Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•22• Butuh Kehadiran

"Eh, beneran?"

Amanda menegakkan tubuhnya dengan tangan masih memegang ponsel yang menyala. Di sana, menampilkan sebuah pesan dari salah satu admin Pena Aksara. Isinya kurang lebih ucapan selamat karena Amanda berhasil meraih seribu pendukung, lalu pihak mereka ingin mengirimkan merchandise sebagai bentuk apresiasi. Amanda diminta untuk mengisi alamat pengiriman.

Masih belum percaya, Amanda pindah ke aplikasi Pena Aksara, membuka profil akunnya. Rupanya benar, dirinya tembus seribu pendukung. Amanda membekap mulutnya, menahan diri agar tidak berteriak meski di dalam dada seakan-akan siap meledak. Amanda juga baru menyadari jika saldo di akun ini bertambah.

"Udah bisa diambil, kan, ya?" Amanda mencoba menarik semua penghasilan dari sana. Dalam sepersekian detik, uang tersebut berpindah ke rekeningnya. Kalau uangnya diambil, dompetnya mendadak tebal.

Tidak berhenti sampai di situ. Saat mengecek akun Bacaku, mata Amanda lagi-lagi terbelalak. Usai bab lima diunggah, pembaca mulai antusias. Komentar-komentar mereka mulai berdatangan dan memberikan ulasan positif. Bahkan, kini posisinya berada di urutan kedua setelah Gea.

Dengan semangat Amanda membaca satu per satu komentar yang masuk. Sayang sekali dirinya belum bisa membalas karena fitur balasan belum ada. Tentu saja Amanda bahagia dengan peningkatan ini, tetapi dirinya ingat pesan Adipati, kuantitas bukan segalanya.

Berkat perasaan senang itulah, Amanda bergerak mengambil sapu di tempat alat kebersihan. Perempuan itu mulai menggerakkan gagang sapu ke kolong kursi dan meja, kemudian di sela-sela lemari. Selesai menyapu, lanjut mengepel sembari menunggu pakaian Bima digiling di mesin cuci. Bibir mungil gadis itu tidak berhenti bersenandung riang.

Hatinya kian berbunga-bunga setelah melihat rumah ini bersih dan wangi. Tugas Amanda selanjutnya adalah menjemput Bima. Tadi pagi bapaknya sudah berpesan seperti itu karena dia sedang ada pekerjaan di kantor Aratha. Maka, setelah ganti baju, Amanda meluncur ke sekolahan Bima.

Kelas baru saja bubar ketika Amanda tiba di sana. Syukurlah datang tepat waktu. Amanda tidak perlu duduk-duduk bareng orang tua murid lain yang kadang kepo berlebihan. Amanda masih ingat kemarin ada seorang ibu-ibu yang bertanya kelewat batas. Atau dua hari yang lalu ada sekumpulan ibu-ibu yang gibahin guru. Amanda benar-benar tidak suka dengan kelakuan mereka. Namun, ada sisi baiknya, dia jadi dapat inspirasi untuk tulisannya.

"Ibu!"

Bima berlari kencang menghampiri Amanda. Membuat Amanda segera merentangkan kedua tangannya supaya tubuh anak itu masuk ke pelukan.

"Nggak sama bapak, ya?"

Pelukan itu seketika mengendur. Akhir-akhir Adipati menyerahkan urusan penjemputan kepada Amanda. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu sebenarnya sampai-sampai untuk menjemput anak saja tidak bisa.

"Maaf, ya, bapak masih kerja. Nanti kalau udah selesai kerja, bapak pasti jemput Bima lagi," kata Amanda seraya mengelus kepala Bima.

Bima menatap ibu sambungnya. "Kapan bapak selesai kerja?"

"Nanti."

"Ya, kapan? Nanti itu hari apa?"

"Eee." Amanda mengusap lehernya. Satu sisi dirinya kebingungan, tapi di sisi lain merasa kasihan. Bima masih kecil dan butuh kehadiran orang tuanya. "Sabar, ya. Nanti ibu bilang ke bapak."

Hanya itu. Amanda sendiri pun tidak yakin apa bisa membujuk Adipati. Mengingat dirinya hanya tercatat di atas kertas, bukan dianggap sebagai seseorang yang penting di hidup laki-laki itu.

Sudah satu bulan dan pernikahan ini masih datar. Semua yang dilakukan Amanda di rumah itu terkesan monoton. Sekadar memenuhi kewajiban. Amanda tidak suka kalau harus mengikuti arus. Amanda tidak suka kalau harus menunggu.

"Kamu jangan sedih, ya. Gimana kalau kita beli es krim, mumpung nggak ada bapak."

Bima langsung bersemangat dan melupakan kesedihannya perihal ketidakhadiran sang bapak.

Adipati baru muncul ketika lampu-lampu penerang jalan menyala. Bima tertidur pulas setelah lelah menonton upin-ipin. Amanda baru menyelesaikan bab enam sampai delapan.

"Masakan saya udah dingin. Mau saya hangatkan lagi?" Amanda bertanya seperti itu begitu Adipati keluar dari kamarnya. Pakaian pria itu sudah berganti. Yang tadinya pakai kemeja garis-garis, sekarang pakai kaus.

Tunggu, pertanyaan barusan terdengar frontal sepertinya. Kenapa Amanda begitu percaya diri Adipati akan makan masakannya? "Eh, gini maksudnya, kalau misalnya Bapak, eh, Mas belum makan, saya ada makanan, tapi udah dingin. Tapi, kayaknya Mas udah makan. Jadi, itu buat besok aja."

"Saya belum makan dan nggak usah dihangatkan. Kamu duduk aja."

"Oh, oke."

Karena diajak duduk, Amanda berani mengambil tempat di hadapan pria itu. Jangan harap Amanda berbaik hati mengambilkan nasi untuk Adipati. Lha, orangnya udah ambil sendiri. Ruangan ini diisi dengan suara piring dan sendok.

"Jadi, saya makan sendirian, nih?"

"Iya. Saya, kan, udah makan sama Bima."

"Kamu tahu dari mana kalau saya nggak suka nasi lembek?" Adipati menunjuk sendok berisi nasi.

"Saya cuma nebak-nebak. Saya suka ngeliat Mas masak nasi kayak gitu."

"Kamu suka mengamat?"

"Kadang-kadang saya suka, apalagi ke orang yang baru dikenal."

"Kamu dapat apa setelah mengamati saya?"

"Saya tahu Mas nggak suka warna terang, hampir pakaian yang Mas pakai warna pastel atau cenderung ke warna gelap. Saya tahu Mas suka sekali kerapian, apalagi kalau lagi ngecek tulisan saya. Kalau Bima masih berantakin mainannya pas Mas pulang pasti mukanya berubah. Saya jadi tahu kalau Mas sering pulang malam."

Amanda menutup bibirnya saat Adipati justru membuka mulut untuk memasukkan makanan.

"Tumben kamu masak banyak." Adipati mengganti topik usai menelan makanannya.

Amanda tersenyum. "Saya kelewat seneng gara-gara akun Pena Aksara saya udah seribu pendukung."

"Wah, selamat kalau gitu. Semoga makin banyak yang dukung kamu."

"Amin."

Hening lagi. Amanda masih menunggu piring Adipati kosong sekaligus memikirkan bagaimana caranya membicarakan masalah Bima. Matanya mengawasi suaminya yang kini sedang mengambil gelas berisi air putih.

"Terima kasih untuk makan malamnya. Masakan kamu enak."

Adipati hendak bangkit dari kursinya, tapi Amanda segera mencegah.

"Saya mau ngomong sebentar. Ini soal Bima," kata Amanda.

Adipati duduk kembali. "Bima kenapa?"

"Tadi Bima nyariin Mas pas jemput sekolah. Saya tahu Mas nggak lagi ada urusan penting, tapi bisa nggak kalau sama Bima, Mas sikapnya sama seperti belum saya ada?"

Terdengar helaan dari bibir Adipati napas setelah itu. Tangannya meraih gelas yang masih terdapat sisa air putih. "Saya memang salah di sini. Gara-gara urusan itu, saya jadi mengabaikan Bima."

"Apa masih ada kaitannya sama uang untuk ibu saya?"

"Nggak sama sekali, Dek. Saya belum bisa cerita ke kamu. Saya masih bisa mengatasi urusan itu."

Amanda mengangguk. "Saya nggak akan paksa Mas untuk cerita. Saya cuma mau bilang, Bima itu masih kecil. Dia butuh banget kehadiran orang tuanya. Kasian nggak pernah ngeliat bapaknya padahal punya."

"Kamu sendiri gimana?"

"Saya?" Amanda menunjuk dirinya sendiri. "Saya kenapa emangnya?"

Yang terjadi selanjutnya, Adipati menatap lurus ke arah wajah Amanda. Membuat si empunya salah tingkah.

"Kamu nggak butuh kehadiran saya?"

Hayoloh, mau dijawab apa 🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro