Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•18• Kualitas atau Kuantitas?

Suasana tampak sepi saat Amanda memasuki rumah. Usai melepas sepatu dan menggantinya dengan sandal, gadis itu beranjak menuju kamar Bima. Di sana, Bima sedang tertidur pulas. Sendirian. Ketika Amanda menutup pintu dari luar, hidungnya menghirup aroma masakan yang asalnya dari dapur. Aroma itu menuntunnya ke sana dan dirinya menemukan Adipati sedang berdiri di depan kompor.

"Kamu sudah pulang?" Adipati menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali fokus pada sudip dan wajan. "Bisa minta tolong bangunin Bima? Sebentar lagi magrib."

"Eh, tapi dia lagi pules kayaknya."

"Ya, mau gimana lagi. Nggak baik tidur pas lagi magrib."

Mendengar ucapan Adipati, Amanda tertohok, merasa tersindir. Dirinya sering melakukan kebiasaan buruk itu saat masih di rumah, ketika sedang libur kerja tentunya. Ratmi saja melakukan hal yang sama, bahkan molor sampai isya. Selama di sini, Amanda belum pernah menunjukkan kebiasaan itu. Waktunya terkuras berkat Bima.

"Emang nggak apa-apa kalau dibangunin sekarang, ya?"

"Nggak apa-apa. Dia sudah biasa."

Baiklah kalau begitu. Amanda putar badan, balik lagi ke kamar Bima. Kali ini, dia berani mendekat, lalu juga berani menggoyangkan tubuh anak itu sampai matanya terbuka.

"Bangun, yuk! Udah mau magrib, nih." Begitu ucap Amanda.

Tidak disangka, mudah sekali membangunkan Bima. Mungkin karena dari kecil sudah dibiasakan. Lagi-lagi, Amanda merasa dirinya kalah jauh dari anak kecil.

"Kamu mau cuci muka? Tante bantuin, yuk!"

"Kok, tante lagi? Kan, katanya Bima boleh panggil ibu."

"Eh." Amanda jadi salah tingkah. "Iya, ibu lupa. Maaf, ya, belum terbiasa."

"Ibu kenapa semalam nggak tidur di sini?"

Lagi, Amanda kebingungan. Semalam dia dan Adipati tidur terpisah seperti biasa. Amanda di kamarnya, sementara Adipati di kamar Bima. Sebelumnya Amanda sudah menawarkan diri gantian menjaga Bima, tapi ditolak.

"Kasur Bima, kan, kecil. Kalau ditidurin bertiga, nanti Bima kesempitan." Amanda mengarang alasan.

"Ya udah nanti tidur di kamar Bapak aja yang kasurnya lebar."

Eeeh, nggak gitu konsepnya, jerit Amanda dalam hati. "Nanti, ya, sekarang Bima cuci muka dulu."

Bima menurut. Amanda segera mengantarkan anak itu ke kamar mandi. Membantunya mengambilkan sabun dan air. Setelah bersih, Amanda juga yang membantu mengeringkan wajah dan tangan Bima.

Ibu dan anak itu menyusul Adipati ke dapur. Namun, rupanya sudah tidak ada di sana. Berniat ingin mencari, laki-laki itu muncul lebih dulu dari pintu kamarnya. Amanda terpaku melihat penampilan suaminya malam ini. Mengenakan koko putih dan sarung hitam. Rambutnya pun tampak basah.

Sejenak, Amanda lupa bagaimana caranya bernapas.

"Bima masih pusing?"

Amanda tersentak mendengar suara laki-laki itu. Sialan. Semoga saja Adipati tidak menyadari sikapnya.

"Udah nggak, Pak."

"Kalau gitu ikut salat, ya. Kamu udah ambil wudu belum?"

"Belum. Tadi sama Ibu cuma disuruh cuci muka."

Amanda gelagapan. Asli. Dia mana tahu kalau Bima sudah dibiasakan seperti ini oleh bapaknya. "Anu, Pak, saya nggak tau. Bima juga nggak bilang."

"Kok, Ibu bilang gitu? Kan, Bima nggak tau."

Adipati lantas menoleh ke arah Amanda."Jadi, kalau saya nggak di rumah, kamu nggak pernah ajak Bima salat? Atau kamu nggak pernah salat?"

Mendapat tatapan seperti itu, Amanda menelan ludah. "Kalau saya salat, kok. Tapi, nggak pernah ajak Bima. Lagian, Bima anak laki-laki, nanti dia malah bingung ngeliat saya," jawabnya dan sedikit membela diri.

"Tapi, seenggaknya kamu ajak Bima."

"Iya, maaf."

"Ya sudah, sekarang kamu juga siap-siap sana! Biar Bima sama saya."

Amanda mengerjap. Sedikit terkejut dengan ajakan itu. "Maaf, Pak, kalo sekarang saya lagi halangan."

"Oh, oke."

Adipati menggandeng tangan anaknya masuk ke kamar lagi. Meninggalkan Amanda yang terpaku.

**

Sepulang dari masjid, Bima makan, minum obat, dan tidur lagi. Oh, tentu saja tidak semudah itu. Tadi anak itu kembali meminta tidur bertiga di kamar bapaknya, ya jelas tidak akan dituruti mau sampai nangis darah. Adipati masih belum mengizinkan Amanda masuk ke kamarnya.

"Lagian, kenapa kamu bilang gitu ke Bima?" tanya Adipati dengan raut wajah kesal. Kini mereka berdua sedang berada di ruang kerja pria itu. Seperti biasa si bapak satu ini sibuk menyalahkan Amanda. Yang tadinya adem, jadi panas.

"Ya, saya mana tahu kalau Bima bakal kepikiran begitu. Lagian, kenapa juga saya nggak boleh masuk ke kamar Bapak?"

"Mendingan saya yang masuk kamar kamu daripada kamu yang masuk ke kamar saya."

Bibir Amanda terkatup rapat. Apa katanya? Oh, sekarang Amanda tahu, pasti di dalam kamar itu masih ada kenangan dari mantan istri, apalagi memangnya? Sialan. Saingannya berat juga ternyata. "Udah, lah, Pak, nggak usah dibahas lagi. Toh, Bima udah tidur. Mendingan Bapak baca, tuh, bab empat punya saya. Lusa udah harus diunggah, kan?"

"Oh, ya, pertemuan tadi bahas apa saja?"

"Banyak. Yang paling saya ingat peserta lain memuji Gea yang berhasil meraih pembaca terbanyak padahal baru semalam diunggah. Mbak Damara ternyata pintar dan berbakat juga. Nggak heran kalau Gea bisa secepat itu dapat pembaca."

"Ini kamu sedang meremehkan kemampuan saya?"

"Ya, Alhamdulillah kalau Bapak merasa."

"Jadi, karena sekarang kamu dapat pembaca sedikit, terus kamu menyalahkan saya?"

"Saya nggak nyalahin Bapak. Saya cuma bilang Mbak Damara pintar dan berbakat."

"Terserah kamu punya pikiran seperti itu. Asal kamu tahu, orang paling pintar sekali pun, kalau rejekinya memang segini, ya akan dapat segini. Memangnya kamu sudah yakin Gea menjadi pemenang?"

"Di mana-mana, pasti yang dilihat duluan itu pembacanya dulu."

"Iya betul, dan kalau kamu mengharapkan itu dari saya, silakan saja bermimpi!"

Amanda mendengkus. Harus dengan cara apa lagi supaya Adipati mengerti kalau di mana-mana pembaca itu jadi nilai plus dalam naskah. Kalau pembaca sedikit, bagaimana dengan bukunya nanti? Kalau naskah itu jadi buku dan tidak ada yang beli, apa tidak rugi?

"Saya itu mengarahkan sesuai dengan kemampuan kamu sendiri. Saya sudah baca buku kamu yang udah terbit kemarin dan saya tahu gaya penulisan mana yang cocok buat kamu. Memang kuantitas itu penting, tapi masih ada yang lebih penting lagi, yaitu kualitas dan saya sedang mengejar di bagian sana," ucap Adipati usai beberapa menit membungkam mulutnya.

"Kalau saya pakai cara Damara, saya yakin kamu nggak akan bisa mengikuti. Ada banyak cara untuk berhasil, Amanda. Nggak harus pakai cara yang sama. Setiap penulis itu punya ciri khas masing-masing. Cobalah untuk tidak membandingkan diri dengan orang lain. Sejauh ini, kamu sudah cukup berkembang."

Amanda menyimak dengan perasaan sulit didefinisikan. Adipati tampak tidak tersinggung padahal tadi Amanda meremehkan, malah mengatakan Amanda sudah berkembang.

"Saya mau tanya, apa saat di Your Story, kamu langsung dikenal pembaca?"

Kontan Amanda menggeleng.

"Nah, apa bedanya dengan sekarang? Semuanya dimulai dari nol, kan? Saya mau kamu jangan terlalu fokus ke statistik. Saya nggak mau itu malah menggangu kreativitas kamu. Kamu nggak mau, kan, merusak semuanya?"

"Nggak mau."

"Nah, janji sama saya kamu harus menyelesaikan proyek ini dan menjadikannya karya yang diminati pembaca."


Dari tadi aku nunggu notif komen, ternyata harus dibuka manual. Wp lagi lelah sepertinya 😌

Ada yang masih penasaran Amanda sebenernya terima Guntur apa nggak?

Ternyata Desember sisa 11 hari lagi, bakal selesai tahun ini nggak ya? 🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro