Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-Jumat ke-1

Tema 1: Penciptaan

*

Langit kehilangan warna birunya sesaat setelah kami semua bangun dari tidur.

Kualihkan pandangan dari jendela kamarku ke kalender di depan meja belajar, dan aku menghela napas.

"Hari Jumat," gumamku.

"Rio!" Kudengar suara langkah kaki berlari menapaki tangga, menuju kamarku di lantai dua.

"Aku sudah bangun!" jawabku tepat saat pintu kamar terbuka. Terlihat wajah Ibuku yang khawatir dan terengah-engah setelah tergopoh berlari menuju kamar.

"Ah, syukurlah! Yang hilang hanya warna langit."

Aku mengulas senyun simpul, ada alasan Ibu bersikap begini.

"Iya, aku akan mandi dulu. Sudah jam 6 pagi, 'kan?"

Ibu mengangguk dan pergi menuruni tangga sambil mengatakan bahwa beliau akan membuat sarapan.

Hari itu, suasana rumah agak sedikit ... berbeda. Maksudku, di hari Jumat, rumah mana yang yang suasananya tetap hangat atau tetap dingin seperti hari biasa. Ini haru Jumat loh, hari paling aneh dari tujuh hari dalam seminggu.

Keanehan apa yang akan terjadi sepanjang hari tidak dapat diprediksi, kasus terburuk, bisa terjadi bencana alam.

Sementara Ibuku ... Ibuku punya pengalaman tidak mengenakkan di hari Jumat. Mungkin akan kuceritakan nanti, kalau sempat.

Setelah mandi dan menghabiskan sarapan, aku pergi menyusul ayahku yang sudah pergi duluan ke kantor karena akan menyelesaikan beberapa hal sebelum rapat dimulai.

"Semoga kita semua selamat hari ini," ujar Ibu pada Ayah dan padaku.

Aku menghirup napas panjang setelah melangkahkan kaki ke luar rumah, lalu mengayuh sepedaku ke rute yang biasanya. Perjalanan menuju sekolah di bawah langit yang seputih kanvas ... seputih kanvas ya, aku penasaran apakah ada orang yang iseng-iseng bakal melukis di langit.

Tunggu, sesungguhnya ada orang yang benar-benar iseng melukis langit!

"Hah?!" Aku terpekik, kontan menggenggam rem sepeda, depan dan belakang.

Seorang gadis berambut sedikit lebih panjang dari bahu menoleh dengan wajah, baju, dan celemek yang belepotan cat. Di tangannya ada satu ember kecil cat yang baru isinya baru saja ia lempar, dan di depan mataku, cat itu melayang tinggi sampai menetap di langit, membentuk goresan.

"Mau coba?" tanya gadis itu padaku sambil tersenyum.

Hari ini adalah hari pertama, aku bertemu dengan gadis yang selalu membolos tiap hari Jumat.

"Aku baru pindah ke kota ini, dan percayalah, nggak ada gunanya sekolah di hari yang kapan saja, jam berapapun, kamu bisa mati. Mending kita bersenang-senang sebelum mati dan jadi arwah penasaran," ujarnya sambil membuka tutup ember cat yang lain.

"Kita benar-benar bisa melukis di awan ...," ujarku masih takjub.

"Nih!" Cewek itu sedikit memukul dadaku, memberiku kuas cat. "Aduk sendiri dan ayo kita mewarnai langit!" Ia kini tersenyum kembali, dengan senyuman yang lebih lebar sampai matanya menutup. Ia tersenyum tepat beberapa jengkal saja dari wajahku ....

"Ayo!" Dia menarik tanganku.

"Eh tunggu!" Aku kesusahan turun dari sepeda gara-gara dia bersikeras. Ini sepeda kesayanganku, nggak boleh sampai jatuh, maksudku, cuman aku aja yang boleh ngejatuhin sepeda ini karena kebodohanku sendiri, orang lain jangan!

Aku mengikuti gadis itu, ia menawarkan celemek yang ia ambil dari garasi rumahnya dan aku menurut.

"Campur sesuai hati, aku juga nggak bisa melukis," kata gadis itu.

Yah, aku besok pasti akan dimarahi karena ketahuan bolos. Tapi memang benar, kira-kira apa yang bakal terjadi dengan langit putih ini, ya?

Ujung-ujungnya aku mengikuti permainan gadis itu. Aku mencampur cat lalu menyiramnya ke udara, cairan berwarna-warni itu benar-benar terbang sampai ke langit dan tercetak di sana.

"Ayo kita warnai langit seluruh kota!" ujarku, terlampau bersemangat.

"Boleh, asal kamu jangan sampai capek duluan." Oh, gadis itu malah membalas tantanganku.

"Jangan remehin aku."

Kami pun mulai membawa dua kaleng cat dan berlarian ke sana ke mari, melempar cat-cat itu ke udara sampai cat itu tercetak, mengganti warna putih langit menjadi warna biru, merah, oranye, kuning, hijau, macam-macam!

Aku terpana melihat langit yang tadinya kosong, sekarang seperti dipenuhi oleh lukisan abstrak yang rasanya ... penuh semangat dan membahagiakan!

Aku dan gadis itu berlarian dan tertawa, sesekali berteriak karena terkena percikan cat.

Sampai kami tak sadar, bahwa waktu terus berjalan dan kini sudah tengah hari. Sebentae lagi, matahari perlahan akan bergerak menuju ufuk barat, dan gadis itu mengatakan sesuatu, di bawah langit yang sebagiannya sudah berwarna-warni.

"Saatnya encore."

"Huh?" Belum sempat aku bertanya, gadis itu menarik tanganku untuk kembali menuju rumahnya.

"Ayo masuk, di rumah cuman kita berdua kok." Oh enteng banget ngomongnya, sementara wajahku tiba-tiba memerah.

Sulit untuk mengendalikan jantungku yang jumpalitan dan otak yang sedang berkelana gara-gara ini pertama kalinya, aku ke rumah cewek dan sendirian, tidak ada orang lain selain kami.

"Bantu aku ston ambil pewarna makanan di garasi! Aku mau mengambil gula sama mesinnya! Oh, taruh di taman belakang!"

"O-oke!" Aku segera memelesat kembali ke garasi dan mengungsikan satu persatu warna secukupnya ke taman belakang rumah gadis ini.

Gadis itu menyiapkan dua kantong gula pasir lima kilogram.

"Kok bisa punya stok pewarna makanan sebanyak ini? Cat juga?"

Gadis itu terkekeh. "Setelah ini aku jelasin."

Gadis itu dengan lihai mencampur warna dan gula ke dalam mesin yang bisa berputar ... ah, itu mesin untuk membuat gula kapas!

"Mau coba bikin? Kamu yang putar-putar, aku yang campur gula sama pewarna."

Aku mengangguk. Kami membuat sepuluh hingga dua puluh tusuk gula kapas sepanjang tiga puluh sentimeter dengan diameter yang cukup besar.

"Siapa yang mau makan semua ini?"

"Bukan buat dimakan, lah." Ia menjitak kepalaku. "Kita tiup satu-satu ... atau ambil kipas di ruang tamu, mumpung masih cerah, ayo!"

Setelah aku mengambil kipas, saat ia mengarahkan gula kapas di depan kipas dan melepaskan gulungan kapasnya secara hati-hati, makanan manis itu terbang ... dan menjadi awan di langit yang sudah penuh dengan lukisan abstrak.

"Wah!" Aku tidak bisa berhenti mengatakannya.

Seluruh gula kapas yang kita buat sudah bersarang di langit.

"Nah, kita tunggu."

Kami pun duduk dalam diam. Aku memandang wajahnya dari samping yang sejak tadi mengulas senyum sambil memandang langit.

Ah, ternyata dia .... Aduh, apa sih! Yakin deh, mukaku pasti merah sekarang, tapi gimana ya ... dia ... manis.

Tik.

"Oh!"

Aku terperanjat, ikut menengadah dan mengetahui bahwa ada rintik hujan yang sudah turun.

Tiba-tiba saja, gadis itu kembali menarik tanganku sampai kami benar-benar tidak berada di bawa tritisan atap. Tepat saat itu, hujan turun dengan deras.

Air berwarna-warni membasahi seluruh tubuh kami, dan gadis itu, berinisiatif mengajakku berdansa di bawah hujan. Ia tidak henti-hentinya tersenyum dan tertawa, mau tidak mau, aku jadi tertular.

Sepertinya, air hujan ini campuran dari pewarna makanan dan gula karamel, serta cat-cat yang tadi kami siram ke langit.

"Langit hari Jumat ini keren banget!" teriak gadis itu di bawah hujan.

Ah, aku jadi teringat sesuatu.

"Hei!" Aku memanggil.

"Apa?!"

"Namamu!"

"Hah?!"

Duh, hujannya terlalu deras.

"Namamu siapa?!"

"Oh, namaku Kiina!"

Hari itu, hari di mana kami membuat langit yang putih polos menjadi langit penuh warna, adalah hari pertama aku bertemu dengannya.

Namanya, Kiina.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro