•19• Keinginan Amanda
Amanda masih menunggu respons Adipati di depan meja. Ia terus menatap wajah Adipati yang bersembunyi di balik layar laptop. Mata pria itu fokus membaca bab empat dan lima yang baru saja dia serahkan usai sarapan. Semalam setelah mendapat ceramah singkat dari pria itu, Amanda mengerjakan dua bab sekaligus dan baru berhenti ketika jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Setelah tertidur tiga jam, Amanda mengecek kembali tulisannya, lalu merevisi bagian yang tidak perlu.
"Bagus. Kamu sudah ada peningkatan di bab ini. Ya, walaupun masih ada beberapa paragraf yang rancu. Saya udah kasih tanda. Nanti kamu perbaiki dan jangan lupa kasih ke saya lagi. Waktu kamu cuma sampai nanti sore."
Adipati memutar laptop supaya layarnya menghadap ke Amanda. Setengah membungkuk, Amanda membaca catatan yang diberikan laki-laki itu. Matanya seketika berbinar terang. Catatan dari Adipati lebih sedikit dari biasanya.
"Ini serius cuma segini kesalahan saya, Pak?" seru Amanda saking tidak percaya.
Adipati mengangkat alisnya. "Pak?"
"Eh." Amanda tergagap dan segera meralat panggilannya. "Maksudnya ... Mas, ini cuma segini?"
"Iya. Saya, kan, barusan bilang, kamu sudah ada peningkatan. Semoga aja di bab selanjutnya kamu minim kesalahan. Saya rasa nanti pembaca kamu akan terkejut dengan mini konflik yang kamu buat di bab empat dan menunggu bab selanjutnya ketika selesai baca bab lima. Saya akui kamu berhasil membuat cliffhanger yang bagus."
Untuk kali ini, Amanda tidak bisa menahan rekah di bibirnya. Tidak mendapat ceramah lagi karena kesalahan. Tidak sia-sia dia meluangkan waktu untuk membaca novel dan buku rekomendasi dari Adipati. "Terima kasih, Mas."
"Saya tahu kamu senang, tapi jangan sampai terlena. Saya nggak mau karena pujian saya, kamu jadi lupa daratan terus nggak mau terima saran saya lagi."
Spontan Amanda menurunkan sedikit kadar senyumnya. "Iya, saya nggak mungkin sampai segitunya, kok."
"Bagus."
Ruangan mendadak hening saat Amanda mematikan laptopnya, lalu mengapitnya di antara tangan dan pinggang. Baru saja badannya berputar dan hendak pergi, suara Adipati dengan panggilan baru tertangkap di telinga Amanda.
"Saya ingat kemarin itu tanggal ulang tahun kamu, kan, Dek?"
Jujur saja saat mendengar kata itu, jantung Amanda berpacu cepat. Terdengar asing dan indah secara bersamaan. Hingga tanpa sadar cengkeraman tangan pada laptop mengerat. Semburat merah di pipi muncul tanpa diperintah. Astaga, baru panggilan, tapi sudah sedahsyat ini rasanya. Bagaimana kalau nanti ....
Amanda spontan menggeleng. Bodohnya kenapa kepikiran hal aneh-aneh di depan orangnya langsung? Lagi pula, Adipati belum menunjukkan ketertarikan padanya, masa Amanda lebih dulu yang mendekat. Ya, memang tidak ada aturan harus laki-laki dulu, tapi Amanda masih ragu.
Tingkahnya membuat mata Adipati memicing. "Kamu kenapa? Salting saya panggil begitu?"
Amanda segera berbalik menatap wajah Adipati. Dia menelan ludah supaya debaran jantungnya mereda. Tuh, kan, baru begini saja tingkahnya sudah terbaca jelas. "E-nggak. Biasa aja saya. Tadi saya geleng-geleng karena inget saya belum cuci baju."
"Terus, yang barusan saya tanya itu bener, kan? Kemarin kamu ulang tahun."
"Iya."
"Selamat ulang tahun kalau begitu."
Bukannya senang, Amanda justru mendengkus. Kali ini, senyumnya memudar. "Saya, tuh, nggak suka dikasih ucapan kayak gitu."
"Oh, saya tahu. Kamu pasti pengen melakukan sesuatu daripada sekadar ucapan, kan? Sekarang bilang, kamu mau saya melakukan apa?"
Semudah itu Adipati membaca pikirannya? Ah, tidak. Kan, kemarin Amanda sendiri yang bilang dia lebih suka menghabiskan waktu dengan orang daripada diberi kata-kata manis.
Eh, tunggu-tunggu. Ini serius? Adipati tidak salah bicara? Adipati serius ingin melakukan apa yang diinginkannya? Tapi ... Amanda sendiri pun bingung ingin apa di hari ulang tahunnya. Sudah kebiasaan tidak ada perayaan istimewa. Tidak ada hadiah yang pernah dia terima, kecuali saat ayahnya masih hidup atau kemarin saat datang ke kedai kopi.
Ingat kedai kopi, Amanda jadi ingat pernyataan cinta dari Guntur. Setelah pergulatan batin, Amanda mantap menolak cinta laki-laki itu, bahkan mengembalikan novel yang diberikan oleh Guntur. Akan tetapi, Amanda tidak mengatakan statusnya sebagai istri Adipati. Dia hanya bilang dirinya tidak mau berhubungan dengan laki-laki. Guntur sampai menawarkan waktu, tapi dengan tegas Amanda tidak membutuhkan itu.
Entahlah, Amanda masih segan membuka hal yang sebenarnya. Amanda rasa kemarin bukan waktu yang tepat.
"Amanda!"
Amanda terkesiap saat mendengar suara Adipati begitu dekat. Hingga kakinya mundur satu langkah ketika tahu laki-laki itu sudah berdiri di hadapannya. Kemudian, Amanda merasakan keningnya diketuk pelan.
"Kamu dengerin saya apa nggak?"
"Oh." Amanda lagi-lagi tergagap. Apalagi, ketika Adipati tidak berhenti menatap wajahnya. Bukannya senang, dia justru cemas. Berdiri saling berhadapan gini, Amanda jadi tahu kalau tingginya hanya sedada Adipati. Dengan postur tubuh seperti ini, bisa saja Adipati memanfaatkan kesempatan, kan?
Dari tadi pikirannya kotor sekali.
"Amanda, kamu lagi mikirin apa, sih? Saya bingung dari tadi kamu diam saja!"
Amanda terkejut untuk Kesekian kalinya. "Anu, saya ... saya lagi mikirin keinginan saya. Takutnya memberatkan," ucapnya setengah dusta.
"Kamu mau minta apa emangnya? Bangun seribu candi?"
"Ya, nggak, lah! Saya cuma pengen ke kebun binatang, tapi takutnya Bapak, eh, Mas nggak mau."
"Tahu dari mana kalau saya nggak mau?"
"Dari tebakan saya."
"Sayang sekali tebakan kamu salah." Adipati kembali menyentil kening Amanda. Kali ini lebih kencang hingga si empunya mengaduh. "Kan, tadi saya yang bertanya, kamu ingin apa, berarti saya sudah siap menerima apa pun keinginan kamu, kecuali bangun seribu candi. Kamu mau ke sana?"
"Iya, Mas. Terakhir aku ke kebun binatang pas ayah masih hidup."
"Ya sudah, hari Minggu kita ke Jurug bertiga. Kalau sekarang saya nggak bisa."
"Nggak apa-apa, kok. Emangnya habis ini Mas mau ke mana?"
"Ke kedai. Ada urusan."
Mendengar kata 'kedai', Amanda teringat sesuatu. "Waktu Mas ketemu ibu, Mas bilang punya kedai kopi tapi yang mengelola teman Mas. Itu beneran?"
"Iya, beneran. Itu peninggalan Irma, ibunya Bima. Dulu dia yang mengelola dan teman saya jadi salah satu karyawan di sana. Setelah Irma meninggal, saya suruh dia yang mengelola karena saya nggak mungkin kerja di dua tempat dalam waktu bersamaan."
"Kenapa nggak dijual aja kedainya? Kok, Mas bisa percaya sama temen?"
"Waktu itu lagi ramai, saya nggak mungkin lepasin gitu aja. Lagian, saya sudah berteman dengannya sejak masih sekolah. Saya sangat percaya sama dia."
Amanda mengangguk meski hatinya mulai diliputi ragu. Entah kenapa Amanda memiliki firasat buruk dengan teman suaminya itu, padahal belum pernah bertemu. Kedainya saja belum pernah melihat. "Ya udah, saran saya tetep hati-hati meski udah kenal lama. Kita nggak akan tahu dari mana musuh menusuk kita."
"Kamu benar. Terima kasih sudah ingatkan saya."
Kayaknya udah balik normal ya si wp 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro