Enam Belas
PAGI itu, aku bangun dengan perasaan campur aduk: marah, gelisah, kecewa, menyesal, dan malu.
Malu yang teramat sangat.
Oh, astaga. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali melakukan sesuatu tanpa berpikir dulu? Dari janji dengan Jinny, konfrontasi dengan Serga, lalu semalam.
Apa yang kupikirkan saat mengirim permintaan maaf pada Serga Wilantara lewat pesan?
Bagian terburuknya adalah pagi ini: ketika aku terbangun dan mengira mimpi semalam adalah nyata, mendadak tertampar relitas ketika membuka WhatsApp dan melihat tanda dua centang biru dalam kolom pesan teratas. Serga telah membacanya. Dia telah membaca permintaan maaf daruratku pada pukul 1 subuh dan tidak membalas.
Ah, aku pasti kelihatan bodoh sekarang.
Atau lebih parah, Serga menganggapku siswa freak yang plin-plan. Siangnya punya tingkat percaya diri tinggi melampaui langit, malamnya malah memohon-mohon maaf lewat pesan.
Bodoh, bodoh sekali.
"Kak, nanti Charlie boleh main di rumah kak Dion?"
Lamunanku buyar. Aku melirik ke arah bocah gembul yang kini menusuk-nusukkan garpunya pada sepiring brokoli rebusku. Aku mendengkus setengah tertawa. Lucu sekali bagaimana adik manisku punya kebiasaan memainkan sarapan orang saat sedang berbisik-bisik padaku. Jelas, kami tidak bisa bicara soal "Dion" keras-keras. Baik aku dan Charlie sama-sama tahu, Mama benci melihatku dekat dengan lelaki.
"Kenapa harus main ke rumah kak Dion?" tanyaku, ikut berbisik. "Charlie, 'kan, lagi banyak PR."
"Kan tiap Rabu kakak ekskulll. Nanti Charlie sendirian lagi di rumah dong?"
Hari ini hari Rabu? Bagus. Berarti hari ini aku harus mengikuti ekskul jurnal, yang mana berarti aku harus bertemu dengan Serga.
Aku menghela napas frustrasi.
"Boleh ya, kakk? Nanti Charlie bawa buku PR, deh, kerjain PR sama kak Dion. Janjiii."
"Iya, boleh. Tapi seperti biasa, jangan rewel dan janji PR-nya harus sudah selesai."
Aku memberi tahu keinginan Charlie tersebut pada Dion, dan sesuai dugaanku pemuda itu sama sekali tidak keberatan. "Baguslah dari pada dia sendirian di rumah," katanya setelah kami sampai di parkiran sekolah.
"Iya, sih, tapi aku juga nggak enak kalau dia lama-lama di rumah kamu."
"Ya elah, kayak sama siapa aja." Dion tertawa.
"Mangkanya, jangan dimanjain, dong! Jangan beliin Charlie cemilan atau mainan terus. Nanti kebisaan."
"Siap, Tuan Putri," balasnya sambil terkekeh-kekeh.
Aku berdecak mendengar ledekan Dion kala tiba-tiba sesosok pemuda melintas tepat di depanku. Hatiku berdegup. Tapi sosok yang dimaksud, Serga, malah dengan santainya berjalan melintasi koridor seolah tak terjadi apa-apa.
Hah ... bahkan sebelum pengumuman pagi pun, aku tahu hari ini akan berjalan panjang dan melelahkan.
***
Tapi, dugaanku salah. Hari itu, secara mengejutkan, malah berlalu begitu cepat dan kabur. Jam biologi digunakan untuk presentasiーkhusus untuk kelompok yang belum dapat giliran, sementara kelompokku sudah tampil urutan pertama minggu lalu. Kemudian, dua jam pelajaran berikutnya diisi dengan jam kosong sehingga aku langsung meluncur ke perpustakaan. Belum lagi absennya guru Matematika Wajib sehingga kami (lagi-lagi) diberi jam kosong berkedok "tugas"ーiya, karena tidak ada yang mengerjakan dan tidak jelas pula dateline-nya.
Kemudian tahu-tahu saja, bel pulang sudah berbunyi.
Demi menghindari Jinny dan tuntutannya untuk bertemu Dodo, aku langsung membereskan tas dan pergi.
Well, terdengar sedikit tidak bertanggung jawab, aku tahu. Tapi, aku hanya menghindar, bukannya mengingkari janjiku. Dua hari yang lalu, aku sudah mengirim pesan pada Dodo sebagai basa-basi awal untuk memperkenalkan dengan Jinny. Itupun dibalas sedikit lamaーmungkin Dodo sibuk mempersiapkan turnamen basket terbaru atau apa, jadi aku agak sungkan untuk mengajaknya bertemu.
Seharusnya, Jinny bisa menunggu.
Lagipula, isi kepalaku masih dipenuhi oleh masalah tentang Serga. Bayangkan, dari tadi subuh hingga sekarang pukul setengah empat petang, ia masih tak kunjung membalas pesanku. Dua tanda centang biru di sana tidak berubah sejak terakhir pagi kucek.
Apa ia masih marah?
Ketika sampai di ruang jurnalis, aku langsung mengambil posisi duduk paling belakang. Sedikit terlalu awal, aku tahu. Namun saat sampai di ruang kelas pojok lantai tiga, aku sudah menemukan dua siswa kelas 10 tengah bercakap-cakap. Dalam hati aku merasa lega, jadi aku tidak perlu canggung bertemu dengan Serga bila kami berdua sampai paling awal.
"Permisiー?"
Aku mengangkat kepala, melepas earphone yang menyumpal telinga. Lagu Love Story dari Taylor Swift lantas berhenti. Apa salah satu dari mereka mencoba berbicara padaku? "Iya?"
"Kak Cindy, 'kan? Selamat ya, kak, kemarin artikelnya terpilih untuk di-publish di web. Emang keren banget, tatanan bahasa kakak ngalir dan enak dibaca. Penempatan lay out gambar juga cantik. Nggak salah Bu Suci pilih artikel kakak."
Mataku mengedip dua kali.
Aku tidak salah dengar, bukan?
Semingguan ini, ada ribuan siswa yang membaca artikelku. Tapi yang mengucapkan selamat baru dua, Bu Suci dan Dion (itupun, Dion masih dengan embel-embel "hanya tugas ekskul"). Kebanyakan siswa membaca artikel itu hanya untuk melihat dan mengorek fakta tentang Dodo, bukan demi tulisanku. Jadi ketika adik kelas yang entah siapa namanya ini tiba-tiba memanggil namaku untuk mengucapkan pujian itu, aku langsung terenyuh.
"Wah, terima kasih, ya," ucapku, mati-matian menahan diri untuk tidak salah tingkah walau kedua sudut bibirku sudah mengembang lebar dan pipiku terasa panas. Mendadak, aku jadi penasaran dengan adik kelas di hadapanku ini. Apa ia suka membaca? Apa ia memang suka menulis? Apa ia ikut klub jurnalis berdasarkan keinginan sendiri?
"Oh ya, kak! Kata Bu Suci, kakak juga ikut lomba artikel, ya?" Rambut ikalnya bergoyang kala ia memajukan kursi beberapa inci lebih dekat.
Kala itulah, seluruh ketertarikanku hilang.
Aku menelan ludah, mencoba untuk bersikap tenang. "Iya."
"Wah, sama dong, kak! Aku juga rencana mau daftar, hehe. Mohon bantuannya ya, Kak."
Dia ikut. Itu berarti, aku bukanlah satu-satunya siswa yang mewakili sekolah untuk lomba ini.
"Eh ya ampun, sampai lupa nyebut nama." Gadis itu menertawakan kecerobohannya sendiri sebelum mengulurkan tangan. Sudut bibirnya ditarik lebar-lebar hingga gigi gingsulnya tampak. "Aku Mei dari kelas 10 MIPA. Semoga kita bisa akrab, ya, Kak."
Aku tersenyum sopan, meraih jabat tangannya.
Di saat yang sama, beberapa siswa mulai masuk. Salah satunya, Serga. Mata kami sempat bertemu namun ia langsung mengacuhkanku dan duduk di tempat biasa dekat jendela. Ia masih marah, rupanya.
"Btw Kak, nanti pulang kakak ada acara? Aku mau diskusi soal tema lomba. 'Kan kakak lebih berpengalaman, jadi kakak bisa bantu aku sedikit tentang artikelku?"
Pulang sekolah. Berdiskusi tentang lomba dengan siswa yang kelak akan menjadi sangainku sendiri.
"Wah, maaf banget, Mei." Aku menggaruk tengkuk, memasang senyum tak enak. "Aku udah ada janji belajar bareng. Maaf, ya."
"Yah, mau gimana lagi, ya. Memang aku terlalu mendadak ngomongnya." Mei memang tampak kecewa, tapi tak butuh lama untuk raut wajahnya kembali ceria. "Tapi besok-besok bisa 'kan, kak? Aku mau lebih banyak belajar dari penulis berbakat seperti kakak."
Ia mengucapkan bagian penulis berbakat keras-keras sehingga beberapa siswa melirik ke arah kami. Aku merasa malu dan tak enak, jadi aku berusaha untuk menyudahi konversasi memalukan ini dengan anggukkan cepat. "Lain kali, ya."
Tak lama, Bu Suci datang. Aktivitas klub jurnalis pun dimulai, tapi alih-alih senang, aku merasa takut dan gugup. Perutku melilit memikirkan perkataan Mei sebelumnya.
Juniorku adalah sainganku.
Aku bukan utusan tunggal sekolah dalam lomba menulis.
Kemudian, dengan tekad aneh dan perasaan gugup yang seringkali mengikat lambungku, bersamaan dengan itu sebuah ambisi muncul. Berapi-api, penuh motivasi, terasa begitu mendebarkan sekaligus menakutkan.
Aku harus menang. Titik.
***
Nama lengkapnya Meira Anastasyaーnama yang cantik dan feminin, sedikit berbeda dengan penampilannya yang cenderung tomboy dan maskulin. Dia baru bergabung di ekskul jurnal hari iniーBu Suci memperkenalkannya sebagai anggota baru di depan kelas sebelum memulai ekskul. Mei awalnya mengikuti ekskul paduan suara, tapi kemudian ia menemui kesiswaan dan meminta izin untuk pindah ekskul.
Entah bagaimana akhirnya ia diizinkan.
Bu Suci bilang, Mei aktif menulis novel online di Blog dan telah meraih puluhan ribu pembaca. Beberapa cerita pendeknya malah sering diikutkan lomba dan dibukukan. Bu Suci juga bilang, Mei bisa menjadi contoh dan panutan bagi kita semua untuk aktif berkarya.
Setelah perkenalan yang singkat-tapi-terasa-berjam-jam itu, Bu Suci baru memasuki materi ekskul jurnalisme.
Hingga pukul lima tepat, ekskul dibubarkan.
Aku tidak tahu apa yang kupelajari, aku tidak ingat. Yang berputar dalam pikiranku hanya satu: lomba artikel dan Mei, adik kelas yang menjadi sainganku.
Mama sudah kecewa karena aku gagal dalam olimpiade Sains. Bu Suci sudah berharap lebih. Guru-guru, teman-temanーsemuanya tahu aku mengikuti lomba menulis ini.
Bagaimana kalau aku mengecewakan mereka?
Bagaimana kalau aku gagal?
Tepat dengan itu, sesosok bayangan melewatiku. Aku refleks mendongak, mendapati Serga melangkah di depanku sembari menenteng tas ranselnya. Di situasi biasa saat suasana hatiku berantakan, aku pasti akan menghela napas dan menghindarinya. Namun kali ini, aku justru tersadar, aku tak punya waktu untuk mendengarkan perasaanku sendiri.
Aku butuh dia.
Maka aku mempercepat langkah, kami berjalan keluar gerbang saat aku berkata, "Kamu udah baca pesanku kemarin?"
Serga melirikku sebentar, tampak sedikit terkejut dengan kehadiranku yang tiba-tiba. "Sudah."
Terus kenapa nggak dibalas?
Aku menelan ucapan itu dan malah berkata, "Yah, aku rasa lebih baik untuk mengatakan langsung. Maaf untuk yang kemarin."
"Nggak apa-apa."
"Aku ungkit tentang kejadian rokok itu karena memang aku sedang mengumpulkan riset."
Serga kini menoleh dengan alis terangkat. Kini, ia benar-benar berhenti dan menepi dari tempat parkir. Berarti kini, ia memberiku kesempatan untuk berbicara.
"Riset untuk artikel. Untuk ... kamu tahu, lomba."
Ia masih mengangkat alis, menungguku melanjutkan.
"Temanya kenakalan remaja," kataku, "aku sudah riset dan bikin draf pertama, tapi Bu Suci bilang draf itu masih mentah dan terasa ... ngawang. Topik yang dibahas belum terlalu mendalam, jadiー"
"Jadi kamu datang ke aku untuk cari informasi tentang kenakalan remaja karena dulu aku pernah bawa rokok tiga pak?" Serga memicingkan mata.
Aku tak menjawab. Tanpa harus dijawab pun, pemuda di hadapanku ini tahu jawabannya.
Ia mendengkus tak percaya. "Wah, ternyata memang kesan pertama meninggalkan jejak yang kuat. Setelah entah berapa minggu kerja sama kita sebagai partner, apa kamu pernah lihat aku merokok?"
Aku menggeleng.
"Tapi kamu tetap menganggap aku nakal karena kejadian di koperasi itu."
Lagi-lagi, aku tak menjawab. Aku tak tahu harus menjawab apa. Bukankah itu sudah konsekuensinya? Maksudku, orang lain bebas berpandangan tapi kita yang menentukan sikapnya. Aku percaya bahwa kesan pertama dan penilaian orang itu penting, jadi sebisa mungkin aku menjaga citra diriku di hadapan orang lain.
"Dion bilang, pelanggaran kamu nggak tercatat di buku piket."
Serga mendengkus. "Ya memang enggak."
Aku mengangkat kepala.
"Nggak usah mikir macam-macam," tukasnya sebelum aku bisa mengeluarkan sepatah kata. "Rokok itu titipan Pak Wawan."
Pak Wawan? Aku tahu beliau, beliau merupakan salah satu petugas kebersihan sekolah kami. Setahuku, ia tidak terlalu akrab dengan siswa. Bagaimana bisa Sergaー
"Aku tahu sekarang kamu sedang berspekulasi yang enggak-enggak. Apapun itu, semua nggak seperti yang kamu pikirin. Guru dan staf boleh merokok di luar sekolah dan jam kerja. Dulu, Pak Wawan pernah bantuin aku waktu terlambat. Jadi sekarang aku mencoba untuk balas budi dengan bantu belikan rokok. Beliau masih ada tugas beresin gudang, dan kebetulan hari itu aku senggang. Harusnya hari itu aku ketemu Pak Wawan di gudang, tapi beliau nggak ada. Jadi aku ke koperasi, karena aku tahu dia sering nongkrong di sana. Dalam perjalanan ke koperasi, aku sempat tabrakan sama salah satu anak basket. Dia lihat aku pegang rokok dan iseng lapor ke Pak Tri."
Aku terhenyak, mendengar penjelasannya dalam diam.
"Setelah Pak Wawan menghadap Pak Tri, beliau mengerti dan menarik pelanggaranku." Serga memandangku sembari menghela napas. "Aku nggak tahu darimana kamu dapat kesimpulan gila kemarin, tapi aku nggak ada hubungan sama sekali sama Alfredo."
"Maaf," kataku pelan.
Hanya itu, satu kata itu.
Sebelum akhirnya Serga pergi ke tempat parkir dan menaiki sepedanya. Aku memaku di tempat sampai menyaksikan sepeda birunya hilang ditelan tikungan, kemudian jatuh rebah sambil menunduk dalam-dalamーcampuran malu dan rasa bersalah yang teramat sangat. []
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro