Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3. Klub Tonbo

Playlist mood no. 3

Hope Is the Thing With Feathers

by. Robin, HOYO-MiX & Chevy


Berkat nama Sakuta dan lobi-lobi yang dilakukan Pak Sangga ke Kepala Sekolah, ekstrakurikuler entomologi kami akhirnya resmi berdiri dengan nama Klub Tonbo. Nama 'Tonbo' yang berarti capung dalam Bahasa Jepang dipilih oleh Nirmala secara sepihak. Dia bilang tidak ada alasan khusus kenapa dia ingin memakai kata itu, hanya karena terdengar keren saja. Namun, sekarang aku bisa memaknainya lebih dalam. 'Tonbo' mungkin adalah simbol perubahan dan pertumbuhan yang akan kami alami selanjutnya. Seekor capung-meskipun masa hidupnya singkat-telah memulai perjalanannya sebagai nimfa air selama bertahun-tahun, sebelum menjadi seekor serangga yang bisa terbang bebas. Dan itulah yang terjadi pada kami nantinya, dalam kisah yang sedang aku ceritakan ini.

Belakangan aku menyadari ada satu lagi makna capung yang tak pernah terpikirkan oleh kami saat itu. Jika Nirmala mendengarnya langsung, mungkin dia akan menertawakanku. Dalam budaya Jepang, capung dianggap sebagai pembawa jiwa mereka yang telah mati, pengenang arwah orang-orang yang mereka cintai. Terdengar menyedihkan memang. Akan tetapi, aku tidak bisa mengabaikan ironi ini, bahwa pada akhirnya Nirmala-lah yang menjadi capung yang pergi itu.

Aku ingat, bagaimana senangnya Nirmala saat klub entomologi yang dia impi-impikan itu akhirnya terwujud-meski dengan beberapa syarat yang harus kami penuhi, seperti akan ada evaluasi satu tahun untuk melihat performa klub dan yang paling penting apakah kami bisa menggaet lebih banyak anggota baru atau tidak. Sepanjang hari, sepasang matanya yang seperti anak kecil itu berbinar bahagia. Bahkan ketika harus berdesakan membelikan takoyaki yang dijanjikannya kepada Sakuta di kantin sekolah, Nirmala masih saja bersenandung kecil dengan riang. Dia sama sekali tidak merasa terganggu oleh panjangnya antrean yang terjadi.

Tentu saja saat itu aku masih sedikit syok dengan kesepakatan yang terjadi di antara mereka saat di perpustakaan. Sakuta yang terlihat memiliki ego setinggi langit, bisa luluh hanya dengan takoyaki. Bahkan Daksa yang mengetahui cerita ini belakangan, menganggap bahwa aku hanya sedang mengarang cerita. Aku sempat berpikir, sikap lunak Sakuta terhadap Nirmala karena ada sesuatu di antara mereka-sebuah hubungan yang lebih dari sekadar sahabat. Namun, rupanya itu bukan tentang cinta terhadap lawan jenis, bukan tentang perasaan lebih. Ada alasan lain, sesuatu yang tidak pernah aku sadari saat itu, sampai semuanya sudah terlambat.

"Makasih banyak, Ta," ucap Nirmala kepada Sakuta sambil menyodorkan takoyaki hangat yang baru dibelinya di kantin sekolah.

Kami tidak menemuinya di dalam perpustakaan, tapi di taman yang ada depannya-tentu saja karena di dalam ada aturan larangan membawa makanan yang sudah tertulis jelas. Kami bertiga duduk melingkar di atas rumput, membuka camilan yang kami bawa dan memakannya bersama. Saat itu aku merasa sedikit aneh. Makan bersama orang lain diselingi oleh obrolan dan tawa kecil adalah sesuatu yang masih asing bagiku. Aku terbiasa sendiri, tidak pernah ada kebiasaan untuk duduk di meja yang sama untuk makan di rumah. Jadi, itu merupakan pengalaman pertamaku dan aku benar-benar menikmati makan beramai-ramai, meskipun masih ada sedikit kecanggungan.

"Kamu nggak belikan Pak Sangga takoyaki juga?" tanya Sakuta yang terlihat begitu lahap memakan takoyaki yang memang menjadi makanan favoritnya saat itu. "Dia yang udah pasang badan buat kita di depan Kepsek."

"Om Sangga, sih, gampang. Dikasih peluk aja dia udah luluh," jawab Nirmala sambil terkekeh ringan.

Itu sudah ketiga kalinya aku mendengar Nirmala memanggil 'Om Sangga', alih-alih 'Pak Sangga'. Aku sebenarnya sangat ingin tahu apa hubungan Nirmala dan Pak Sangga yang memang terlihat akrab. Namun, pertanyaan itu hanya bisa aku telan kembali tanpa pernah berani melontarkannya kepada Nirmala.

Rasa penasaranku pun segera terjawab ketika Sakuta berbisik bahwa Pak Sangga adalah omnya Nirmala, seolah dia bisa membaca dengan jelas pertanyaan yang tengah menggantung di benakku-pada akhirnya Sakuta memang akan menjadi satu-satunya orang yang selalu bisa mengerti isi pikiranku dengan tepat, tanpa aku harus repot-repot berbicara sesuatu. Kedekatan sesaat yang terjadi di antara aku dan Sakuta saat itu, mampu membuatku tercenung. Jejak udara yang dia embuskan masih tertinggal sejenak di ujung telingaku, menimbulkan sensasi geli di perut, membuatku sedikit gusar dan bergeser menjauh untuk mengurangi ketidaknyamanan yang masih aku rasakan tiap kali berdekatan dengannya.

"Eh, kita juga udah dikasih ruangan sendiri sama OSIS, nih," kata Nirmala tiba-tiba sambil merogoh saku roknya dan memamerkan sebuah anak kunci. "Pulang sekolah, kita cek bareng, yuk?" ajaknya kemudian dengan penuh semangat.

***

Akhirnya Klub Tonbo memang memiliki ruangan sendiri sebagai pusat kegiatan klub. Namun, apa yang kami dapatkan rupanya jauh dari bayangan sebelumnya. Saat kami mengikuti instruksi yang diberikan oleh OSIS, yang kami temukan hanyalah sebuah gudang kecil di belakang yang berdiri sendirian, seolah terisolasi dari hiruk pikuk sekolah. Aku ingat, di samping bangunan kusam itu, berdiri dengan tegak sebatang pohon jambu air-yang saatnya musim berbuah, dengan senang hati Daksa memanjat dan memanen buahnya yang akan kami makan beramai-ramai. Kadang aku masih merindukan hal itu sampai sekarang. Bukan tentang rasa buahnya yang manis dan segar, tetapi perasaan hangat dan keakraban yang memenuhi dadaku saat itu.

"Kita dikasih tempat bobrok kayak gini?" Sakuta yang pertama kali melayangkan protes saat kami berdiri di depan bangunan itu, memandang dengan sedikit kekecewaan.

Aku akui, gudang kusam itu memang mengecewakan ekspektasi kami. Cat pada dinding luarnya telah banyak mengelupas dan penuh coretan vandalisme. Rumputnya tinggi dengan sampah daun jambu yang berserakan bahkan sebagiannya telah membusuk menjadi kompos alami. Aromanya menyerupai kotoran hewan memamah biak yang masih basah.

Aku sadar, klub kami telah dianaktirikan, bahkan sejak awal terbentuk. Ekstrakurikuler lain memiliki ruangan yang lebih baik dan cukup representatif daripada gudang tua itu. Padahal sebelumnya kami sudah meminta untuk bisa menggunakan laboratorium sebagai pusat kegiatan klub, tapi pihak sekolah menolak dan beralasan ruangan tersebut telah digunakan oleh klub sains. Lalu, masalah ruangan itu pun dilimpahkan kepada OSIS.

"Udah, nggak apa-apa. Kita lihat dulu dalamnya," timpal Nirmala seraya menarik lenganku dan Sakuta untuk mendekati bangunan tersebut. Dia masih berusaha menyebarkan energi positifnya kepada kami berdua. Aku tidak tahu pasti, apakah saat itu dia benar-benar tidak merasa kecewa atau justru sedang menutupinya. Nirmala sangat pandai berbohong.

Akan tetapi, ada keanehan saat Nirmala memasukkan anak kunci.

Pintunya tidak terkunci.

Kami bertiga saling berpandangan.

"Jangan-jangan rusak?" gumam Sakuta, nada suaranya sedikit waspada.

Kami mengira mungkin saja pintu itu memang sudah lama tidak dibuka, sehingga kuncinya tidak berfungsi lagi. Namun, saat Nirmala mendorong daun pintu perlahan, udara pengap segera menyergap kami, membawa aroma debu yang bercampur dengan sesuatu yang lain-bau yang lebih hangat dan sedikit apek, seperti kain yang lama tidak dicuci.

Ruangan itu remang-remang. Hanya sedikit cahaya yang masuk dari jendela kecil di atas. Di tengahnya, di antara tumpukan kardus bekas dan meja-meja tua yang ditumpuk sembarangan, ada sesuatu yang bergerak.

Atau lebih tepatnya, seseorang.

Seorang siswa tengah meringkuk di atas tumpukan kardus yang terlipat sebagai alas tidur. Napasnya pelan dan teratur, dadanya naik turun dengan tenang.

Aku menelan ludah.

"Ada orang," bisik Nirmala.

"Kok bisa?!" desis Sakuta seraya mencondongkan tubuh ke depan untuk bisa melihat lebih jelas siapa siswa itu.

Kami bergeming dan sekali lagi saling memandang. Meskipun tanpa kata-kata, tetapi kami memahami arti tatapan masing-masing. Apakah kami harus membangunkannya? Atau pergi dan berpura-pura tidak melihat apa-apa?

Lalu, tiba-tiba, suara serak terdengar dari siswa yang masih memejamkan mata itu.

"Berisik banget, sih?"

Kami bertiga langsung membeku di tempat.

Siswa itu menggerakkan tangan, menggaruk kepalanya sebentar, lalu berguling ke posisi yang lebih nyaman. Seakan keberadaan kami sama sekali tidak penting.

Aku hampir bisa mendengar Sakuta mengatupkan giginya dengan kesal, lalu menggeram, "Dia siapa? Molor seenaknya disini?"

Siswa itu, dia adalah Daksa. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro