-Jumat ke-24
Tema 24: Memalsukan kematian
*
Genap seminggu aku sudah menjauhi Kiina ... harusnya aku bisa mengontrol emosiku sendiri dan tetap berteman saja, lalu berpura-pura seolah tidak terjadi apa-apa, 'kan ya?
Sayangnya, pura-pura pun akan lebih sakit kurasa. Sementara jika aku tetap berkeliaran di dekatnya, kurasa, aku akan lebih membebaninya. Kujalani Jumat minggu itu seperti biasa saja, sampai tiba-tiba muncul keriuhan di koridor sekolah.
"Kiina kritis!"
Apa? Aku langsung menoleh dan menajamkan telingaku, dan ternyata benar. Murid-murid yang riuh di sana sedang meributkan Kiina yang kabarnya kritis karena kecelakaan.
Tidak kusangka, di minggu ke-24 pun, aku masih memutuskan untuk membolos sekolah. Aku menyambar tasku dan segera berlari ke luar sekolah, tak peduli lagi soal belajar.
Aku hanya ingin Kiina selamat, aku hanya ingin ia dapat melewati masa kritisnya. Aku masih berlari menuju ke rumah sakit, sampai agak jauh dari sekolah, aku melihat ada sebuah bus yang sedang menunggu di salah satu halte.
"Ke rumah sakit, Pak?" tanyaku saat masuk.
Aku agak terkejut saat melihat sopir bus itu ternyata adalah bapak-bapak yang dulu pernah mengantarku ke pantai.
"Tidak, tapi aku bisa mengantarmu ke sana, ini adalah pelayanan khusu untukmu. Cepat naik!"
Senyumku terulas. "Terima kasih!"
Meski dikata pelayanan khusus pun, Pak Sopir masih harus mengantar penumpang lainnya sesuai rute trayek. Aku tidak bisa melakukan apa pun juga sih, mana mungkin aku secara egois melangkahi hak-hak orang lain demi diriku sendiri? Aku hanya menempatkan keyakinan dan doaku pada Kiina, semoga dia bisa bertahan dan bertemu denganku lagi.
Sekitar 30 menit kemudian, aku sampai di rumah sakit. Setelah mengucapkan terima kasih ke Pak Sopir, aku segera berlari ke resepsionis. Resepsionis berkata padaku bahwa memang benar ada gadis SMA yang baru saja dilarikan ke IGD dan sekarang sedang ditangani. Kebetulan, perwakilan keluarga belum datang, jadi sementara aku mengajukan diri sebagai perwakilan.
"Silakan belok kanan saja."
"Baik." Aku menyahut.
Tepat saat aku sampai di depan pintu IGD, seorang dokter keluar. Tak pakai basa-basi, aku segera menanyai beliau soal keadaan pasien bernama Kiina.
"Apakah kamu wakilnya?"
"Saya temannya! Saya rasa, orang tuanya akan segera datang nanti!"
"Baik." Dokter tersebut menghela napas, lantas mengatakan sesuatu yang rasanya membuat jantungku ikut berhenti berdetak untuk beberapa saat.
Sebelum Kiina dibawa ke ruang duka rumah sakit, aku dipersilakan masuk ke ruang rawat IGD. Aku berjalan dengan gontai ke kasur di mana telah tergolek seseorang di sana. Selimutnya sudah ditarik sampai ke atas kepala.
Tanpa bisa aku kontrol lagi, aku menangis tersedu sedan.
"Jadi, kamu masih mengkhawatirkanku?"
Aku terperanjat. Saat aku menoleh, aku menemukan Kiina sedang berdiri di ranjang yang lain.
Tanpa aba-aba, gadis itu menyambar tubuhku ke pelukannya.
"Maaf aku berbohong sampai sejauh ini, tapi aku senang kalau kau masih mengkhawatirkanku." Kiina menangis.
Masih dalam posisi berpelukan, ia mengatakan bahwa benar jika ia terlibat kecelakaan. Hanya saja, dia hanya mengalami luka ringan, dan entah kena angin dari mana, ia merencanakan sesuatu untuk menipuku, menggunakan Pamannya yang merupakan seorang dokter yang tadi aku temui.
Jujur, aku kesal. Saat aku ingin memarahinya karena ide jahilnya kali ini sungguh kelewat batas, Kiina mengatakan sesuatu tepat di samping telingaku.
”Aku ingin memberitahumu ... jawabanku."
Aku mematung.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro