Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Gadis Eksentrik Pecinta Serangga

Playlist mood no. 1

Morning Coffee by Chevy, Nalba & Luxid


Orang-orang sering menyebut kami berempat sebagai Koloni Capung. Sebenarnya panggilan itu awalnya lebih seperti sebuah ejekan yang ditujukan untuk kami, para anggota Klub Tonbo, yang di mata mereka sungguh menyedihkan—murid-murid aneh yang terkucilkan. Aku, Nirmala, Sakuta, dan Daksa.

"Ih, bener, ya? Biasanya yang aneh itu kumpul sama yang aneh juga." Begitulah kira-kira ucapan sinis mereka setiap kali membicarakan kami.

Akan tetapi, apa pun kata mereka, aku tidak begitu peduli sebenarnya. Koloni Capung yang mereka ejek itu adalah tempat terbaikku untuk bisa menemukan sebuah keluarga kecil. Dulu aku tidak pernah menyangka, justru Nirmala—dengan segala keunikannya—adalah orang yang pertama kali menarikku masuk ke koloni yang menyenangkan ini.

Nirmala.

Tentu saja aku tidak akan lupa bagaimana pertama kali bertemu denganya. Saat itu adalah pagi yang basah pada pertengahan Januari. Hujan mengguyur semalaman dan baru berhenti setelah subuh, membuat genangan air di mana-mana. Udara pun cukup dingin hingga membuatku harus merapatkan kardigan tipis yang kukenakan. Wangi dedaunan yang menyegarkan menyebar, menimbulkan ketenangan yang saat itu benar-benar sedang aku butuhkan.

Aku berjalan di koridor setengah terbuka yang telah kosong dan hening, mengikuti seorang guru yang akan menjadi wali kelas baruku. Namanya Pak Sangga, usianya masih muda, mungkin baru di awal tiga puluhan saat itu. Suara langkah kami menggema, melewati kelas demi kelas yang telah tenang karena pelajaran pertama sudah dimulai. Namun, aku merasakan dadaku semakin berdebar gugup.

Menjadi murid pindahan pada pertengahan tahun ajaran mungkin bukan ide yang bagus. Lebih-lebih saat itu aku baru kelas sepuluh. Semua orang pasti telah memiliki lingkaran pertemanannya sendiri. Jika aku mendadak masuk, bukankah aku akan menjadi seperti seseorang yang terlambat untuk bergabung ke sebuah pesta? Aku hampir saja bisa menyesuaikan diri di sekolah lamaku, tapi harus menghadapi lagi sebuah lingkungan baru di kota yang benar-benar baru juga bagiku. Dan itu membuatku terus merasa tertekan.

Semua dikarenakan Mama yang menikah lagi dan memutuskan untuk pindah ke tempat tinggal suami barunya, Papa tiriku. Mama tidak mengacuhkan saat aku merengek ingin tetap di kota lamaku. Dia tidak pernah tahu kesulitanku dalam menghadapi orang-orang dan lingkungan baru. Kegugupanku, ketakutanku berada di sekitar hal yang sama sekali tidak aku kenal, Mama tidak benar-benar peduli. Dia terlalu sibuk dengan dunianya sendiri untuk melihat seberapa sulit itu bagiku. Seperti kebanyakan orang dewasa, dia mengambil keputusan dan menganggapku akan baik-baik saja. Dia hanyalah salah satu orang dewasa egois yang pernah aku kenal sampai saat ini.

Aku meremas tangan, berkali-kali mencoba untuk menarik napas dalam dan meraup udara menenangkan pagi itu untuk memperlambat debaran jantung yang semakin berpacu. Rasanya aku ingin berbalik dan kabur, kembali ke rumah, ke kamar, ke balik selimut hangatku, lalu meringkuk di sana hingga hari menjelang siang. Namun, tentu saja aku tidak akan pernah benar-benar bisa melakukannya.

Lalu, di tengah suasana tenang di koridor, sayup-sayup terdengar suara gaduh yang begitu ramai dari salah satu kelas yang ada di depan sana. Bukan sekadar bisik-bisik atau tawa, tapi suara riuh yang seperti membelah pagi yang baru saja tenang.

Aku belum tahu apa yang terjadi, tapi Pak Sangga tiba-tiba mempercepat langkahnya, membuatku sedikit kewalahan saat harus mengimbanginya. Kami berhenti di depan sebuah kelas yang beberapa muridnya berlarian keluar seperti menghindari sesuatu, wajah-wajah mereka terlihat ketakutan. Pak Sangga bersedekap, sepasang mata di balik kacamatanya tampak melebar, campuran antara keterkejutan dan kemarahan yang tersirat. Aku berjinjit sedikit, berusaha mengintip ke dalam kelas yang gaduh itu.

Dan saat itulah, pertama kali aku bertemu dengan Nirmala.

Seorang gadis bertubuh mungil dan berambut pendek tampak berlari-lari kecil di depan kelas, langkahnya ringan seperti sedang bermain-main di lapangan rumput terbuka. Jepit capung berwarna cerah di rambutnya berkilauan tertimpa cahaya lampu, sedikit kontras dengan cuaca yang masih mendung di luar. Dia sedang membawa sesuatu atau lebih tepatnya ada benda kecil cokelat yang terjepit di antara jempol dan telunjuknya.

Ekspresinya begitu riang, sepasang matanya yang bulat berbinar. Dengan percaya diri, dia menyodorkan 'temannya' tersebut ke beberapa murid yang langsung mundur dengan teriakan tertahan. Wajah mereka pucat ketakutan.

"Nirmala!" Suara Pak Sangga menggelegar, membuat kegaduhan mereda seketika. "Cepat buang itu!"

Nirmala berhenti, menoleh ke arah Pak Sangga dengan wajah sedikit cemberut. "Tapi, binatang kecil lucu ini baru saja aku selamatkan, Pak," tolak Nirmala.

Aku mencoba melihat lebih jelas 'binatang lucu' apa yang dia maksud, dan begitu menyadarinya, aku hampir saja mundur selangkah. Seekor kecoak! Dia benar-benar memegang kecoak dengan tangan kosong!

"Lucu apa? Lihat teman-temanmu udah takut gitu!" hardik Pak Sangga tegas. "Cepat buang! Atau kamu nggak usah ikut pelajaran Bapak hari ini."

Nirmala bergeming sejenak, terlihat keengganan dalam ekspresinya. Namun, seperti anak kecil yang penurut, dia akhirnya berjalan ke luar kelas. Sedangkan murid lainnya tampak lega ketika dia tidak lagi bermain-main dan menakuti mereka dengan kecoak.

Saat melewatiku, aku bisa mendengarnya bergumam sambil mengelus-elus punggung si kecoak. "Maaf, ya? Aku terpaksa harus buang kamu. Soalnya Om Sangga galak banget kalau lagi marah."

Dengan hati-hati, Nirmala menunduk dan meletakkan kecoak itu di atas rumput depan kelas. Jarinya bergerak lembut, seolah menaruh sesuatu yang sangat berharga. Tidak ada jijik di matanya—hanya ada ketulusan.

***

Begitulah Nirmala, gadis eksentrik pecinta serangga.

Pertemuan pertama kami cukup untuk bisa membuatku melihat betapa dia menyukai makhluk kecil yang sering dipandang sebelah mata itu—tidak dihiraukan, dianggap menjijikkan, cenderung dihindari, bahkan dibasmi tanpa pikir panjang. Namun, di mata Nirmala, mereka bukan sekadar searangga. Mereka adalah makhluk istimewa yang layak dihargai, sebagaimana manusia menghargai kucing atau anjing sebagai hewan peliharaan.

Sebab keanehan itu pula, tidak ada murid lain yang mau berteman dengannya—sama sepertiku meski dengan beberapa alasan yang sedikit berbeda. Pada akhirnya, kami berempat memang tidak jauh berbeda. Mungkin karena itulah kami bisa menemukan satu sama lain—seperti serangga yang selalu tahu ke mana mereka harus terbang untuk menemukan kawanan mereka. Jika dipikirkan lagi sekarang, klub entomologi yang akhirnya kami bentuk berempat nanti merupakan representasi dari eksistensi kami berempat yang seperti sekumpulan serangga di sekolah.

Mungkin sejak awal, kami memang ditakdirkan untuk berkumpul di bawah nama yang mereka ejek—Koloni Capung. Namun, saat itu aku belum tahu bahwa pertemuanku dengan Nirmala pagi itu hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Setelah insiden kecoak yang menghebohkan pagi itu, aku resmi menjadi teman sebangku Nirmala. Selama seminggu kami berbagi meja, aku jadi cukup mengenal kebiasaannya. Dia selalu suka mengenakan jepit rambut bertema serangga yang berbeda-beda tiap hari, kadang capung—seperti yang kulihat di hari pertemuan kami, kupu-kupu, belalang, bahkan bentuk ulat hijau yang memang terlihat menggemaskan. Dia sering mengajakku mengobrol, membicarakan sesuatu tentang serangga yang tidak sepenuhnya aku pahami saat itu.

"Kamu tahu nggak, Yar, kalau kecoak bisa hidup tanpa kepala selama berminggu-minggu, loh!" katanya antusias setelah pagi dengan insiden kecoak itu.

"Menurut kamu siapa hewan pemburu paling hebat di dunia? Kalau kamu mikirnya itu singa atau serigala, kamu salah besar! Capung itu yang paling hebat!" ucapnya lain kali.

"Lebah itu hewan yang pintar! Dia bisa mengenali wajah manusia meski otaknya kecil kayak wijen."

Dan masih banyak lagi yang dia bicarakan soal serangga.

Sebenarnya aku cukup kewalahan dengan isi obrolannya dan hanya bisa mengangguk-angguk, berpura-pura paham saat dia menceritakan fakta lainnya tentang serangga ini begini, serangga itu begitu dengan begitu antusias. Untuk orang lain, mungkin obrolan soal serangga merupakan topik yang tidak terlalu mengesankan. Akan tetapi, bagi Nirmala itu sama menariknya seperti siswi lain yang membicarakan tentang Super Junior, Girls Generation, 2PM, A Pink atau idola K-Pop lainnya saat jam istirahat.

Sampai suatu hari, tiba-tiba Nirmala menyodorkan sebuah proposal di hadapanku dan berkata, "Aku udah tulis namamu di sini. Kita bakal bikin kegiatan ekskul baru di sekolah."

Aku cukup terkejut ketika membaca judul halaman proposal yang dicetak besar dengan huruf kapital tersebut. Proposal Pembentukan Ekstrakurikuler Klub Entomologi. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro