-Jumat ke-22
Tema 22: Kalimat pertama sesuai gacha: The little boy's idea of heaven was ....
*
"The little boy's idea of heaven was a peaceful day, even if it's just once in a week."
Perkataan Kiina membuatku bingung sejenak. Bahasa apa itu tadi?
"Bilang apa kau tadi?" tanyaku.
"Bayangan surga yang diinginkan bocah itu adalah hari yang damai, bahkan, kalau cuma sekali dalam setahun, itu artinya," jawab Kiina.
"Eh, bahasa apa itu?" Pertanyaanku awalnya sedikit membuat Kiina terkejut, barang selintas.
Saat itu aku tidak yakin apakah ekspresi wajahnya berubah, tapi, semakin lama, hingga saat ini, aku jadi yakin kalau Kiina sempat kaget. Mungkin seperti ekspresi saat seseorang terpergok berbohong? Seperti itu.
Kubilang, aku mencintai Kiina, dan itu adalah cinta pandangan pertama, meski begitu, aku tidak tahu apapun tentangnya. Rasanya hanya seperti melihat sebuah gunung es di tengah lautan, yang ternyata hanya terlihat puncaknya, sementara itu masih banyak yang terendam air laut di bawah sana.
Kiina segera tersenyum kepadaku. "Hari Jumat ini, damai, 'kan?"
Ah, dia mengalihkan pembicaraan.
"Iya, tapi ini justru bencananya kan?" ujarku.
Kiina tertawa pelan dengan senyum tipisnya. Tangannya menyentuh pipiku, dan aku tidak dapat merasakan apapun. Harusnya tangannya Kiina hangat, dan harusnya wajahku juga menghangat karena gerakannya.
Kau bertanya kenapa aku tidak bisa merasakan apapun? Bencana hari Jumat minggu ke-22 adalah "alam mimpi". Baik aku dan Kiina, dan seluruh orang di kota ini, semuanya sedang "hidup" dalam mimpi sampai hari Sabtu datang.
Itu pun jika kami kembali.
Saat aku mengkhawatirkan apa tindakan Komite Kebencanaan—jaga-jaga jika kami tidak dapat kembali—Kiina malah mendekatkan wajahnya ke arah kami.
"Kau, tidak bisa merasakan apapun, 'kan? Kau bahkan tidak bisa merasakan sentuhan tanganku, 'kan?"
Iya, tapi aku tidak dapat menjawab ataupun mengangguk. Yang kami lakukan hanyalah saling memandang, dan konsep dilatasi waktu kembali berlaku. Pupil mata gelap dengan iris coklat milik Kiina seolah seperti danau di puncak kawah sebuah bukit, dan aku tenggelam dalam kegelapannya. Suara debur ombak yang menghantam pantai menjadi alunan musik jazz di antara kami berdua.
Sejurus kemudian, entah siapa yang memulai, jarak sejengkal di antara wajah kami ... terhapus.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro