Sebelas
BERIKUT rincian rencana wawancara kami: hari ini sepulang sekolah, aku akan melakukan wawancara secara tatap muka dengan Elfredo Willy di taman belakang (jangan lupa direkam), lalu dari kejauhan (tepatnya dibalik semak dan batang bambu liar untuk membidik fotoku dengan Dodo (kedengaran seperti pelanggaran privasi, aku tahu). Sayangnya saat aku mengatakan hal serupa pada Serga, ia hanya membalas, "Oh, gampang. Sebelum wawancara, minta izin untuk foto dan rekam sama dia. Bilang kalau foto dari jauh emang lebih bagus, pasti diizinin, kok."
Aku agak meragukan hal itu, tapi tidak mengatakan apa-apa.
Cuaca hari ini cukup baik: cerah berawan dengan angin sepoi-sepoi. Tadinya aku takut seragamku akan basah oleh peluh (Surabaya akhir-akhir ini sudah seperti simulasi neraka), ditambah duduk berhadapan dengan salah satu pemain basket tampan dan mewawancarainya berhadapan muka—kedengaran seperti gerah berlipat ganda untukku. Untungnya, cahaya matahari tidak terlalu menyengat siang ini.
Aku merapatkan bibir, kembali membaca skrip pertanyaan yang sudah kami susun minggu lalu demi meredakan gugup. Lalu, aku teringat Serga. Selagi Elfredo belum menunjukkan batang hidungnya, aku kembali menengok untuk memastikan Serga menemukan tempat terbaik di tengah bebambuan. Ia melihatku, menggerakkan alisnya seolah berkata aku baik-baik saja.
Walau lagi-lagi, aku tidak mengerti kenapa Serga lebih memilih menyusahkan diri di padang berumput itu daripada berterus terang pada sepupunya sendiri kalau ia sendiri ikut ambil bagian dalam projek ini.
Ah, aku belum bilang.
Serga tidak ingin Dodo tahu bahwa ia juga ikut menulis artikel ini. Pasangan saudara sepupu paling aneh yang pernah kutemui.
"Hei, udah nunggu lama?"
Aku mendongak dan langsung berdiri, tersenyum ramah pada Elfredo yang baru datang. Ia mengenakan kaos oblong putih dibalut dengan kaos basket sekolah bertuliskan nama "DODO" dan angka "17".
Aku senang ia bersedia memenuhi permintaanku untuk memakai seragam basket pada hari wawancara. Itu akan terlihat bagus di foto dan video.
"Baru bentar, kok," jawabku, mempersilakannya duduk pada tempat kosong di sampingku. "Sekali lagi, makasih ya udah dateng. Wawancaranya cuman sebentar, paling lama empat puluh menit. Nggak akan ganggu jadwal latihan kamu, 'kan?"
Ia mengibaskan tangan. "Santai aja, coach juga udah tahu soal klub jurnalis." Sejenak ia menoleh, seolah sedang mencari-cari seseorang tatkala bertanya, "Kamu wawancara sendiri?"
Aku mengangguk, sedikit mengernyit mendengar pertanyaannya. Apa ia tidak mengekspetasikan orang lain? "Kamu nggak nyaman? Atau, mau bawa temen?"
"Nggak," Pemuda itu menggeleng sembari mengulas senyum. "Aku kira, Serga bakal dateng. Dia satu kelompok sama kamu, 'kan?"
Untuk satu detik di sana, aku bisa merasakan mataku membulat, perutku menegang oleh keterkejutan. Bagaimana ia tahu? Aku tidak pernah menyebut nama Serga, tidak pernah pula berkata bahwa wawancara ini adalah projek kelompok. Siapa yang memberitahunya?
Atau jangan-jangan, mereka sudah merencanakan ini di belakang layar.
Lambungku mendadak keram bagai dicengkram. Serga pembohong, penipu tingkat ulung. Bagaimana bisa dia membiarkanku mengerjakan tugas wawancara sendirian, beralasan ia akan mengurus bagian fotografi kalau sebenarnya ia tidak ingin membantu? Aku yakin, ia sudah memberitahu Dodo. Fotografi dari jarak jauh atau permintaannya untuk "jangan bawa-bawa namaku di depan Dodo" adalah omong kosong belaka. Mungkin sedari awal, Serga memang tidak niat mengerjakan wawancara ini.
Poin terakhir entah mengapa membuatku kecewa.
Aku menghela napas, mencengkram kertas lebih erat. Persetan dengan Serga, aku tidak akan membiarkan ketidakhadirannya merusak suasana hatiku sekarang.
"Kalo gitu, kita mulai sekarang aja. Aku mulai rekam, ya."
Dodo mengacungkan jempol tanda setuju.
Aku menekan tombol rekam, dan mulai berkata, "Pertama-tama, makasih banget udah bersedia diwawancara. Sebagai perkenalan awal, kamu bisa sebutin nama, kelas, hobi, dan ekskul kamu."
"Oke, namaku Elfredo Willy, biasa dipanggil Dodo. Dari kelas 11 IPS 2. Hobi main basket dan biliard, tapi paling utama main basket. Ekskul, obviously, basket."
"Boleh ceritain dong, pengalaman awal kamu gimana bisa tertarik sama basket."
"Hm ... kalau awal tertarik udah dari SD, sekitar kelas 5 atau 6. Ceritanya ..."
Kemudian, wawancara terus mengalir. Dalam hitungan detik, rasa kesalku pada Serga menyurut begitu saja.
***
"Nice job, Cin. Seneng banget ngobrol sama kamu. Wawancara nggak kerasa kayak wawancara, topiknya juga menarik banget. Kamu nyusun sendiri outline-nya?"
"Iya, yah sama search Google dikit-dikit." Aku tersenyum, segera berdiri dan membereskan kamera. Obrolan hari ini bukan hanya lancar, tapi luar biasa. Dodo menceritakan banyak hal terkait kehidupan sekolahnya, bahkan mengembangkan poin wawancara lebih luas. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana lengkap dan informatif artikelku nanti. Peluang untuk mendapat predikat artikel terbaik terbuka lebar.
"Harusnya aku yang bilang gitu. Makasih banget udah bantu wawancaranya."
"Santaiii," Ia mengibaskan tangan. "Udah berapa kali kamu ngomong terima kasih? Kayak sama siapa aja." Ia tertawa, kemudian melirik ke arah kameraku. "Videonya udah dapet, 'kan? Rekamannya?"
"Aman, udah aku cek juga."
"Sip. Kalo udah oke semua, bisa dikirim ke aku. Biar bisa aku post di IG entar, hehe."
Aku ikut tersenyum. Kita berjalan bersama keluar taman sekolah bersama-sama. Aku sempat menoleh ke belakang untuk melihat Serga―agak tidak enak aku meninggalkannya sendiri. Dari tadi tidak ada pergerakan atau suara apapun, hebat juga ia bisa bersembunyi setenang itu hingga tidak membuat Dodo curiga. Tapi ... apa ia benar-benar sembunyi? Bisa jadi ia bolos wawancara tadi. Bisa jadi ia pergi dan meninggalkanku berdua dengan Dodo.
"Habis gini masih ada ekskul? Atau langsung pulang?"
Aku kembali menoleh pada Dodo. "Enggak, sih. Jam segini ekskul udah bubar, paling nulis bentar di perpus terus baru balik. Kamu sendiri? Lanjut latihan?"
"Jam segini latihan udah pada bubar." Ia tertawa, berhenti saat langkah kami mencapai tangga. "Aku ada janji nongkrong sama anak-anak. Mau ikut?"
Aku sedikit terbelalak atas ajakannya yang terakhir. Ap akita sedekat itu untuk "nongkrong" bersama?
"Nggak usah, aku ada kerjaan juga di atas."
Dodo menanggapi itu dengan santai. Kami berpisah di ujung lorong tangga. Dodo pergi ke tempat parkir, sementara aku lanjut naik tangga menuju perpustakaan.
Hanya saat yang mengejutkan: aku sampai di perpustakaan, dan Serga sudah ada di sana.
***
"Aku kira kamu udah pulang duluan."
Serga menatapku dengan kernyitan―setengah bingung, setengah tersinggung, seolah aku baru menampak wajahnya dengan omong kosong aneh. Ia berdiri dari kursinya, bersandar pada rak buku pelajaran kelas 10. "Pulang duluan?"
Aku mengendikkan bahu, berusaha menghindari tatapan tajamnya―yang entah mengapa terlihat menyebalkan sekarang. "Siapa tahu kamu bosen nunggu wawancara." Aku sendiri terkejut dengan nada sarkasku saat melanjutkan, "Jurnalisme, nulis, artikel. Dari awal emang nggak menarik buat kamu, 'kan?"
"Wow," katanya, tak repot-repot menyembunyikan nada terluka di sana. "Aku kira kita teman sekarang."
Aku tak membalas, menyibukkan diri menyusun lembaran hasil wawancara di atas meja.
"Satu jam aku nunggu wawancara," ia kembali menegaskan. Tidak terdengar marah, tapi juga tak terdengar lembek. "Dari kalian ngobrolin basket, kulineran, sampai tentang PTC."
Aku menunduk, entah harus merasa geram atau malu. Sekilas, aku melihat berkas debu dan kotoran di celana Serga. Baru kuyakin seluruh dugaanku salah. Dari tadi ia tidak pernah pergi. Ia mengikuti tiap sesi wawancara sampai habis.
Namun, itu yang membuatku semakin tak mengerti. "Udah dapet fotonya?"
Ia menyerahkan kameranya. "Kalau masih nggak percaya cek aja."
Aku tidak suka mendengar nada sindiran itu, tapi memilih untuk diam, mengambil kameranya dan melihat hasil jepretan Serga. Ada banyak fotoku dan Dodo di sana, aku ternganga.
Walau diambil dari jarak jauh, foto itu tampak jernih, bagus, dan indah. Kenapa ia tidak ikut klub fotografi saja?
"Ini bagus," ucapku, "kalau dari jarak dekat pasti lebih bagus."
Serga mengendikkan bahu, tapi tidak menjawab. Ia beralih pada meja komputer dan menyalakan satu perangkat di sana.
Aku menggigit bibir, sedikit ragu melempar pertanyaan ini, tapi akhirnya bertanya, "Kenapa nggak ikut wawancara?"
Gerakan tangan Serga terhenti.
"Dodo sepupumu, kamu juga yang rekomendasikan untuk nulis artikel tentang dia. Kenapa malah kamu juga yang nggak mau ketemu dia?"
"Bukannya nggak mau," pemuda itu memalingkan wajah, "emang nggak perlu."
Aku hendak menanyakan itu, tapi akhirnya malah berkata, "Dia tahu."
Serga menoleh.
"Dodo tahu kamu ikut klub jurnal. Dia juga tahu kamu timku, harusnya ikut wawancara tadi." Melihat perubahan ekspresi di wajahnya, aku langsung meralat, "Tapi aku nggak pernah kasih tahu! Nyebut ada partner tim aja enggak, jadi aku nggak tahu siapa yang kasih tahu dia."
"Oh." Serga hanya mengendikkan bahu. "Ya udah, udah terlanjur juga. Jadi nyusun outline artikel sekarang?"
Aku mengangguk samar, mulai menekan tombol power pada komputer perpustakaan. Hening mulai menyusup, atmosfer canggung merayap di antara kami.
"Kalau dia tahu, mungkin dari awal dia nggak akan mau jadi narasumber."
Aku menoleh, sedikit terkejut dengan ucapan Serga yang terlalu tiba-tiba.
"Aku nggak mau mengacaukan rencana artikel kita hanya karena Dodo tahu aku ikut."
Tapi, Dodo sudah tahu! Dan dia tetap mau diwawancarai. Aku ingin menyahut, tapi disela oleh suara nyala Windows yang membuat bahuku tersentak. Setelahnya, habis. Tidak ada penjelasan lebih spesifik, tidak ada kalimat lain dari Serga yang bisa menjawab segala tanda tanya dalam kepalaku. Pemuda ini misterius. Tertutup. Dan, sedikit kaku.
Namun persetan, aku menghela napas, kembali pada layar komputer gemuk di hadapanku. Urusan Serga atau Dodo, itu sama sekali bukan urusanku. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro