Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•16• Brainstorming Pernikahan

Sudah satu jam sepasang suami istri itu berada di posisi yang sama. Napas Bima terdengar teratur. Artinya anak itu berhasil direnggut oleh mimpi. Amanda mengelus kepala anak sambungnya perlahan, mengeluarkan bulir-bulir keringat. Sepertinya obat yang diminum Bima sedang bekerja.

Jangan harap bisa tidur di sini. Amanda benar-benar tidak bisa memejamkan kedua matanya. Jantungnya dari tadi berdebar kencang sampai kakinya dingin karena menahan gugup. Ini pertama kalinya Amanda satu kamar dan satu ranjang dengan pria. Amanda khawatir Adipati berbuat macam-macam, apalagi Bima sudah tidur pulas. Wajar, kan, kalau Amanda punya pikiran seperti itu? Laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan, pasti ketiganya setan.

"Sepertinya Bima sudah tidur." Adipati bersuara.

Amanda memutar bola matanya. Ini tidak sepertinya lagi, tapi memang benar-benar sudah tidur. Basa-basinya yang benar, dong!

Pria itu mengubah posisi, lalu mengenakan sandal dengan hati-hati. Setelah itu, berdiri tegak. "Sebaiknya kita ngomong di luar saja."

Kening Amanda berkerut. Lho, siapa mau bicara sama situ? Dasar gensian! Mbok langsung bilang gitu kalau mau ngajak ngobrol.

Meski hati masih dipenuhi murka, Amanda tetap mengikuti suaminya. Gadis itu menyusul Adipati yang sudah duduk di sofa ruang tengah.

"Bapak mau minum sesuatu? Kebetulan saya mau bikin teh," tawar Amanda. Walau masih kesal, rasanya ada yang kurang kalau hanya duduk tanpa minuman.

"Boleh. Tolong buatkan saya kopi, ya."

"Oke."

Jujur ini kali pertama Amanda menawarkan lalu membuatkan minum untuk Adipati. Selama ini, keduanya benar-benar menjalani kehidupan masing-masing. Amanda memasak untuk sarapan dan makan malam. Keperluan lain pun Adipati menyiapkan sendiri.

Beberapa menit kemudian, Amanda datang dengan membawa dua cangkir berisi teh dan kopi hitam.

"Terima kasih."

Amanda memilih duduk di sofa single di seberang pria itu. Hening mendominasi. Hanya helaan napas yang terdengar dari mulut Adipati setelah menyeruput kopinya. Amanda yang tidak tahu ingin bicara apa memilih menyesap cairan berwarna kuning itu.

"Saya minta maaf."

Amanda mendongak, lalu mematung menatap wajah Adipati. Laki-laki itu terdengar tulus saat mengucapkan maaf. Hal itu menggugurkan perasaan kesal di hatinya.

"Saya harusnya nggak marahin kamu. Saya tadi panik pas tahu Bima sakit. Kamu mau, kan, maafin saya?"

"Saya juga minta maaf, Pak. Saya lalai jagain Bima. Saya nggak jujur ke Bapak," kata Amanda tulus.

"Saya akui saya yang paling salah di sini. Kamu benar, harusnya saya terbuka sama kamu soal Bima. Biar bagaimanapun kamu ibunya sekarang. Kamu nggak tau apa-apa, tapi nyaris sepanjang waktu sama dia. Apalagi ... kamu sambil mengerjakan novel project. Saya salut sama kamu yang bisa melakukan semuanya sendirian. Saya justru menambah beban kamu dengan marah-marah seperti tadi."

Amanda tersenyum tipis. Untunglah Adipati cepat sadar akan kesalahannya. Berarti dirinya masih memiliki harapan.

Adipati kembali menikmati cairan hitam buatan Amanda. "Sejak istri saya meninggal, saya tidak pernah dekat dengan wanita mana pun. Waktu saya dihabiskan untuk bekerja dan mengurus anak. Hati saya mati rasa. Tidak pernah sedikit pun di dalam pikiran saya untuk mencari pengganti. Sampai kamu datang, sampai saya harus menikah karena ibu dari mendiang istri selalu mengusik Bima."

"Terus, neneknya Bima sekarang ada di mana?" tanya Amanda yang mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

"Mereka masih di luar negeri. Saya belum mengabarkan pernikahan kita. Mungkin sebentar lagi mereka akan datang menagih janji saya."

"Kalau mereka tahu kita sudah menikah, apa mereka nggak akan mengusik lagi?"

"Sepertinya. Saya nggak bisa memastikan."

Amanda mengangguk sembari menangkup cangkir. "Kalau saya boleh jujur, saya ingin meluruskan pernikahan ini, terutama hubungan kita. Bapak harus tahu, saya ingin menikah sekali seumur hidup. Saya memang tidak tahu Bapak ini jodoh saya apa bukan, tapi saya akan berusaha untuk tetap konsisten dengan jalan yang sudah saya pilih."

Amanda menghela napas, lalu melanjutkan, "Saya sebenarnya nggak suka sama anak kecil, tapi saya berusaha menyayangi Bima seperti anak kandung. Saya mau jadi ibu yang baik untuk dia. Makanya saya ngebolehin Bima panggil ibu. Saya melakukan ini karena nggak mau Bima semakin merasakan kehilangan. Saya tahu rasanya kehilangan orang tua."

Hening merebut posisi. Membiarkan Adipati meresapi setiap kata yang terucap dari bibir gadis itu. Amanda membiarkan Adipati menyelami perasaannya. Tidak, Amanda belum jatuh cinta, bahkan sepertinya tidak ada dalam bayangan. Amanda hanya ingin tahu mau dibawa ke mana pernikahan ini.

"Saya juga kepikiran seperti itu, tapi saya masih bingung bagaimana cara memulainya. Anggap saja sekarang kita sedang brainstorming. Kamu ingin hubungan yang seperti apa?"

Ditanya seperti itu, Amanda bergeming, mencoba mengingat adegan-adegan yang pernah ia tulis atau pernah dia baca di novel-novel. Juga dari couple goals yang selalu dia lihat di media sosial. "Saya suka orang yang mau meluangkan waktunya untuk saya, entah itu dengan jalan-jalan atau duduk berdua seperti yang kita lakukan sekarang. Mau sesibuk apa pun dia, kalau bisa membagi waktu, saya bahagia. Saya juga senang disentuh kalau lagi sedih. Saya nggak butuh kata-kata manis apalagi gombalan receh. Yang penting bagi saya orangnya ada di depan mata."

"Berarti love language kamu quality time sama physical touch," ucap Adipati.

"Kayaknya, sih, iya."

"Kamu pernah pacaran sebelumnya?"

"Waktu masih sekolah, sih, pernah. Pas udah lulus, saya fokus cari uang dan nulis."

Adipati memilih mengangguk dan kembali menempelkan ujung cangkir ke mulut.

"Kalau Bapak, love language-nya apa?"

"Kurang lebih sama kayak kamu. Bedanya kalau physical touch, saya nggak suka memperlihatkannya di depan umum."

"Lha, terus di mana?"

"Di rumah atau ... di dalam kamar."

"Ish!" Amanda mencebik. "Emang Bapak mau sama saya?"

"Lho, kamu istri saya, masa nggak mau."

Mendadak Amanda bergidik. Dia jadi membayangkan dirinya dan Adipati melakukan ... hush, hush! Amanda segera mengusir pikiran buruk itu. Lagi pula, kenapa jadi berubah gini topiknya? Tidak mungkin, kan, Adipati meminta haknya sekarang?

"Bapak nggak minta itu sekarang, kan?" Amanda berani bertanya seperti itu pada Adipati.

Adipati tersenyum. Tidak, pria itu malah terlihat seperti sedang menahan tawa. Wajah Amanda memanas. Malu sekali!

"Itu terserah kamu, Amanda. Saya nggak akan memaksa. Yang penting sekarang kita sama-sama nyaman dulu. Saya nggak mau kamu menyesal karena terburu-buru."

Dalam hati Amanda sangat lega mendengar itu.

"Kita mulai dari awal saja, Amanda. Dimulai dari panggilan. Saya agak risi kamu masih panggil saya bapak."

"Kan, wajar. Bapak, kan, udah bapak-bapak."

"Kalau di depan Bima, saya setuju. Tapi, kalau kita sedang berdua begini, saya ingin dengar panggilan lain. Kalau kamu panggil saya mas, saya akan panggil kamu adek. Gimana?"

Alis Amanda terangkat. "Harus, ya, ada panggilan khusus?"

"Kalau menurut saya harus. Biasanya berawal dari panggilan, lama-lama bisa menumbuhkan rasa."

Amanda bergeming. Ya, tidak ada salahnya dengan panggilan itu. Mungkin ini adalah salah satu cara bagi Adipati memiliki koneksi dengannya.

"Oke, saya setuju. Mulai sekarang, saya akan ubah panggilan kalau lagi berdua."

Hari ini aku belum nulis, padahal di pf sebelah mulai ramai. Ini sisa kemarin.

Dari tadi ngurusin cucian. Udah kering, cuma ditinggal sebentar kehujanan 😔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro