•21• Momong Bocah
"Bu, aku mau naik komidi putar."
"Ibu, aku mau naik gajah itu!"
"Bu, ayo, naik mobil-mobilan!"
Sederet kalimat itu yang Amanda dengar dari awal masuk ke tempat wisata ini. Kakinya yang terbungkus flat shoes itu terasa pengap karena mengikuti pergerakan Bima yang super cepat. Entah kenapa sejak turun dari mobil, anak itu mendadak manja. Apa-apa harus Amanda, padahal bapaknya nganggur. Setiap kali Adipati ingin mengambil alih, Bima menolak.
Ini, sih, bukan Amanda yang refreshing, tapi Bima.
"Gajahnya nggak boleh dinaiki, Bima. Bolehnya dilihat dari sini." Amanda menenangkan Bima yang terus merengek masuk ke kandang gajah.
"Kita foto di patungnya aja. Bima mau nggak?"
"Mau."
"Tapi, berhenti nangisnya, ya."
Anak itu mengangguk dan membiarkan Amanda menyeka sisa air mata di pipinya. Kemudian, mereka bertiga mendekati patung gajah, bersiap mengambil gambar. Amanda menggendong Bima dan Adipati berdiri di sebelah kirinya. Setelah itu, mereka pindah ke tempat lain.
Ketika tiba di Kubah Burung, Bima tampak antusias. Dia segera menarik tangan bapak dan ibunya memasuki tempat itu. Amanda mulai merasakan gelagat wajah Adipati berubah begitu kicauan burung saling bersahutan.
"Ke sananya sama ibu aja, ya." Amanda mencoba membujuk Bima.
"Nggak mau, sama Bapak juga. Dari tadi udah sama Ibu."
"Nggak bisa, Bima. Bapak--"
"Saya nggak apa-apa." Adipati memotong ucapan istrinya. "Ayo, kalau mau masuk."
"Bapak yakin?" tanya Amanda.
"Ya, dicoba."
"Kalo nggak kuat jangan pingsan, ya, Pak. Saya yang nggak kuat gendong Bapak."
Adipati memilih tidak menanggapi karena tubuhnya sudah ditarik Bima. Kini, gantian Amanda yang berjalan di belakang.
Setelah masuk, mereka ditawari foto bersama salah satu koleksi burung kakak tua. Sang pemandu meminta mereka duduk di spot yang sudah disediakan. Bima duduk di antara kedua orang tuanya. Wajah Adipati kian memucat saat satu burung kakak tua diletakkan di tangan Amanda.
"Bapaknya mau pegang?"
Sontak Adipati terkesiap saat sang pemandu mendekatkan burung ke wajahnya. Amanda jadi kasihan melihatnya. Biasanya laki-laki senang pelihara burung, ini Adipati malah kebalikannya.
"Saya aja, Pak. Suami saya biar gandengan sama anaknya," kata Amanda pada pemandu.
Mereka foto bersama sebanyak dua kali. Bima tidak puas. Anak itu berani mengelus kepala burung di tangan Amanda, juga berani mendekati burung-burung lain di balik jeruji kandang. Ya, karena bapaknya takut, Amanda yang jadi korban membopong Bima supaya kelihatan.
Setelah keluar dari Kubah Burung, mereka menaiki kereta menuju kebun binatang berikutnya. Tempat pertama yang mereka datangi adalah kandang buaya, lalu beralih ke kandang harimau Sumatera, monyet, burung unta, buruk merak, dan rusa. Tak lupa juga mengabadikan momen tersebut di dalam kamera. Puas bermain-main di tempat satwa, kini mereka bertiga pindah ke wahana Kolam Keceh, sebuah kolam renang yang terdapat perosotan dan ember tumpah. Dari rumah sudah membawa baju ganti, makanya Amanda berani mengajak Bima main air, sementara Adipati hanya duduk-duduk di pinggir kolam. Basah juga.
"Udahan, yuk! Nanti kamu sakit lagi."
Amanda segera mengangkat tubuh Bima dari kolam renang sebelum dirinya yang naik ke permukaan. Dia tidak mau ceroboh lagi dan berakhir dapat omelan Adipati.
"Ayo, kamu bersih-bersih sama bapak," kata Adipati dan mulai menggenggam tangan anaknya, tetapi Bima langsung menariknya. Anak itu merapat ke kaki Amanda.
"Nggak mau sama Bapak! Maunya sama Ibu!"
"Tapi, Ibu juga basah. Ibu harus ganti baju juga."
"Pokoknya mau sama Ibu!"
"Bima, ayo--"
"Udah, Pak, nggak apa-apa." Amanda melerai bapak dan anak itu sebelum terjadi pertikaian. Di keramaian begini kalau bikin huru-hara itu memalukan. "Bapak mendingan ikutan bilas badannya. Kalo udah selesai nyusul kita."
Mau tidak mau Adipati setuju.
Sekarang Amanda dan Bima memasuki sebuah bilik, sedangkan Adipati mencari bilik lain karena di sebelahnya sedang penuh. Bima yang lebih dulu dibersihkan.
"Bima tunggu di luar dulu, ya. Ibu mau ganti baju dulu," ucap Amanda.
"Aku mau nunggu di dalam, Bu."
"Heh, jangan! Kamu nggak boleh lihat ibu yang nggak pakai baju. Nggak baik."
"Tapi, kok, Ibu boleh lihat aku nggak pakai baju."
"Ya, karena Bima masih kecil. Nanti kalau Bima udah sebesar Bapak, ibu nggak boleh lihat badan Bima lagi."
"Oh, berarti Ibu juga nggak boleh lihat Bapak nggak pakai baju, ya?"
"Eh?" Amanda menepuk keningnya keras. Pertanyaan Bima menjebak dirinya. Bagaimana menjelaskannya? "Ya, nggak boleh. Makanya Bima keluar dulu. Ibu cuma sebentar, kok."
Amanda menggiring anak itu sampai keluar. Setelah itu, pintunya ditutup rapat. Secepat mungkin dia mengganti pakaiannya supaya Bima tidak kelamaan menunggu. Begitu selesai, Amanda membuka pintu, Bima sudah tidak ada di tempatnya berdiri tadi.
"Bima!" Amanda mencoba memanggilnya, tetapi tidak ada sahutan. Mungkin udah dibawa sama bapaknya, pikir Amanda. Dia pun berjalan santai menjauhi bilik.
Sampai di sebuah gazebo, Amanda melihat Adipati berdiri sendirian. Akan tetapi, perempuan itu masih santai dan mengira mungkin Bima sedang jajan.
"Bima mana?" tanya Adipati.
Perasaan Amanda mendadak tidak enak. Kalau Adipati bertanya, artinya ... "Bukannya Bima udah sama Mas?"
"Kapan? Saya baru selesai terus nunggu kalian di sini. Harusnya Bima sama kamu."
Sontak Amanda menelan ludah. "Berarti Bima ilang, dong?"
"Kamu bilang apa, Amanda? Kenapa kamu bisa nggak tahu Bima nggak ada?"
Mendengar suara Adipati begitu tinggi, Amanda kelimpungan. Merasa bersalah karena meninggalkan Bima sendirian. Padahal tadi ganti bajunya termasuk paling cepat.
"Kan, tadi saya ganti baju. Nggak mungkin, dong, Bima ikut di dalam."
Adipati menyugar rambutnya seraya mendengkus. "Kita berpencar. Kalau nggak ketemu juga, baru lapor keamanan. Tadi Bima pakai baju warna apa?"
"Warna kuning."
"Oke, kita cari sekarang. Saya yakin Bima belum jauh dari sini."
Sepasang suami istri berpencar. Amanda berjalan ke arah timur, menyusuri bilik-bilik. Barangkali Bima masih berada di sana. Tidak ketemu, Amanda berkeliling ke kolam renang. Matanya menyapu satu per satu anak di dalam air. Siapa tahu, kan, Bima nyebur lagi terus tenggelam?
Hingga akhirnya samar-samar terdengar tangisan anak kecil yang Amanda kenal di tengah kerumunan. Amanda beringsut mendekati kerumunan tersebut dan menemukan Bima di sana.
"Ya ampun, Bima! Ngapain kamu di sini?"
"Ibu!"
Bima menghambur ke pelukan Amanda. Tangisannya terdengar nyaring di telinga gadis itu.
"Kan, tadi ibu udah bilang kamu tunggu sebentar. Ibu lagi ganti baju."
"Tadi aku liat Ibu udah keluar, terus Bima panggil nggak mau nengok."
Amanda mengernyit. Lho, dirinya masih di dalam, kenapa Bima melihatnya di luar? Apa mungkin tadi Bima melihat perempuan yang warna pakaiannya sama? Bisa jadi. Kaus yang dipakai Amanda sebelumnya memang pasaran.
"Lain kali dengerin kata ibu, ya. Kalau ibu bilang tungguin, berarti harus nungguin. Oke?"
"Iya."
"Udah, jangan nangis lagi." Amanda mengurai pelukan Bima, lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Dengan gerakan cepat, dia menekan tanda panggil pada nomor Adipati.
"Pak, Bima udah ketemu. Sekarang sama saya."
Setelah Adipati mengatakan akan segera menyusulnya, Amanda memutuskan sambungan telepon. Tidak lama, pria itu muncul dengan tergesa-gesa. Melihat kedatangan bapaknya, Bima justru bersembunyi di belakang Amanda.
"Nggak apa-apa, Bima. Bapak nggak marah, kok. Ya, kan, Pak?" Amanda memberi kode ke Adipati. Pria itu menghela napas.
"Bapak nggak marah, tapi jangan diulangi lagi, ya." Adipati mengusap rambut anaknya.
Mereka pun memutuskan untuk pulang.
Selamat menikmati liburan 🎉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro