Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•23• Tanda Cinta

"Ya ... saya butuh juga. Kalau nggak ada Mas, gimana nasib tulisan saya? Gini-gini saya masih butuh masukan. Mas mau makan gaji buta?"

Kurang lebih seperti itu jawaban Amanda semalam. Jujur, kan? Amanda butuh Adipati untuk keberlangsungan proyek ini. Anehnya, kenapa Adipati senyum-senyum aneh usai mendengar jawaban itu. Memangnya ada yang lucu? Kan, Amanda sudah jujur.

"Kalau saya minta lebih bagaimana? Kamu nggak lupa, kan, kita mau mulai semuanya dari awal?"

Kalimat itu yang bikin mata Amanda segar sampai pagi. Dia tidak lupa, justru menginginkannya juga. Namun, Amanda tidak lupa laki-laki itu pernah mengatakan tidak bisa melupakan mendiang istrinya. Ini bagian tersulit di hidupnya kalau Adipati masih seperti itu. Tidak masalah, kan, kalau Amanda egois? Dia ingin posisinya sama persis dengan mendiang istri di hati laki-laki itu.

Hingga dirinya menemukan sebuah komentar bagus di Bacaku. Komentar tersebut memang ditujukan untuk kedua karakter novel Duda itu Suamiku, tetapi sebagai penulisnya, Amanda merasa tertampar.

Dalam pernikahan, cinta menjadi urutan kesekian. Yang dibutuhkan pasangan yang telah menikah adalah kecocokan, kompromi, kepercayaan, kepedulian, kekompakan, dan komunikasi yang baik. Cinta wajib ada, tapi hanya sebagai penyedap rasa, bukan untuk landasan utama. Karena buat apa cinta kalau kita tidak saling percaya? Buat apa cinta kalau tidak ada yang saling peduli? Buat apa cinta kalau kita tidak bisa menerima baik dan buruknya pasangan kita? Seseorang bisa dengan mudah mengumbar kata-kata romantis, tapi hanya sebagian kecil yang bisa membuktikan cintanya dengan perbuatan.

Apakah kalau kita cinta dengan seseorang harus berakhir di altar pernikahan? Harus berakhir di hadapan penghulu? Menurut saya tidak. Ketika menjalani kehidupan pernikahan sesungguhnya, kita akan menemukan sesuatu yang menyebabkan perasaan cinta itu luntur dan hilang dalam hitungan detik. Ada pula yang bertahan atas nama cinta, padahal mereka bertahan karena ada anak dan tidak bisa hidup mandiri.

Komunikasi, saling menghormati, dan percaya adalah kunci kesuksesan dari sebuah pernikahan.

Sebagian dari hati Amanda merasa senang karena ada seseorang yang begitu mengamati tulisannya, sisanya dia merasa mendapatkan siraman kalbu dari seorang teman. Cinta itu bisa membuat kedamaian, tapi bisa juga membunuh seseorang. Cinta menggelapkan pikiran dan hati hingga seseorang sanggup melakukan atau menyerahkan apa saja.

Mungkin Adipati berkata seperti itu karena ingin menjalani kehidupan pernikahan sesungguhnya. Tidak mungkin mereka selamanya begini, kan? Amanda saja sudah mulai bosan dengan rutinitas yang datar. Ya, harusnya Amanda tidak perlu takut Adipati masih memiliki rasa pada mendiang istrinya. Tidak mudah bagi pria itu untuk menggeser posisi sang istri di dalam hatinya.

Jadi, apakah Amanda membutuhkan Adipati sebagai seseorang? Amanda belum menemukan jawabannya.

"Kenapa kamu nulis adegan ini?"

Itu dua kata yang keluar dari mulut Adipati setelah mengangkat kepalanya dari layar. Amanda yang duduk di depan lantas membalas tatapan pria itu.

"Emang salah, ya?" Amanda balik bertanya.

"Ya, nggak salah."

Amanda memperhatikan Adipati yang berdeham, lalu memperbaiki posisi duduknya, melepas kacamata. Kalau tidak salah, kenapa pria itu bertanya seolah-olah meragukan? Lagi pula, menurutnya, adegan tersebut sudah tepat untuk sasaran pembaca cerita ini.

"Kamu sudah pernah ciuman sebelumnya?"

Amanda melebarkan mata mendengar pertanyaan itu. "Ya, belum, lah! Saya emang pernah punya pacar, tapi saya nggak pernah mengizinkan laki-laki untuk menyentuh tubuh saya, apalagi berciuman."

"Terus kamu bisa nulis adegan ini dapat dari mana?"

"Saya dapat dari film dan drama yang pernah ditonton, terus saya juga baca buku rekomendasi dari Mas."

Laptop milik Amanda ditutup rapat. Sesuatu yang belum pernah Adipati lakukan selama mengecek naskahnya. Amanda yakin pria itu baru selesai membaca dan belum menulis catatan untuk revisi. Karena kalau dihitung-hitung, belum ada satu jam Amanda duduk di sini.

Pria yang malam ini mengenakan kaus berwarna hitam dan celana pendek lantas berdiri, berjalan mendekati Amanda. Tangannya bertumpu pada meja.

"Menurut kamu, apa adegan itu penting sampai kamu harus menulisnya?"

"Menurut saya penting karena dari situ si Pras bisa mengungkapkan cintanya ke Chika. Kan, ciuman itu tanda cinta."

"Kenapa harus ciuman? Bukannya ada cara lain untuk mengungkapkan cinta?"

Kali ini, Amanda bergeming. Kepalanya mulai bercabang. Benar juga, kenapa harus ciuman? Terlalu dini karena di ceritanya, Pras dan Chika baru saja membuka hati. Jadi terlihat aneh kalau Chika terlalu cepat membiarkan Pras menyentuh tubuhnya. Namun, sebelumnya, mereka sudah melakukan hal lain, seperti berpelukan, jalan berdua, dan deep talk masa depan. Tidak ada salahnya, kan, kalau sekarang mereka berani berciuman? Pun di sana tidak ada paksaan, Pras minta izin, Chika mengizinkan.

"Menurut saya, karena mereka sudah dekat dan percaya, makanya Pras berani minta izin cium Chika. Toh, itu sesuai dengan konsep, kan? Jadi, nggak ada yang salah." Amanda mengungkapkan isi pikirannya.

"Baik. Saya terima alasan kamu."

"Berarti nggak direvisi, kan?"

"Ya, saya akui kamu cukup pandai menulis adegan itu meskipun belum pernah melakukan."

"Kan, apa yang ditulis nggak harus dari pengalaman," balas Amanda enteng.

"Ya, saya setuju. Sekarang kamu berdiri. Ada yang mau saya kasih tahu ke kamu."

Amanda baru sadar bahwa sejak tadi Adipati terus menatapnya dan sekarang dia menuruti perintah suaminya. Jarak mereka terlalu dekat sampai Amanda berjalan mundur beberapa langkah. Namun, Adipati mengikis jarak lagi.

"Kok, deket-deket gini?" Tentu saja Amanda takut didekati seperti ini. Seperti yang sudah dia katakan sebelumnya, belum pernah ada laki-laki yang berani menjangkau tubuhnya.

"Kamu mau tahu rasanya ciuman?"

Kontan Amanda terbelalak. Sekujur tubuhnya mendadak dingin. Perasaannya mulai tidak enak. Ingin mundur, tetapi kakinya kaku seolah-olah tertancap di lantai. Secara logika, harusnya menolak, kan? Akan tetapi, tubuhnya mengeluarkan reaksi lain ketika Adipati menyentuh dagunya.

"Mas ... mau ngapain?" Amanda menelan ludah dengan susah payah karena tidak ada sekat antara wajahnya dengan wajah Adipati.

"Saya ingin mempraktekkan apa yang kamu tulis tadi," jawab laki-laki itu sembari menelusuri tulang pipi Amanda menggunakan jarinya.

Sekarang Amanda merasakan dadanya sesak. Irama jantungnya berantakan. Tidak, ini tidak boleh terjadi. "Saya takut, Mas," ungkapnya jujur.

"Kenapa takut? Ciuman nggak akan menyakiti kamu, Dek."

"Saya tahu, tapi saya ingin dengar alasan yang sebenarnya. Saya nggak akan semudah itu menyerahkan diri meskipun sudah boleh."

Sekujur tubuh Amanda merinding kala tangan Adipati terus menyentuh wajahnya. Sial. Ini namanya senjata makan tuan. Amanda lupa kalau orang yang membaca naskahnya berhak melakukan apa saja. Sekarang, dirinya tidak bisa balik kanan dan pergi. Tubuhnya terjebak di dalam kurungan suaminya.

"Kalau boleh jujur, saya nggak mau kamu membayangkan itu, apalagi dimasukkan ke tulisan. Saya mau imajinasi itu hanya untuk saya. Bisa, kan?"

"Kalau kedua tokoh harus ciuman bibir, masa nggak boleh?"

"Makanya saya tanya seberapa penting adegan itu sampai harus ditulis? Coba kamu hapus bagian itu, akan mengubah alur apa tidak. Kalau kamu nulisnya halus, saya akan memaklumi, tapi yang kamu tulis tadi terlalu vulgar."

"Tadi katanya saya pandai, sekarang bilang terlalu vulgar. Yang bener yang mana?"

"Kamu akan tahu jawabannya setelah ini."

Tepat ketika Amanda ingin membuka, Adipati menyentuh permukaan bibir yang tipis itu menggunakan bibirnya. Hanya dalam hitungan detik, ujung kepala hingga ujung kaki Amanda mati rasa. Semua energinya terserap. Ada rasa baru yang hinggap di dalam dada. Ada sensasi asing menyusup di kepala. Apa yang dia rasakan sekarang tidak seperti yang Chika hadapi di novelnya.

Amanda baru sadar bahwa dirinya terlalu mendeskripsikan bagaimana mereka berciuman alih-alih menggambarkan perasaan Chika.

"Sudah punya ide untuk revisi?"

Tidak. Justru Amanda kehilangan banyak kosakata di kepalanya.

Paling beda sendiri mas editor satu ini. Langsung dipraktekin dong 🤣🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro