Lima Belas
EKSPRESINYA berubah.
Aku tahu, aku melihatnya, aku benar-benar menangkap ada sedikit getaran tampak pada kedua irisnya. Entah ketakutan, entah keterkejutan. Ada sesuatu yang bergerak pada rahangnyaーgerakan menggertakkan gigi kala seseorang menahan amarah. Lagi-lagi, aku bisa melihat perubahan pada ekspresinya ketika ia menyahut, "Aku nggak ngerti kamu ngomong apa."
Lalu dengan gerakan secepat kilat, Serga berjalan melewatiku.
Aku terpaku oleh reaksinya yang begitu tiba-tiba, hingga nyaris lupa bahwa aku yang memegang kontrol di sini. Untuk apa aku takut? Bisa jadi hipotesisku soal rokok tadi memang benar. Bisa jadi, Serga memang menyimpan sesuatu tentang pelanggaran di ruang koperasi hari itu.
"Hari itu. Di koperasi sekolah." Aku berjalan cepat, berusaha menyeimbangkan langkah dengannya. "Ada pemeriksaan mendadak dan kamu ketahuan pada rokok tiga pak ke sekolah. Lalu dengan apesnya, aku ikut dipanggil ke ruang BK karena dikira sekongkolan sama kamu untuk bawa rokok ke sekolah. Masih nggak ingat?"
Serga berhenti mendadak, meraih sebuah pot gantung sebelum menyiramnya. Aku bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu rajin dalam mengerjakan tugas piket menyiram tanaman, toh jadwal piket siram tanaman dibuat asal supaya duta lingkungan punya alasan untuk pulang cepat alih-alih melakukan tugas mereka. Rasanya sedikit mustahil pemuda seperti Serga mau dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab seperti itu.
"Aku bingung kenapa Pak Tri nggak masukin pelanggaran kamu ke buku piket. Padahal kalau kesiswaan tahu, sudah pasti kamu langsung ditindak."
Serga masih sibuk dengan pot gantung dan gembornya.
Aku tak menyerah. "Atau, apa aku harus panggil anggota OSIS dulu supaya kamu mau jujur?"
Tepat. Gerakan tangannya berhenti. Serga (akhirnya) menoleh padaku. "Ini kebiasaan kamu, ya? Membawa-bawa teman OSIS kamu ke setiap masalah yang seharusnya bisa diselesaikan berdua. Belum cukup kejadian kemarin?"
Dia membicarakan Dion. Jelas masih ada ketidaksukaan dalam kalimatnya, namun aku pura-pura tidak mendengar. Dalam kasus ini, Serga bersalah. Aku tidak boleh kalah dengan siswa yang bersalah, apalagi siswa yang hanya bermodal gertak untuk mempermainkan rasa bersalahku.
"Aku nggak ngerti apa kolerasinya kejadian kemarin sama rokok Dodo," kataku, tetap tampil tenang. "Dion anggota inti OSIS. Kalau dia tahu kejadian ini, kamu, Dodo, dan Pak Tri bisa dalam masalah besar."
"Kamu nggak tahu apa-apa." Serga menghela napas kasar, mengambil gembornya dan pergi. "Minggir."
Jemariku terkepal meremas ujung rok.
Apa dia meremehkanku sekarang?
"Apanya yang nggak tahu?" tantangku, kali ini dengan nada naik satu oktaf. "Aku tahu jauh lebih banyak dari yang kamu duga. Sudah jadi rahasia umum kalau Pak Tri memang hobi mengotak-ngotakkan siswa, dari yang pintar, populer, sampai siswa biasa. Menurutmu, Pak Tri bakal diam aja kalau siswa biasa yang nggak pernah bikin pelanggaran tahu-tahu ketahuan bawa tiga pak rokok ke sekolah?"
Serga berhenti. Dia belum berbalik, tapi bahkan dari belakang aku bisa melihat kedua tangannya terkepal erat.
"Menurutmu, apa Pak Tri bakal ngelepasin pelanggaran siswa begitu aja tanpa imbalan apa-apa?"
Dua detik penuh keheningan. Dua detik Serga tidak berbalik. Dua detik aku menunggu dengan jantung berdentum-dentumーentah karena terlalu marah atau terlalu takut dengan reaksinya. Aku juga tidak begitu dekat dengan Serga, aku tidak tahu apa yang membuatnya senang dan marah, sedih dan kecewa.
Tapi satu fakta yang pasti, ia tidak akrab dengan sepupunya.
Dan membawa-bawa topik mengenai Dodo serta kejadian rokok itu sama saja dengan menyulut api di depan wajahnya. Namun aku tak peduli. Aku sudah terlalu lelah untuk peduli. Ada hal yang lebih penting ketimbang 'bagaimana Serga akan menilaiku setelah ini'. Artikelku, topik artikelku. Toh, dari awal kita bukan teman.
Kemudian, terdengar suara tawa. Aku nyaris mempertanyakan pendengaranku ketika Serga berbalik, dan ia memang tertawa. Tawa sarkas yang menampilkan deretan giginya, yang membuatku seketika mengernyitkan kening. Apa-apaan?
Ia tidak merasa takut dan bersalah, tapi malah tertawa?
"Kamu selalu sepercaya diri ini, ya?" katanya, meletakkan gembor di lantai. Pemuda itu mengamatiku dengan tatapan aneh. "Nggak heran. Punya teman dekat anggota OSIS inti, disenangi guru-guru sebagai siswa teladan, kamu pasti akan merasa semua dugaanmu benar, bukan? Seolah kamu tahu segalanya."
Wajahku terasa panas. Kini aku yang mengepal tangan di samping badan, kebakaran jenggot dengan komentarnya yang semena-mena. Aku menahan getaran dalam suaraku saat berkata, "Apa maksudnya itu?"
"Aku yakin kamu tahu persis apa maksudku," balasnya, "aku nggak mengerti dari mana kamu dapat konklusi itu, tapi jelas semua hipotesismu salah. Dan aku juga nggak mengerti kenapa kamu begitu menggebu-gebu soal masalah yang jelas bukan masalah kamu."
Ia mendengkus, kembali mengangkat gembornya. "Laporin aja sesuai yang kamu mau." Satu sudut bibirnya terangkat. "Toh kalau yang kamu katakan memang benar, aku pasti langsung dihukum, 'kan?"
Lalu ia pergi.
Serga Wilantara pergi dan mencampakkanku.
Sabar, Cindy. Sabar, sabar, sabar.
TIDAK! Bagaimana aku bisa sabar?! Rencanaku akan sia-sia. Artikelku belum beres, aku sudah merisikokan terlambat 45 menit les untuk menemui Serga, dan aku tidak mendapat apa-apa selain penghinaan. Apa-apaan ...?
Padahal, seharusnya ia yang takut denganku. Seharusnya ia yang menyesal dan memohon-mohon agar aku tidak melaporkannya pada OSIS. Bukankah semua sudah jelas? Pak Tri tidak memasukkan pelanggaran Serga ke dalam buku piket, relasi sepupu yang kurang baik antara Dodo dan Serga, semua sudah sangat jelas! Lantas, dimana letak kesalahannya?
Hari itu, hari terburuk setelah aku menerima kabar baik artikel masuk web. Bagai roller coaster, perasaanku jatuh setelah dinaikkan ke puncak. Suasana hatiku acak-acakan, aktivitasku berantakan. Aku terlambat ikut les, mama mengomeliku atas nilai kuis Matematika yang menurun (kurang dari 90 berarti jelek), Charlie yang super rewel dan kami berakhir bertengkar―aku yang mengomel marah dan Charlie menangis semalaman.
Dion meneleponku tapi aku tidak berani menceritakan persoalan tadi siang padanya. Bisa-bisa, ia melabrak Serga. Atau lebih buruk, ia melaporkan Pak Tri pada kepala sekolah. Bukannya apa-apa, tapi setelah konfrontasi tadi, aku merasa sedikit gelisah.
Barangkali, Serga benar.
Barangkali, aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Aku hanya tahu fakta bahwa pelanggaran Serga tidak tercatat dalam buku piket. Setelah itu, tak ada. Teori tentang mengaitkan Dodo dengan kasus ini tak lebih dari kecurigaanku yang ceroboh.
Aku tidak tahu apa-apa.
Namun, aku terlalu arogan untuk menunjukkannya.
Dion berusaha menenangkan Charlie lewat video call dan akhirnya kami (aku dan adikku) berbaikan. Aku memeluk Charlie erat, agak menyesal memarahinya hanya karena ia tidak bisa menghafal perkalian angka tujuh. Malam itu setelah menina-bobokan Charlie aku menutup telepon dengan Dion dan membuka laptop.
Pukul sebelas malam, aku baru mulai menulis. Tapi kali ini, bukan tentang artikel. Bukan berkaitan dengan klub jurnal atau tugas sekolah atau apapun yang berkaitan dengan "tugas dan kewajiban".
Aku hanya menulis asal sebagai ekspresi rasa kesal, malu, frustrasi atas apa yang terjadi sepanjang hari ini. Di sana, aku memuntahkan semua perasaanku hari ini. Bagiku, menulis seperti tempat paling aman untuk mencurahkan semua racun dalam diriku; dalam benakku, dalam pikiranku, dalam kekhawatiranku.
Aku menulis dengan hati menggebu-gebu dan membara, hingga tanpa sadar jam menunjukkan pukul satu subuh. Tubuhku penat, kepalaku pening dan mataku terasa berat.
Kuputuskan untuk meraih ponsel di atas nakas.
Dan dengan perasaan yakin yang anehnya meluap-luap, kukirimkan sebuah pesan:
Cindy Priscila
Maaf soal tadi siang
Aku butuh riset lebih dalam untuk kepentingan artikel, tapi aku rasa aku terlalu sombong untuk berkata tolong dan malah menuduhmu hal yang tidak-tidak
Aku rasa kamu benar
Aku nggak tahu apa-apa
Lalu, aku mematikan ponsel dan segera tidur.
Namun dalam mimpiku, aku menerima sebuah notifikasi. Dari Serga Wilantara, dengan secarik kalimat yang langsung menampar ulu hatiku walau dalam alam bawah sadar: Kalau butuh bantuan, mulai dengan kata tolong, bukan malah nuduh sembarangan. Seharusnya tidak sesulit itu, 'kan? []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro