•10• Saling Menguntungkan
Drama belum rampung, saudara-saudara. Bima kembali merengek tidak mau diantar pakai motor. Alhasil, Amanda terpaksa memesan taksi online supaya Bima mau pergi ke sekolah. Amanda pikir anak itu akan diam setelah kemauannya dituruti, ternyata salah besar. Sesampainya di sekolah, Bima lagi-lagi merengek tidak mau ditinggal sendirian. Kali ini, Bima benar-benar menguji kesabaran karena berteriak di depan guru dan anak-anak yang lain. Amanda akhirnya terpaksa masuk ke kelas, mengikuti serangkaian kegiatan belajar taman kanak-kanak.
Ini anak siapa, yang repot siapa, batin Amanda yang kesal karena Adipati belum juga menghubunginya.
"Mbak ini baby sitter-nya Bima, ya?" Seorang wanita mendekati Amanda dan Bima, lalu bertanya seperti itu. Dilihat dari pakaiannya, wanita ini adalah salah satu guru.
Ditanyakan itu, Amanda kebingungan. Kalau dirinya berbohong, nanti ketahuan. Kalau jujur, ketahuan juga statusnya. Lagi pula, sama guru ini. Sepertinya akan terjamin.
"Bukan, Bu. Saya ibu sambungnya."
Wanita itu terkejut. "Lho, Pak Adi ternyata sudah menikah lagi?"
"Iya, Bu. Kami baru menikah sekitar dua minggu yang lalu."
"Oalah masih pengantin baru, ya. Mbaknya juga kelihatan masih muda. Semoga pernikahannya langgeng, ya. Amanah dan sabar dalam mendidik Bima."
"Amin," ucap Amanda meski dalam hati dia tidak yakin. Kesabarannya setipis tisu. Belum ada sebulan, tapi sudah berkali-kali Amanda mengucapkan sumpah serapah walaupun di dalam hati.
Di tengah kelas, ponsel Amanda berdering. Amanda segera mengeluarkan benda itu karena tidak enak dengan para guru. Rupanya Anida yang menghubungi. Mau apa kakaknya ini?
"Bima di sini dulu, ya. Tante mau angkat telepon sebentar," titahnya pada anak sambung.
"Tante terima teleponnya di sini aja."
"Ya, nggak boleh, dong, sama Bu Guru. Tante bakal berdiri di depan pintu, kok. Bima bisa lihat."
"Ya udah, deh."
Amanda kemudian bangkit dan berjalan menuju pintu. Dia menoleh ke arah Bima sebelum mengangkat telepon.
"Kok, lama banget angkat teleponnya?" Suara Anida terdengar membahana di saluran telepon.
"Lah, Mbak juga ngapain telepon aku di jam sibuk?"
"Halah, kamu sibuk apa? Paling sekarang lagi tiduran."
"Sembarangan! Aku sekarang lagi di sekolah Bima, nemenin anak itu. Mbak kali yang tiduran sekarang!" balas Amanda tidak terima.
"Enak aja! Aku lagi kerja!"
Amanda memutar bola matanya. Mulai bosan dengan tingkah kakaknya. "Ya udah Mbak sekarang to the point aja. Mbak ngapain telepon aku?"
"Kamu, tuh, sekali-kali ajak suami kamu nginep di sini. Mentang-mentang udah nikah, kamu lupa sama keluarga. Nginep di sini biar rumah ada yang bersihin."
"Lah, kemarin, kan, udah dikasih duit sama Mas Adi. Mbok dipakai buat sewa pembantu. Lima puluh juta banyak itu, turah-turah!"
"Ibu nggak mau, Man. Kamu aja yang ke sini."
"Aku sekarang sibuk, Mbak. Punya anak yang harus aku urus. Udah, ya, silakan Mbak bersusah payah."
Amanda menutup telepon sebelum Anida cerewet lagi. Sukurin ... sekarang susah, kan? Amanda berusaha untuk tidak peduli sekarang. Biarkan saja Anida kerepotan menghadapi ibunya yang pemalas.
Sampai malam, Adipati belum menampakkan diri. Amanda terpaksa memotong waktu menulisnya karena harus menemani Bima main, memandikan, masak untuk makan malam, menyuapi anak itu, hingga menemani Bima tidur dengan membacakan dongeng.
"Tante sebenarnya siapa, sih? Tadi pas Bu Guru tanya, Tante bilang ibu sambung Bima. Tapi, kata Bapak, Bima punya ibu di surga."
Amanda baru saja menutup buku dongeng Kancil dan Buaya itu menoleh. Ah, bagian ini nyaris terlewatkan. Bima pasti mendengar percakapan tadi pagi. Anak sekecil ini mana paham dengan hubungan rumit orang dewasa? Terus, bagaimana cara Amanda menjelaskan? Harusnya ini tugas bapaknya!
"Tante itu sekarang istri bapak kamu yang artinya sekarang tante itu ibu sambung kamu."
"Istri itu apa?"
"Istri itu perempuan yang jadi teman laki-laki tapi dalam ikatan pernikahan."
"Pernikahan itu apa?"
Amanda memutar otak. Sumpah, pertanyaan ini sama levelnya dengan pertanyaan saat ujian nasional. Sulit. Haruskah Amanda membuka KBBI dulu untuk mencari jawaban?
"Pernikahan itu suatu perbuatan yang dilakukan laki-laki dan perempuan dewasa supaya hubungannya sah. Kalau sah, laki-laki dan perempuan itu nggak bakal dimarahi sama orang-orang. Contohnya kayak tante sama bapak kamu. Sampai sekarang, nggak ada, kan, yang marah-marah? " Amanda mencoba menjelaskan sesimpel mungkin. Entah Bima paham atau tidak, yang penting Amanda sudah mencoba.
"Kalau gitu Bima juga mau pernikahan biar ada temen main di rumah."
Amanda nyaris menyemburkan tawa. Untungnya dia segera menguasai diri. "Bima masih kecil, belum boleh nikah. Tugas anak kecil itu sekolah. Nah, Bima harus sekolah dulu sampai besar. Kalau Bima mau ada temen, Bima bisa cari di luar, tapi harus tahu batasan. Nanti kalau Bima sudah besar bakal ngerti."
"Bima jadi pengen cepet besar."
Senyum tercetak sempurna di kedua sudut bibir tipis perempuan itu. "Tante doain kamu supaya cepet besar. Sekarang Bima tidur. Besok harus bangun pagi biar nggak terlambat ke sekolah."
"Iya, Tante."
Ketika Bima terlelap, barulah Amanda berani pindah ke kamarnya. Sebelum menulis, Amanda memulai ritual cuci kaki, tangan, muka, dan gosok gigi dahulu. Dilanjutkan dengan memakai serangkaian perawatan wajah dan kulit. Barulah Amanda menyumbat kedua telinganya dengan earphone, tiduran sambil membaca novel.
Entah sudah berapa lama Amanda berada di posisi itu. Yang jelas sudah separuh halaman dibaca. Hingga tiba-tiba seseorang menarik novel dari tangan Amanda. Si empunya terlonjak begitu tahu siapa pelakunya.
"Astagfirullah! Ini kedua kalinya Bapak masuk ke kamar perempuan sembarangan! Kok, bisa masuk, sih, Pak?" tanya Amanda jengkel. Earphone bertengger di leher.
"Ini rumah saya. Jelas saya bisa masuk karena punya kunci cadangan."
"Ya, tapi, nggak sopan masuk ke kamar perempuan tanpa ketuk pintu!"
"Saya udah ketuk pintu berkali-kali, tapi telinga kamu ketutup. Lama-lama saya buang earphone kamu."
"Buang aja kalo berani!"
Amanda hanya memanas-manasi, tapi sialnya Adipati menanggapinya dengan serius. Tangan pria itu mulai menarik benda di leher Amanda. Sontak Amanda mempertahankan barang miliknya. Terjadi tarik-menarik sampai kemudian Adipati terjatuh di kasur, menindih tubuh Amanda.
Waktu seolah-olah berhenti saat kedua pasang mata saling beradu. Tanpa sadar Amanda menelan ludah kala mengamati visual wajah laki-laki berstatus suaminya itu. Ini pertama kalinya Amanda melihat wajah laki-laki sedekat itu. Adipati sama sekali tidak ada cela. Mata, hidung, bibir ... nyaris sempurna, bahkan tubuhnya wangi. Mendadak seluruh saraf di kepala Amanda ruwet ketika mendengar detak jantung Adipati.
"Bangun! Saya tendang burung Bapak kalau nggak bangun juga!" Amanda tidak mau terlena. Jangan sampai termakan hasutan setan. Pria ini belum jelas sudah memiliki rasa atau belum.
Adipati segera menyingkir dari tubuh Amanda. Dia berdiri di pinggir ranjang. Amanda menegakkan tubuhnya.
"Bapak ke mana aja seharian ini? Tega banget ninggalin anaknya."
"Saya ada urusan dan saya sudah bilang berkali-kali jangan panggil bapak."
"Terserah saya, dong. Kan, ini mulut saya. Lain kali kalau mau pergi itu bilang. Jangan langsung pergi. Untung Bima nggak rewel sama saya."
"Bima udah tidur?"
"Udah. Saya juga udah kasih dia makan. Bapak tenang aja."
"Terima kasih."
Hening. Amanda berusaha mencerna dua kata itu. Entah kenapa hatinya menghangat. "Bapak lagi dikejar rentenir, ya?"
Adipati mengernyit. "Kenapa kamu tanya begitu?"
"Ya, nebak aja, sih. Kan, Bapak habis kasih uang ke ibu saya dan itu banyak. Pasti Bapak pinjam uang ke sana, kan?"
"Sembarangan! Saya nggak sependek itu pikirannya. Terus, urusan itu kamu jangan pikirin lagi. Biar saya yang nanggung."
"Tapi, kalau Bapak pinjam uang, saya bakal bantu nyicil. Kebetulan saya masih punya--"
"Kamu cukup bantu saya jagain Bima, itu sudah cukup."
Sunyi lagi. Kalau begini, Amanda merasa tidak enak. Akibat ulah ibunya, Adipati jadi susah. "Satu sisi saya senang bisa keluar dari rumah, tapi saya juga kasian sama Bapak."
"Oh, jadi ini alasan kamu terima tawaran saya? Kamu mau pergi dari rumah?"
Amanda tersenyum lebar. "Saya harus memanfaatkan situasi ini, kan? Bapak butuh istri, saya butuh rumah. Kita saling menguntungkan."
Mulai update sore, lama-lama update subuh lagi 🤣🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro