Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

•14• Pengalaman Pertama

Tentang Bima yang main hujan-hujanan, Amanda sengaja tidak memberitahu Adipati. Dia masih malas berdebat dengan pria itu. Apalagi, kemarin Adipati pulang pada pukul sembilan malam. Kadang Amanda kepikiran pekerjaan apa yang mengharuskan Adipati di luar sampai larut malam. Namun, hatinya tidak memiliki daya untuk sekadar bertanya.

Kabar baiknya, pertemuan dengan Firman diundur sampai lusa karena pria itu ada urusan mendadak. Ya, jadi, Amanda masih punya waktu untuk mengerjakan revisi yang diberikan Adipati.

"Kamu tahu, tiga bab pertama itu adalah gerbang menuju suksesnya novel kamu. Kalau kamu nulis tiga bab awal asal-asalan, ceritamu nggak ada yang baca."

"Terus biar pembaca betah gimana, Pak?"

"Ya, kamu harus ikuti konsep yang sudah saya buat, sebisa mungkin kalau mau melenceng jangan kejauhan. Sama kamu harus tahu kapan harus narasi dan kapan harus dialog. Di naskah kamu, kamu kebanyakan dialog alih-alih narasi. Padahal, banyak sekali adegan yang bisa kamu narasikan. Seperti pertemuan dua tokoh ini. Harusnya kamu eksplore adegan ini dengan narasi. Nggak usah ada dialog basa-basi. Kamu paham?"

Amanda mengangguk meski tidak paham sepenuhnya.

"Dari teknis, kamu masih salah menempatkan kata namun dan tetapi. Kata namun selalu di belakang koma, sedangkan kata tetapi didahului koma. Lalu, kata sedangkan itu nggak boleh diawali dengan tanda titik, harus dengan tanda koma. Sepertinya kamu harus belajar materi ini dulu."

"Iya, Pak. Saya akan berusaha keras lagi."

"Bagus."

Usai mengucapkan kalimat itu, Adipati menutup laptopnya, memasukkannya ke tas, lalu tali tas itu dia sampirkan ke bahu. "Saya harus ke kantor. Nanti kamu yang jemput Bima."

"Iya, Pak."

"Terima kasih, Amanda. Maaf saya merepotkan kamu terus."

Memang harusnya seperti itu, kan? Amanda ini ibunya walaupun bukan ibu kandung. Ya, masa, tidak mau direpotkan. Meski kadang tingkah Bima membuat sakit kepala, Amanda mencoba menerima langkahnya sekarang.

Usai masak untuk makan siang, Amanda memacu motornya menuju sekolah Bima. Amanda tidak mau terlambat datang dan berakhir anak itu membuat ulah. Dia tidak akan pernah lupa bagaimana kelakuan Bima saat pertama kali dijemput olehnya. Anak itu berani keluar dari gerbang sekolah sendiri, lepas dari pengawasan sekuriti. Tahu apa yang terjadi? Anak kecil itu hampir saja tertabrak motor.

Ada rasa ingin balik ke rumah. Amanda tidak masalah jika harus jadi babu ibunya daripada mengurus Bima. Namun, mengingat Ratmi dan Anida begitu menyebalkan, Amanda mengurungkan niat itu. Bahkan, kini nomor kakaknya diblokir karena nyaris tiap jam diteror pulang terus. Kenapa harus Amanda? Uang Anida lebih banyak darinya, harusnya mampu kalau hanya untuk sewa satu ART.

Lupakan! Ada yang lebih penting dari kakaknya. Tanpa melepas helmnya, Amanda turun dari motor, menghampiri Bima yang sudah berdiri di depan pintu gerbang. Anak itu terlihat melamun. Saat Amanda mengikuti arah pandang Bima, dia menemukan seseorang anak kecil yang mengenakan seragam sekolah seperti Bima, dijemput oleh ayah dan ibunya.

Hati Amanda mencelus.

Tanpa dijelaskan pun, Amanda tahu Bima menginginkan itu. Bima ingin kebersamaan dengan kedua orang tuanya. Rasanya sakit membayangkan selama ini Bima hanya diantar dan dijemput oleh Adipati. Anak sekecil Bima harus dihadapkan dengan kenyataan bahwa ibunya sudah tidak ada di dunia.

"Bima ...."

Anak itu menoleh dan sedikit tersentak dengan kehadiran Amanda.

"Ayo, pulang! Tante udah masakin kamu kornet, lho."

Biasanya Bima senang karena itu makanan kesukaannya. Akan tetapi, anak itu diam saja. Amanda akhirnya berlutut agar tubuhnya sejajar dengan Bima.

"Bima kenapa?" Amanda memegang kedua bahu Bima. Matanya menatap wajah bulat milik anak sambungnya itu.

"Bima pengen ibu, tapi ibu di surga."

Amanda terhenyak. Sebisa mungkin bibirnya menampilkan senyum. Dia sangat paham. Bima merindukan ibunya, sama seperti dirinya yang selalu rindu dengan mendiang ayahnya. Amanda tahu rasanya merindukan seseorang yang tidak akan pernah bisa disentuh raganya lagi. Terkadang Amanda menghabiskan malamnya dengan menangis ketika rasa itu mengurung hingga mencengkeram jantungnya.

Tangan Amanda terus mengelus tubuh anak itu. Bima sedikit hangat, tapi sepertinya ini karena terlalu lama berdiri di bawah terik matahari. "Kan, ada tante. Kamu boleh anggap tante ini ibu kamu."

Mungkin untuk saat ini Bima belum paham dengan bentuk hubungan kedua orang tuanya. Namun, Amanda mencoba pelan-pelan memberikan pengertian. Dirinya memang tidak melahirkan anak ini, tapi Amanda akan berusaha menjadi ibu yang baik. Mampu menggantikan duka di hati anak ini.

"Tante mau jadi ibu aku?"

"Mau, dong. Bima mau, kan, jadi anak tante?"

"Mau, Tante."

Amanda kemudian berdiri, menggandeng tangan Bima. "Kalau begitu, sekarang kita pulang!"

"Kalau mulai sekarang Bima panggil ibu bukan tante, boleh?"

Perempuan yang kepalanya masih tertutup helm itu menoleh, kemudian tersenyum. "Boleh."

Setelah obrolan itu, Bima tampak berbeda. Biasanya ketika tiba di rumah, anak itu mulai beraksi dengan membongkar mainan atau mengacaukan meja makan dengan makanan tercecer. Hari ini, Bima terlihat lesu. Makanannya saja hanya diaduk-aduk. Tentu sebagai manusia yang tidak sempurna serta ini adalah pengalaman pertamanya, Amanda kebingungan.

"Bima kenapa?"

"Sakit."

Mendengar itu, bohong kalau Amanda tidak panik. "Mana yang sakit?"

"Ini." Bima menunjuk lehernya.

Amanda segera mengecek bagian itu. Tidak ada luka, berarti sakitnya di dalam. "Rasanya gimana?"

"Kalau buat makan sakit."

Saat Amanda menyentuh kening Bima, terasa panas sekali. Bodoh! Harusnya waktu di sekolah tadi, dia langsung sadar jika hangat di tubuh Bima bukan karena cuaca, tapi karena sakit. Tahu begini, kan, bisa langsung pergi ke klinik.

"Bentar, ya. Kamu tunggu di sini!"

Setengah berlari, Amanda mendekati laci yang letaknya tidak jauh dari meja makan. Beruntungnya dia segera menemukan benda yang dicari, termometer digital. Amanda kembali ke tempat duduk Bima dan menyuruh anak itu merentangkan satu tangannya, kemudian termometer itu diapit di ketiak. Terdengar bunyi 'pip' setelah itu. Amanda mengambil alat itu, matanya terbelalak usai melihat angka yang tertera.

"Aduh, anak orang ini! Aku harus gimana!"

Rasa sesak di dada merambat sampai ke perut. Tubuh gadis itu limbung. Tangannya yang gemetar meraih ponsel di meja. Mengetik sebuah kata kunci di mesin pencarian.

"Berikan cairan sebanyak mungkin, anak tidak boleh sampai dehidrasi saat tubuhnya panas, jangan tutupi tubuh anak dengan pakaian atau selimut tebal, kompres air hangat, biarkan anak tidur dengan tenang." Amanda membaca cara-cara untuk menolong anak demam di mesin pencarian.

"Sakit."

Sontak Amanda menoleh. Jantungnya berdegup kencang mendengar rengekan itu. "Bima jangan nangis, ya. Sini tante obatin."

Usai mengambil napas, Amanda mengangkat tubuh Bima, lalu melangkah menuju kamar anak itu. Amanda segera mengganti baju Bima dengan kaus tipis.

"Bima minum dulu, ya."

"Nggak mau!"

Anak itu meraung kesakitan. Amanda makin gelagapan. Lagi-lagi, meminta bantuan pada ponsel. Kenyataan kembali menghantam tubuhnya. Amanda belum memiliki nomor ponsel Adipati.

Amanda tidak mau mengambil risiko. Amanda tidak tega melihat Bima kesakitan. Dengan mengikis rasa malunya, dia menekan salah satu nomor yang diyakini tahu keberadaan bapak dari anak ini.

"Amanda? Ada apa telepon saya?"

Amanda menggigit bibirnya setelah suara Firman terdengar. "Anu, Pak, saya mau tanya, apa Pak Adipati ada di kantor?"

"Saya kurang tau, Manda. Kan, saya lagi nggak di sana sekarang."

Amanda menepuk keningnya. Lupa kalau Firman sedang ada urusan. "Kalau begitu, boleh saya minta nomor telepon Pak Adi yang bisa dihubungi? Saya ... mau tanya-tanya soal naskah, tapi ... Pak Adi susah dihubungi lewat email."

"Setelah ini saya kasih nomor telepon Adi, ya."

"Iya, Pak. Terima kasih atas bantuannya."

Benar saja. Setelah telepon ditutup, Amanda menerima satu pesan dari Firman yang isinya nomor Adipati. Tanpa memakan waktu lama, gadis itu segera menghubungi nomor tersebut.

"Halo, dengan siapa?"

"Ini saya. Bapak bisa pulang sekarang? Bima ... sakit."


Kasian Amanda 😌

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro