Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Enam

BESOK paginya, Dion mengirimiku pesan:


Dion Riyanto

Hari ini tante berangkat pagi, 'kan?

Aku jemput di rumah, ya


Aku hendak menolak, tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya untuk sesekali mengajak Dion mampir ke rumah. Ia sudah menjemputku sejak kelas awal masuk SMA, tapi baru dua kali main ke rumah (itupun yang kedua, ia harus menghadapi puluhan pertanyaan dari Mama yang mirip interogasi). Sejak itu aku selalu bertemu Dion di depan gang.

Aku menggigit potongan terakhir rotiku sebelum mengetik balasan:


Cindy Priscilla

Oke


Setelah itu, aku menghabiskan sisa susuku dalam sekali teguk. Aku jarang sarapan roti dan susu, Mama bilang roti tidak mengenyangkan, tidak akan bisa mengganjal perutku sampai jam istirahat pertama. Jadi selama dalam pengawasannya, aku selalu diberi sepiring penuh isi kalori: menu-menu seperti nasi goreng, nasi dan telur mata sapi, kentang rebus dan potongan wortel (tapi lebih sering nasi).

Pagi ini Mama berangkat pukul 6 pagi untuk urusan pekerjaan. Ia bahkan tidak repot-repot mengucapkan selamat tinggal padaku, hanya berupa post it yang ditempel di kulkas bertuliskan: Sarapan hari ini bubur oat sudah Mama siapkan dalam kulkas. Hangatkan saja kalau mau makan. Sarapan untuk Charlie nasi merah dan sosis instan 2 buah, jangan banyak-banyak. Minum susu jangan lupa.

Lalu pada pojok kiri catatan, sebuah tulisan kecil:

Love,

Mama.

"Kenapa Mama pergi pagi-pagi?" Charlie bertanya dengan mulut penuh sosis.

"Mama ada urusan di kantor," Aku menyabet selembar tisu dan mengusap mulutnya yang penuh remah roti. "Cepat habiskan sarapanmu, tiga puluh menit lagi kakak harus berangkat. Kalau lama, nanti kakak tinggal."

Mendengar ancamanku, Charlie buru-buru menyuap sisa sosisnya. Namun toh, bukan adikku namanya kalau ia tidak mengoceh, "Kakak baik banget masakin sosis dan roti panggang buat Charlie. Kalau Mama tahu pasti kakak kena marah, kakak nggak apa-apa?"

Aku menelan ludah, berpaling untuk menaruh piring dan gelas kotor pada tempat cucian. "Hari ini hari spesial," jawabku, berusaha terdengar seceria mungkin di depan bocah berusia 6 tahun, "Nggak usah mikirin kakak, kamu makan aja yang banyak."

"Kalau tiba-tiba Mama tahu gimana?"

"Ya nggak gimana-gimana."

"Kalau kakak dimarahi?"

Aku menyahut asal, "Nggak apa-apa. Udah biasa."

"Tapi, Charlie nggak suka ...." 

Aku menoleh dengan alis bertaut. "Charlie nggak suka sosis?"

Charlie menunduk, hanya memainkan sisa sosis dan sepotong begel di piring. "Bukan," jawabnya pelan, "Charlie nggak suka lihat kakak sama mama berantem terus. Rasanya jadi aneh. Charlie nggak papa, kok, makan nasi merah asal Mama nggak marahin kakak lagi."

Tatapan itu.

Hatiku teriris. Benci sekaligus penuh belas kasih. Mama keterlaluan. Bisa-bisanya memaksa bocah beusia enam tahun untuk hidup dalam ekspetasinya. Charlie tidak pernah melawan saat Mama beri nasi merah―ia hanya diam, menatap gumpalan beras matang itu di atas piringnya, menguyah dalam diam.

Aku kira, ia masih terlalu kecil untuk memiliki pendapatnya sendiri.

Aku kira, bocah seusia Charlie masih terlalu muda dan lugu untuk dijejalkan pendapat orang dewasa.

Ternyata, aku salah.

Ia sama tidak berdayanya sepertiku.

Aku sangat payah dalam mengucapkan kata-kata penguat, jadi aku hanya menepuk kepala Charlie dan menyuruhnya untuk menghabiskan sarapannya. 

Setelah sarapan, aku mematikan lampu, mengunci rumah, lalu membantu Charlie memakai kaos kaki dan sepatu di teras. Saat itulah terdengar bel sepeda motor di depan pagar. Aku baru menoleh saat Charlie sudah berteriak girang, "Kak Dionnnnn!"

"Pagi, Kapten Kecil! Gimana lego Batman yang Kakak kasih? Sudah selesai?"

"Belum, tinggal sedikittt lagi. Kemarin malam aku mau lanjutin tapi kata Kak Cindy harus kerja PR dulu ..."

Aku memutar bola mata tapi tersenyum. Segera kusampirkan jaket sebelum membuka gembok pagar.

Dion terkekeh geli mendengar jawaban Charlie. "Bilang sama kakakmu, nyusun lego itu termasuk belajar. Nggak gampang, lho, nyelesaiinya. Butuh konsentrasi dan fokus yang tinggi."

"Tuh, dengerin, Kak," gumam Charlie dengan pipi digembungkan. Dalam beberapa menit, ekspresi sedih yang tadi kulihat di meja makan berubah menjadi ceria. 

"Jangan dengerin Kak Dion, sesat." Aku tertawa. Pemuda ini memang selalu penuh dengan kejutan tak terduga. Sejak awal memperkenalkan Dion pada Charlie, aku sempat berpikir ia akan merasa canggung dan kikuk. Karena jelas, pemuda tampan anak basket tampak tidak cocok berelasi dengan anak-anak.

Sampai dugaanku salah. Dion mematahkan seluruh stereotipe yang kumiliki tentang "pemuda tampan".

Tak lama setelahnya, mobil jemputan Charlie datang. Aku menggendongnya masuk dalam mobil sekolah, lalu melambai padanya mengatakan "selamat tinggal" dan "belajar yang rajin". Ia tersenyum memamerkan giginya dan melambai pada aku dan Dion.

Dion menyerahkan helm ketika mobil itu sudah pergi cukup jauh. "Siap berangkat, Nona?"

Aku tersenyum dan menerima pemberiannya. "Seharusnya aku ajak kamu sarapan dulu. Masak udah antar-jemput setiap hari, kamu nggak pernah mampir ke rumahku, sih?"

Ia hanya mendengkus seraya mengibaskan tangan di depan wajah. "Nggak, ah. Kalau ketahuan Mama kamu bisa berabe."

Aku ikut tertawa.

Perjalanan kami lebih banyak diisi oleh hening dibanding obrolan. Karena waktu sudah mepet, Dion tidak berhenti di Indomaret seperti biasanya. Ia langsung melaju ke sekolah dengan sedikit ngebut. Aku tidak pernah memegang pinggang atau memeluknya karena Dion bukan tipe pengendara ugal, tapi hari itu aku terpaksa memegang jaketnya untuk menyeimbangkan badan. Agaknya peganganku terlalu canggung sampai ia berkata, "Pegangan aja, nggak apa-apa."

"Hah?"

Ia berkata lebih keras, "Aku mau ngebut lagi, pegangan yang erat."

Dan sebelum aku bisa mencerna maksud kalimatnya, ia sudah meningkatkan kecepatan. Motor melaju kencang dan aku refleks memeluk pinggangnya. Motor Dion bukan tipe motor sport, bukan Kawasaki atau Ninja dengan perawakan besar dan megah, hanya motor matic pasaran yang sudah tua. Tapi aku jarang naik motor (lagi-lagi, karena peraturan ketat Mami), apalagi dalam kecepatan setinggi ini.

Untungnya, kami tiba di sekolah tepat waktu. Aku sedang meletakkan helm di rak penitipan tepat saat bel masuk berbunyi. Aku melongok hendak menunggu Dion yang masih memarkirkan motor, tapi pemuda itu malah mengibas tangannya ke arahku, mengisyaratkanku untuk masuk terlebih dulu.

Akhirnya aku bergegas menaiki tangga, bersama segerombolan siswa lain yang nyaris terlambat.

***

Di luar dugaanku, siang itu, Serga berinisiatif menemuiku di kelas.

Aku sedang santai bersama Jinny di barisan bangku belakang, membicarakan tentang adik kelas yang meraung-raung di ruang BK karena segebok perangkat make up-nya disita OSIS. Gaya penceritaan Jinny membuat cerita absurd itu semakin lucu. Aku tengah tertawa saat tiba-tiba melihat pemuda itu sudah berdiri di hadapanku.

Seperti biasa, Serga yang datar dan tidak suka menarik perhatian hanya berkata pelan, "Aku mau bicara."

Saat aku menatapnya dengan kerutan kening tak paham, ia baru melanjutkan, "Soal tugas klub jurnalis."

Aku masih tidak membalas sebab terlalu terkejut. Serga ingin mengajakku diskusi? Serga Wilantara yang kemarin tidak ingin ikut wawancara?

Ada apa ini?

"Ciee, ada yang diapelin, nih," bisik Jinny di dekatku. Berkali-kali gadis itu menyikut sikuku dengan tatapan bermakna dan senyuman menggoda, tapi kuabaikan dengan sedikit resah.

Aku langsung berdiri dan mengikuti Serga keluar kelas.

"Kenapa nggak ngasih tahu dulu kalau mau ketemu?" protesku, "nggak enak dilihatin anak-anak."

Di sisi lain, Serga tampak tidak terganggu. Ia hanya mengangkat bahu tanpa merasa bersalah. "Aku nggak punya kontakmu."

Alasan klise.

"Ini juga mendadak," lanjutnya, "aku baru lewat lapangan bawah dari kantin. Aku lihat Elfredo sama timnya lagi latihan. Gimana kalau kamu ajak ngobrol dia sekarang?"

Hah?

"Mendadak gitu?" Aku menatapnya tak setuju. "Aku belum bikin daftar pertanyaannya, belum siapin tema, belum riset juga. Enggak mau, ah."

"Nggak perlu, ini bukan wawancara final. Basa-basi biasa sambil kenalan, biar nanti gampang untuk undang dia wawancara. Nggak mungkin, 'kan, tiba-tiba kamu langsung todong orang dengan list penuh pertanyaan tanpa kenal orangnya dulu?"

Aku agak bergidik mendengar sarannya. Tapi kalau dipikir-pikir, saran Serga masuk akal. Tak peduli seberapa arogan, menyebalkan, dan sok si pemain basket bernama Elfredo itu, aku harus bersikap profesional. Dia narasumberku, sumber informasiku.

Kalau aku ingin artikel ini berhasil, maka aku harus melakukannya.

Aku mengatakan oke dan Serga tampak puas. Ia menemaniku berjalan menuju lapangan outdoor. Suasana koridor masih menunjukkan suasana istirahat: hiruk-pikuk siswa dari kantin, beberapa makan siang di depan kelas, ada juga yang dengan percaya diri joget TikTok di lorong perpus.

Di tengah perjalanan menuju koridor lantai satu, aku berpas-pasan dengan Dion. Kami, maksudnya. Ia membawa lembaran kertas di tangan kanannya sementara tangan kirinya menggenggam sterofoam plastik. Kutebak itu nasi bento Ai Jing-jing, menu kesukaannya di kantin. Dion menatapku, kemudian matanya bergulir ke arah Serga. Aku hendak menyapanya, tapi Serga terlebih dulu mengangguk ke arah Dion sebelum lanjut menuruni tangga. Itu cara sapaan antarlelaki yang praktis walau aneh, tapi pada akhirnya aku ikut-ikut memberi anggukan pada Dion sebelum bergegas pergi.

Saat itu aku begitu terpicu untuk melakukan wawancara. Jantungku berdegup ketika kami menyeberangi koridor, selangkah menuju lapangan. Ini akan menjadi pertemuanku dengan Elfredo Willy yang pertama kali dengan benar, ini akan menjadi salah satu usahaku untuk menampilkan kesan pertama yang luwes dan tak canggung.

Bagaimanapun, ia narasumberku.

Kukatakan kalimat itu berulang-ulang dalam hati.

Namun saat aku dan Serga telah benar-benar sampai di depan lapangan, kami malah disambut dengan sepoi angin dan debu pasir. Aku mengerutkan kening. Tidak ada siapa-siapa di sini, hanya dua bola basket yang tergeletak dan seorang cleaning service menyapu pinggir lapangan.

"Kok kosong? Kamu yakin anak basket latihan hari ini?"

Serga sendiri sama bingungnya, ia menoleh ke seisi lapangan dengan tatapan gelisah. "Apa udah bubar ya ..." gumamnya.

Pemuda itu kemudian berlari mendekati gerombolan siswa yang duduk di bangku barisan depan. Dari penggunaan seragam dan rok ketat yang sengaja dipendekkan, aku yakin mereka sekelompok adik kelas penggemar Dion. Serga bertanya soal keberadaan tim basket dan segerombolan siswa itu hanya menggeleng.

"Tim basket udah berangkat," kata Serga setelah ia kembali. Napasnya sedikit terengah akibat berlari tadi. "Aku udah tanya adik kelas, katanya mereka bakal latihan di GOR SMA Semesta sekalian sparring."

"Sekarang?" tanyaku, "padahal ini masih jam sekolah. Biasanya sparring pulang sekolah, 'kan?"

Serga mengangguk. "Harusnya gitu, tapi kayaknya pertandingan ini cukup besar. Buktinya, kepsek sama coach ngantar mereka langsung ke lokasi."

Aku tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang: kecewa karena tidak jadi berkenalan dengan Dodo? Senang karena akhirnya tidak harus berhadapan dengan pemuda arogan itu? Entah, aku tidak merasa apa-apa.

"Tapi kalau semakin ditunda, malah nggak ada waktu lagi. Sparring ini ada 3 hari, belum sama pertandingan real-nya minggu depan. Deadline artikel kita udah deket, wawancaranya bisa-bisa nggak maksimal."

Aku sedikit heran kenapa mendadak Serga antusias dengan tugas itu tapi sebelum aku bisa bertanya, ia sudah terlebih dulu menukas, "Pulang sekolah."

"Hah?"

Pemuda itu menelan ludah, tatapannya tampak berkali lipat lebih serius dan tajam saat melanjutkan, "Pulang sekolah, aku tunggu di parkiran depan. Kita ke GOR SMA Semesta sore ini juga." []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro