Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Si Jenius Angkuh

Playlist mood no. 2

Dandelion by Nalba


Satu kata yang sangat sederhana, tapi begitu sulit untuk aku ucapkan saat itu adalah kata 'tidak'. Entah sejak kapan semuanya bermula, aku menjadi pribadi yang tidak dapat menolak sesuatu, karena takut orang lain akan marah dan akhirnya menyingkirkanku, tidak menerima kehadiranku.

Mungkin ini dimulai ketika aku kecil, sebelum kedua orang tuaku bercerai, tapi hubungan mereka sudah renggang. Emosi mereka yang tidak stabil sering kali dilampiaskan kepadaku, terutama Mama.

Aku ingat, suatu hari aku menolak tidur siang, lalu tiba-tiba terasa cubitan panas di lenganku. Aku menggigit bibir, menahan isak, sementara Mama hanya berlalu seperti tidak terjadi apa-apa. Rasa perihnya hilang setelah beberapa jam, tapi takutnya masih tersisa. Lalu, ketika aku tidak mau makan sayur, Mama mengunciku di kamar. Aku menangis diam-diam, menempelkan telapak tanganku ke pintu, berharap ada yang membukakan, tapi tidak ada siapa-siapa. Bahkan saat mereka akhirnya bercerai dan aku menolak memilih salah satu dari mereka—karena aku menginginkan keduanya—aku malah ditinggalkan bersama Nenek.

Sejak saat itu, aku belajar bahwa menolak hanya akan menyakiti diri sendiri. Jadi, aku berhenti menolak. Aku membiarkan orang lain menentukan, selama itu membuat mereka senang—atau setidaknya tidak membuat mereka marah.

Mungkin karena itulah, ketika Nirmala mengajakku—atau lebih tepatnya memaksaku—untuk bergabung dengan klub entomologi, aku tidak menemukan keberanian untuk menolaknya. Lidahku seperti terbelit. Saat itu yang aku tahu, serangga hanyalah makhluk kecil yang bahkan kehadirannya tidak pernah aku sadari. Pengetahuanku tentang mereka nol besar.

Pernah suatu ketika, aku bertanya kepada Nirmala apa alasannya mengajakku untuk bergabung ke klub. Jawaban yang dia berikan benar-benar di luar prediksiku.

"Karena kamu satu-satunya teman yang bisa aku ajak ngobrol soal serangga tanpa kelihatan bosan," ucapnya disertai tawa lebar.

Di mata Nirmala, aku mungkin teman yang perhatian. Dia tidak tahu bahwa saat itu aku hanya mencoba menghargainya sebagai lawan bicara—meskipun pada kenyataannya hanya Nirmala yang mendominasi pembicaraan dan aku hanya menjadi pendengar, sesekali menimpali dengan kalimat pendek. Tidak ada sedikit pun ketertarikanku terhadap serangga yang selalu dibicarakannya.

Kemudian, saat istirahat siang pada hari dia mengajakku bergabung, Nirmala membawaku menemui seseorang. Dia adalah Sakuta.

Kesan pertamaku kepada pemuda itu tidak begitu baik. Dia tampak begitu angkuh. Tatapan matanya terlihat tajam dan menyelidik, seolah dia sedang mengulitiku, melihat sesuatu dalam diriku yang enggan kutunjukkan kepada siapa pun. Atau mungkin hanya perasaanku? Entahlah. Namun yang jelas, saat itu Sakuta menatapku dengan penuh intimidasi hingga membuatku merasa tidak nyaman sama sekali.

Kami menemui Sakuta di perpustakaan ketika ada seorang siswi—tepatnya kakak kelas karena aku melihat lencana yang tersemat di seragamnya—yang sedang menyatakan perasaan suka kepadanya. Aku melihat kakak kelas itu, dengan terbata-bata, penuh kegugupan, berjuang untuk mengutarakan isi hatinya. Sakuta sendiri tampak tak acuh. Bahkan dia tidak perlu repot-repot melirik kakak kelas itu untuk memberinya sedikit perhatian. Dia tetap menunduk dengan tangan kiri yang menyangga kepala, terlihat takzim menekuri tabletnya.

"Aku suka sama kamu, Ta. Kamu mau nggak pacaran sama aku?" Suaranya terdengar lirih dan rapuh saat mengucapkan kata suka tersebut, jemarinya menggenggam keliman rok dengan erat.

Tanpa sadar aku menahan napas, penasaran apa yang akan dikatakan Sakuta. Namun, pemuda itu tidak segera menjawab. Hanya ada kesunyian yang menggantung di antara mereka.

Aku sendiri tidak bisa membayangkan berada di posisi Sakuta saat itu. Jika aku yang ditembak, aku mungkin akan mengangguk dan menerima perasaannya, bahkan jika aku tidak menyukainya sekalipun. Mengatakan 'tidak' adalah sesuatu yang tidak bisa aku lakukan.

Namun, berbeda bagi Sakuta. Dengan suara tenang, nyaris tanpa emosi, dia berkata, "Aku nggak mau buang-buang waktuku buat pacaran sama cewek yang nggak jelas."

Lugas. Mantap. Tidak berperasaan sama sekali!

Gadis itu terdiam sesaat. Wajahnya memucat. Kata-kata Sakuta bagai hantaman keras yang langsung mengenai dadanya. Aku bisa melihat dengan jelas ada keterkejutan dan rasa sakit dalam ekspresinya. Kalimat Sakuta memang begitu tajam, sinis, dan dibumbui oleh keangkuhan. Tidak menyisakan sedikit pun ruang untuk harapan.

"Maaf ya, Kak. Kakak cari pacar yang lain saja. Sakuta-nya buat aku." Tiba-tiba saja suara Nirmala terdengar begitu ceria. Aku hampir terjungkal. Tidak tahu sejak kapan dia tiba-tiba sudah duduk di sebelah Sakuta dan menyandarkan kepala di bahunya dengan santai.

Adegan yang cukup intim itu tentu saja membuatku dan si kakak kelas terkejut bukan main. Aku seperti melihat sebuah potongan adegan dalam film, tapi kali itu benar-benar nyata terjadi di depanku. Aku tidak begitu ingat bagaimana reaksi gadis yang menyatakan rasa sukanya ke Sakuta tersebut, tapi yang pasti saat itu Nirmala mengaku bahwa Sakuta adalah pacarnya. Aku hampir saja mempercayai kebohongan Nirmala itu. Terlebih Sakuta juga tidak menunjukkan reaksi menolak. Dia tetap bergeming dan menekuri tabletnya.

Jika dikenang kembali, Sakuta yang selalu terlihat tidak begitu tertarik bergaul dengan orang lain—bahkan selalu menolak gadis-gadis yang menyukainya dengan kata-kata yang sangat kejam—memiliki sikap yang cukup berbeda terhadap Nirmala. Dia membiarkan Nirmala selalu bermain-main dengannya, tidak mengusir dengan kalimat tak berperasaan, bahkan menoleransi keberadaan Nirmala di sekitarnya. Sakuta punya alasan tersendiri tentunya—aku akan tahu itu nanti ketika semua perhatiannya ke Nirmala membuatku merasa sedikit cemburu. Alasan yang lebih dari sekadar kenyataan bahwa Sakuta dan Nirmala memang sudah saling mengenal sejak kecil.

Berkat kebohongan Nirmala, kakak kelas yang tidak aku tahu atau ingat namanya itu berhasil diusir dengan wajah yang memerah, entah menahan malu atau kesal. Setelah kepergian si kakak kelas, barulah Sakuta meletakkan jari telunjuk ke kening Nirmala dan mendorong kepalanya menjauh.

"Udah selesai main sinetronnya?" tanya Sakuta terdengar sarkastis.

Nirmala sedikit cemberut. Dia mengusap-usap bekas telunjuk Sakuta di dahinya. "Mana rasa terima kasih kamu? Udah aku bantuin usir cewek itu juga."

Sakuta hanya melirik sekilas, terlihat tidak tertarik, lalu kembali menunduk dan menggulir layar tabletnya. "Kalau ini soal kamu yang mau bikin klub ento, jawabanku tetap sama. Nggak tertarik."

Nirmala berdecak, memasang wajah pura-pura kesal. "Padahal aku datang ke sini karena udah ada progres soal rencana itu."

"Progres apa?"

Nirmala lalu menarikku mendekat, mendudukkanku di sisi Sakuta yang lainnya. "Kenalin, anggota baru. Namanya Ayyara," ucapnya dengan nada ceria.

Aku berusaha tersenyum sopan ke Sakuta, tapi dia hanya melirikku tak acuh. Sepasang matanya yang tajam itu memicing seperti pisau yang siap mengupas permukaan luar untuk mencari sesuatu di dalamnya. Ada sorot menyelidik di matanya, membuatku refleks menunduk. Aku merasa seperti buku yang sedang dibaca tanpa seizinku.

Hingga saat ini, aku masih sering bertanya-tanya, kenapa saat itu aku bisa duduk bertahan di antara dua orang dengan dinamika yang belum sepenuhnya aku pahami. Meskipun aku memang terintimidasi dengan tatapan Sakuta, tetapi aku juga merasa sedikit penasaran, ingin tahu bagaimana rasanya menjadi bagian dari sesuatu.

"Cuma satu orang ini aja?" Suara Sakuta dingin, netral, tanpa emosi. "Nggak akan cukup buat mengajukan proposal ke sekolah," lanjutnya sebelum Nirmala sempat menjawab.

"Bertiga cukup, kok," sanggah Nirmala ringan. "Sebagai murid rangking satu paralel, nilai kamu itu setara sama sepuluh orang."

Sakuta tidak tertawa. Aku juga tidak. Hanya Nirmala yang tampaknya tersenyum dengan percaya diri, seakan sudah yakin dengan kemenangan sebelum pertempuran dimulai.

"Nggak," jawab Sakuta akhirnya.

"Namamu udah aku tulis di sini." Nirmala mengangkat proposal yang dia bawa ke depan wajah Sakuta. "Kalau kamu yang mengajukan, pasti bakal lolos. Tenang aja, nanti Om Sangga juga bakal bantuin ngomong ke Kepala Sekolah, kok."

Hening sejenak. Aku melirik Sakuta dari ekor mata, berusaha membaca ekspresinya. Namun dia tetap sama—tidak tertarik, tidak terganggu, tidak peduli.

Lalu, kalimat pamungkas itu pun keluar dari bibir Nirmala. Kata-kata yang sampai sekarang masih akan selalu aku ingat dengan jelas. "Kalau gitu aku bakal traktir kamu takoyaki di kantin sekolah selama seminggu, deh."

Sakuta akhirnya menoleh, tapi hanya untuk mendelik ke arah Nirmala. "Tiga bulan."

"Sebulan."

"Dua bulan."

"Satu setengah bulan. Deal atau nggak?"

"Deal."

Nirmala terkikik senang. Sementara aku tidak akan pernah percaya, jika aku tidak mendengar dan melihatnya sendiri, bahwa dari semua alasan di dunia, ternyata harga jenius angkuh seperti Sakuta hanyalah takoyaki! []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro