahasiakan, pasti tidak ada kejadian Guntur dan Gea.
"Kita umumkan pernikahan ini setelah proyek selesai gimana?" tanya Amanda.
Adipati mengernyit. "Kenapa?"
"Saya mau fokus ke proyek ini dulu. Kalau misalnya kita bilang sekarang, saya takut ada hal yang bakal menggangu dan saya nggak mau jadi berantakan."
"Oke, kalau itu maumu."
Tanpa diperintah, kedua sudut bibir Amanda merekah. "Terima kasih sudah mengerti."
"Kamu masih mau di sini? Atau mau ke kamar?"
"Saya mau nunggu sampai lampunya nyala."
"Kayaknya bakal lama. Lebih baik kamu ke kamar saja. Saya antar dan temani kamu di dalam."
"Nggak. Saya masih mau di sini." Amanda bergidik. Membayangkan dirinya masuk bersama Adipati, lalu laki-laki itu menggunakan kesempatan ini untuk ....
"Saya nggak akan ngapa-ngapain kamu. Jadi, kamu nggak usah khawatir. Kita nggak akan melakukan itu secara terpaksa. Saya mau kita sama-sama menginginkan itu."
Tahu apa yang Amanda rasakan sekarang? Ya, tentu saja senang. Setidaknya kalau Adipati sendiri yang bilang begitu, berarti nanti tidak ada masalah.
Selama menjadi istrinya, Adipati begitu pengertian, perhatian, dan terkadang menyebalkan. Masa, laki-laki seperti ini mau disia-siakan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro