Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Satu

"ITU bukan punya saya."

Aku memutar bola mata.

Seluruh kekesalanku terwakilkan oleh kalimat Pak Tri, "Kalau bukan punyamu, gimana ceritanya rokok itu ada di saku celanamu?" Ia membenarkan posisi duduknya, mencondongkan tubuh lebih dekat menatap Serga. "Bukan satu atau dua batang lho, Serga. Tiga pak, tiga pak. Dan kamu masih bisa bilang itu bukan punyamu?"

Pemuda itu hanya diam tak berkutik, rahangnya yang tegas dan mata rusanya yang menatap datar menyiratkan bahwa ia sama sekali tidak menyesal; tidak untuk pelanggarannya di koperasi, tidak untuk penyangkalannya tadi.

"Juga kamu, Cindy." Oh, jangan lagi. "Ngapain kamu ikut-ikutan ke koperasi?"

Aku sangat tergoda untuk membalas sarkas, "Memangnya ada larangan untuk pergi ke koperasi dan beli seragam?", tapi mengurungkan niat mengingat guru yang duduk di hadapanku adalah guru BK, Pak Mutri yang disegani seluruh anggota sekolah (bahkan mungkin kepala sekolah). Dengar-dengar sih, beliau guru sesepuh yang telah mengabdi nyaris 30 tahun. Guru senior yang, sayangnya, tidak berhasil menduduki jabatan lebih tinggi. Mungkin itu kenapa Pak Tri selalu memasang tampang garang dan tegas, barangkali ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia juga layak untuk berkuasa di sekolah.

Meski tak suka, aku tetap harus menunjukkan itikad baik dan sopan santun di depan para guru.

Citra baik sebagai seorang siswa juga penting, kau tahu?

"Saya hanya pergi membayar seragam, Pak," jawabku, "ini notanya kalau Bapak tidak percaya. Saya juga baru ketemu sama dia di koperasi tadi. Saya nggak punya urusan apapun sama dia," aku menunjuk pemuda itu dengan dagu, "jadi jelas saya tidak terlibat dalam penyelundupan rokok itu."

Agaknya kata "penyelundupan" telah keterlaluan, hingga tak sampai tiga detik Serga langsung menyahut, "Kalau nggak ikut-ikut, kenapa nggak langsung keluar selesai bayar? Kenapa malah sengaja lama-lamain nungguin saya di koperasi?"

Sekarang gantian aku yang mendelik. Apa-apaan ini? Balas dendam? Penyerangan verbal dalam bentuk fitnah?

Yang lebih membuat aku murka adalah kenyataan bahwa setelah mengatakan kebohongan itu, Serga menyunggingkan seringai tipis. Dari ekspresinya aku bisa menangkap Si Licik itu berkata, "Sekarang kita impas, oke?"

Sialan.

Oke, aku bukan tipe perutuk, tapi ini jelas kelewat batas.

"Benar, Cindy?" Pak Tri membenarkan kacamatanya curiga. "Jangan-jangan kamu sengaja ke koperasi untuk ketemu Serga. Kalian sengkokolan?"

Aku mendengkus setengah jengkel. "Pak, saya aja kaget lihat dia bawa rokok sebanyak itu ke koperasi. Kenapa jadi saya yang dicurigai? Saya nggak ada pikiran atau niat sama sekali untuk merokok atau beli rokok dari dia." Aku masih berusaha menahan diri untuk tidak meninggikan nada suara, tapi tidak repot-repot menahan decihan sinis. "Kenal aja enggak."

Pak Mutri menarik napas. Bel berbunyi, menandakan jam makan siang telah usai. Pelajaran sehabis istirahat adalah Matematika Peminatan, dan aku ingat kami sedang berada dalam pertengahan materi Trigonometri. Aku mengeluh dalam hati. Bu Lia sering melempar kuis di tengah-tengah jam pelajaranーkuis berupa soal Matematika receh dengan poin nilai yang cukup tinggi.

Namun mengingat posisiku sebagai "tersangka" sekarang, aku hanya bisa menyenderkan tubuh pasrah.

Lupakan soal nilai tambahan, sepertinya keberuntungan memang sedang tidak memihakku sekarang.

"Bapak bukannya mau nuduh sembarangan, tapi bukti adalah bukti. Justru kalian dikumpulkan di sini supaya masalahnya cepat selesai." Pak Mutri menjeda dengan helaan napas. "Serga, Bapak nggak nyangka kamu berani bawa rokok ke sekolah. Punya kamu atau bukan, rokok itu ada di saku kamu. Kalau kamu nggak kooperatif, ya gimana Bapak mau percaya?"

Serga tidak menjawab, aku hanya menghela napas menahan rasa bosan dan lelah. Seharusnya sekarang aku duduk di kelas dan menjawab soal sifat-sifat trigonometri. Aku sudah belajar untuk itu semalam ...

"Dan kamu, Cindy."

Aku mendongak.

Pak Mutri mendesah, raut wajahnya tampak tak senang saat berkata, "Kamu boleh kembali ke kelas. Nggak ditemukan rokok di barang-barangmu, Bapak percaya kamu nggak terlibat."

Senyumku refleks terulas, saat itulah Pak Mutri melanjutkan, "Tapi, ingat. Jaga pergaulan, jangan sampai kamu terpengaruh sama yang aneh-aneh. Tugas siwa cuman satu, belajar."

Aku mengangguk, menggumamkan kata "permisi" sebelum bangkit dan melangkah keluar. Beberapa guru yang sempat lewat di lorong bahkan terkejut saat melihatku keluar dari ruang BKーyang semakin membuatku dongkol. Tatapan mereka seolah berkata, Cindy Priscilla dipanggil ke ruang BK?!!!

Padahal itu hanya kesalahpahaman! Aku tergoda untuk mendatangi mereka satu per satu dan meyakinkan, "Semua ini hanya salah paham. Aku tidak mendapat poin atau dihukum karena itu!", tapi segera sadar betapa putus asanya kalimat itu terdengar. Memang sulit hidup di lingkungan penuh penghakiman.

Berjalan melewati tangga, aku tidak bisa berhenti memikirkan Serga. Ternyata pemuda menyebalkan dengan mata tajam dan rambut acak-acakan itu siswa angkatanku―dan memikirkannya semakin membuat kepalaku berkedut kesal. Aku tidak pernah tahu ada anak berandal semacam itu di kelas IPA. Pak Mutri saja sampai menatapku heran, dalam suaranya terkandung ejekan samar saat berucap, "Kalian nggak saling kenal? Dia angkatanmu, Cindy, anak MIPA 3."

Dan aku hanya diam, menggeleng bak orang dungu.

Bagus, sekarang Pak Mutri akan berpikir aku anak sombong yang gak mau bersosialisasi.

Bukan sekali dua kali Pak Mutri menggenerilasi sikap siswa berdasarkan kecerobohannya. Seperti, Kelly yang dicap sebagai "gadis nakal" hanya karena fotonya dengan pakaian crop tanpa lengan di Instagram menjadi booming (aku tidak tahu apa yang salah, padahal udelnya saja tidak kelihatan), Dodo yang dijuluki "anak *mbetik" (tapi karena dia kaya, jadi Pak Mutri tidak terlalu tegas), dan Leyla dari kelas 10 yang dijuluki "siswi cerdas" karena berhasil tembus babak final dalam lomba Matematika.

Ah, kenangan itu lagi.

Kedua bibirku merapat, dapat kurasakan rahangku menegang. Aku tidak mengerti mengapa guru senior selalu tampak percaya diri dalam menilai kepribadian siswa berdasarkan dua hal: kesalahan dan nilai. Well, bukankah itu yang dinilai semua orang?

Kesalahan dan pencapaian.

Ketidaksempurnaan dan penampilan.

Pada akhirnya, kamu dituntut untuk selalu tampil sempurna.

Kelas berjalan sangat lambat sejauh yang kuingat. Aku masuk ketika Bu Lia sudah siap keluar kelas, pelajaran Matematika sudah bubar. Untungnya setelah aku bertanya pada Jinny, Bu Lia tidak melempar kuis apapun selama kelas. Kami hanya mempelajari materi baru yang lebih sulit dan mencatat banyak rumus. Diam-diam aku bersyukur aku berada di ruang BKーsetidaknya itu bisa melepas stres dari suasana kelas yang pengap, toh aku tak rugi apa-apa.

"Terus, gimana sama Serga?"

Lamunanku buyar. Aku refleks mengernyit, melirik ke arah Jinny yang mengunyah Beng beng santai. Sekarang jam pulang sekolah, aku selalu berjalan pulang bersama Jinny sampai koridor bawah. "Kamu kenal dia?"

Ia hanya mengerjap lugu. "Siapa? Serga?"

Aku mengangguk. "Perasaan aku nggak pernah nyebut namanya tadi."

"Oh." Ia mendengkus, pipinya merona sesaat. "Kamu ingat Dodo?"

Ah, crush-nya di kelas IPS.

"Serga ini sepupunya."

Aku nyaris melongo. Kuingat-ingat wajah Dodo, kemudian membandingkannya dengan wajah Serga dalam ingatan. Sama sekali tidak mirip, jelas-jelas tidak mirip. Maksudku, Dodo yang dikenal si biang onar, Si "Pangeran Mahkota" yang hobi kena masalah karena dugem dan rokok, ternyata memiliki sepupu di kelas IPA?

Apa itu alasan Serga membawa tiga pak rokok ke sekolah?

Jinny kemudian mengapit tanganku antusias. Matanya berbinar-binar dengan remahan wafer di mulut. "Kata anak-anak, sih, mereka tinggal serumah. Jadi kalau misal kamu bisa dekat sama Serga, aku juga bisa dekat sama Dodo!"

Aku refleks menoleh dengan mata memelotot. Nggak salah dengar, nih? "Dekat gimana?"

"Ya jadi teman dekat, sahabatan, atau TTM-an mungkin ..." Saat melihat ekspresi sinisku, Jinny berdecak pasrah. "Oke, oke. Bukan TTM-an, tapi lebih ke ... teman belajar, gitu. Serga itu termasuk pinter, tahu. Dia juga pernah ikut klub jurnalis, tapi emang anaknya low profile, sih. Nggak pernah koar-koar, jadi banyak yang nggak kenal."

"Klub jurnalis?" Aku tidak tahan untuk tidak menyahut. "Kok aku nggak pernah ketemu?"

Jinny membuang bungkus Beng beng di tempat sampah saat kami sampai ke koridor lantai 1. Terlihat beberapa junior anggota OSIS sibuk mondar-mandir keluar ruangan, sepertinya akan ada peringatan Hari Pahlawan dalam waktu dekat. "Kamu, 'kan, baru pindah ke klub olim dua minggu setelah gabung jurnal. Gimana mau ketemu?"

Klub olimpiade. Seketika kata itu disebutkan, bayangan masa lalu itu langsung terputarーmeledak-ledak dalam kepala layaknya letupan berondong jagung yang baru matang. Terlalu banyak kegusaranku tentang klub olimpiade, aku nyaris lupa klub itu pernah ada.

"Cindy!"

Aku baru hendak menoleh kala tiba-tiba bahuku tersentak saat dari belakang, seseorang menepuk punggungku dengan gerakan keras dan menggebu.

Alih-alih merasa bersalah, Dion malah terbahak puas. Itu yang membuatku semakin geram dan langsung melemparkan berbagai kepalan tinju di bahu pemuda itu.

"Mangkanya, kalau jalan jangan ngelamun!" Dion mengerucutkan bibir dengan gaya menyebalkan.

Aku mendecih dan langsung berjalan menuju tempat parkir. Tak lama mobil jemputan Jinny datang, ia mengucapkan selamat tinggal sebelum pergi menaiki mobil. Saat itulah Dion mulai membuka obrolan, "Jadi ...?"

Aku menatapnya bingung. "Jadi apa?"

Ia mengulum senyum jahil. "Dengar-dengar, ada yang kepilih lomba nulis, nih."

"Terus?" tanyaku datar.

Senyumnya masih penuh menghiasi wajah, membentuk lesung pipit yang diidolai gadis-gadis. "Nggak berniat traktir gitu? Kedai burger di depan sekolah baru buka, lho."

Aku berdecak tak tertarik. "Masih rencana," kataku, berjalan menuju tempat penitipan helm. Dengan cepat kuambil helm hitam di rak teratas, tanpa alasan ikut sebal ketika beberapa adik kelas SMP menyeruduk antrian. Ternyata sekolah belum juga mendengar saran siswa untuk menyediakan tempat penitipian helm resmi. "Lagian, nggak ada yang istimewa dari 'lomba'. Belum menang, belum juara. Selama topiknya belum dikasih tahu, aku nggak yakin mau ikut."

"Lho, kok gitu?" Dion tampak kecewa.

"Ya terus mau gimana?" balasku, "UTS juga sebentar lagi. kalau lomba ini gak pasti, lebih baik fokus ujian."

Sementara Dion hanya menatapku dengan kerutan heran, seolah-olah aku baru mengatakan kebohongan paling bodoh sepanjang masa. Aku tidak menyalahkannya, sih. Kami sudah berteman sejak TK, sudah saling mencakar dan meledek sejak masih kanak-kanak. Hubungan semacam love-hate friendship tersebut kemudian menetap hingga kami remaja—beberapa siswa bahkan mengira kami pacaran, atau setidaknya memiliki hubungan gelap yang dirahasiakan (seperti FWB, mungkin). Itu yang terkadang membuatku menjadi cibiran para gadis, sebab Dion adalah tipikal "anak basket populer yang sekali tersenyum dan belasan siswi langsung luluh hati", sementara aku hanya siswi biasa; cuek, ambis, tidak menarik.

Maka ketika aku mengatakan seolah-olah akan mundur dari lomba menulis ini, Dion tidak repot-repot untuk menyembunyikan raut datarnya seolah berkata, "Omong kosong, kamu kira aku bakal percaya?"

Tapi kalau ia benar-benar penasaran, ia cukup mengerti untuk tidak mengajukan pertanyaan.

Barangkali ia malas, barangkali memang ia sudah tahu mengapa.

"Kamu mau langsung pulang atau aku harus panggil taksi?"

Dion kemudian menyerah, lantas mulai menaiki motornya. Selagi menunggu Dion yang memanaskan mesin motor, aku melihat-lihat ke arah lapangan. Gerbang yang memisahkan tempat parkir siswa dan lapangan selalu terbuka lebar sejak jam pulang, kebiasaan yang aku hafal setelah bersekolah di sini selama nyaris 5 tahun.

Dan di situlah aku melihat postur lelaki jangkung yang tampak familiar, tengah berjinjit untuk menyiram tanaman gantung di tepi lapangan.

Ternyata ini hukuman yang Pak Mutri berikan, batinku. Sekarang aku menyadari betapa tinggi pemuda itu. Postur tubuhnya juga bagusーsesuatu yang tidak bisa aku sangkal. Perut ratanya samar-samar tercetak melalui kaos putih yang ia kenakan, otot bisepsnya tampak saat ia mengangkat gembor yang penuh dengan air keran. Mendadak aku teringat kata-kata Jinny. Bagaimana bisa lelaki seperti itu tertarik dengan hal-hal berbau sastra?

"Hei, ini motornya udah siap malah ngelamun. Jadi pulang nggak, sih?"

Aku menoleh pada Dion, seketika sadar dari lamunan dan langsung menaiki motor. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro