Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3 - SUICIDE


Dearest,

I feel certain I am going mad again. I feel we can't go through another of those terrible times. And I shan't recover this time. I begin to hear voices, and I can't concentrate. So I am doing what seems the best thing to do. You have given me the greatest possible happiness. You have been in every way all that anyone could be. I don't think two people could have been happier till this terrible disease came. I can't fight any longer. I know that I am spoiling your life, that without me you could work. And you will I know. You see I can't even write this properly. I can't read. What I want to say is I owe all the happiness of my life to you. You have been entirely patient with me and incredibly good. I want to say that - everybody knows it. If anybody could have saved me it would have been you. Everything has gone from me but the certainty of your goodness. I can't go on spoiling your life any longer.

I don't think two people could have been happier than we have been.

- Virginia Woolf –

Yang pengen saya tulis kali ini, jauh lebih berat daripada tema sebelumnya tentang populasi. Apa ya? Mungkin lebih bikin depresi. Tapi rasanya tepat juga karena ini masalah yang sangat serius dan jarang orang ngasih perhatian lebih. So often, people pay attention when it's already too late.

Yang jadi pembuka itu adalah surat yang ditulis Virginia Woolf (salah satu literary idols saya) sebelum dia bunuh diri dengan menenggelamkan diri di sungai Ousse tahun 1941. Kalau ada yang pernah nonton The Hours (Nicole Kidman jadi Virginia Woolf dan menang Oscar buat Best Actress. Ada Meryl Streep dan Julianne Moore juga) atau baca bukunya, yang merupakan karangan Michael Cunningham dan menang Pulitzer Prize for Fiction tahun 1999, pasti tahu Virginia Woolf. Atau mungkin malah udah ada yang pernah baca Mrs. Dalloway, To The Lighthouse, The Waves, Orlando, atau Between The Acts? Anyway, Virginia Woolf ini bunuh diri karena ada suara-suara di kepalanya dan kalau menurut diagnosa sekarang, kondisinya bisa dimasukkan ke dalam kategori schizophrenia. Mungkin dia terlalu jenius karena karya-karyanya memang monumental.

Virginia Woolf bukan satu-satunya penulis yang memilih mengakhiri hidupnya. Ada Sylvia Plath yang memasukkan kepalanya ke oven terus dihidupin ovennya, lalu ada Ernest Hemingway yang nembak kepalanya sendiri, ada David Foster Wallace yang gantung diri, ada Ned Vizzini yang terjun dari gedung, ada Yukio Mishima yang bunuh diri dengan cara ritual tradisional Jepang. Itu cuma beberapa dari dunia literasi. Belum lagi orang-orang terkenal seperti Marilyn Monroe, Robbie Williams, Kurt Cobain, Chris Cornell, dan yang terakhir, Chester Bennington. Terlepas dari kontroversi yang mengelilingi mereka, dunia mencatat mereka meninggal karena bunuh diri. And may their souls rest in peace.

Meski cara mereka ngambil nyawa sendiri macem-macem (ada yang overdosis, ada yang gantung diri, ada yang nembak) rata-rata, ada satu kesamaan yang bisa saya simpulkan: mereka percaya, bunuh diri adalah solusi terbaik untuk keluar dari depresi. Mereka nggak bisa menemukan cara lain dan mengambil nyawa sendiri adalah satu-satunya jalan mereka bisa lepas dari depresi.

Beberapa hari setelah berita bunuh diri Chester Bennington, ada artikel di GQ (1) tentang bunuh diri dan menurut saya, ada beberapa poin yang penting untuk diketahui.

Salah satu baris artikelnya berbunyi:

According to the World Health Organization, more than 800,000 people take their own lives each year. In 2012 it was the second leading cause of death among 15- to 29-year-olds and, according to a 2014 British government report, it is three times as common in males, with rates highest for those aged 35 to 54. Because of the traditional role masculinity has played in society, explains Sam Challis, information manager at mental health charity Mind, "Men are less likely [than women] to talk about their feelings and get support. So it would be more common for a man to take his own life and for nobody to have known there was anything wrong."

Delapan ratus ribu nyawa hilang gitu aja akibat bunuh diri. Jika dibandingkan dengan populasi kita yang mencapai 7,5 miliar, angka segitu mungkin nggak seberapa, tapi tetep aja, itu nyawa manusia yang hilang karena nggak kuat menghadapai tekanan hidup. Efeknya bagi mereka yang ditinggalin itu ... saya nggak bisa ngebayangin. Ditinggalin orang terdekat karena sakit aja udah pol-polan sedihnya, apalagi yang meninggal karena bunuh diri.

Karena GQ ini majalah pria, jadi yang disoroti lebih adalah kaum Adam. Dan menurut Sam Challis, kaum pria cenderung jarang mengungkapkan perasaan mereka, jadi kalau ada cowok yang bunuh diri, akan sangat umum jika orang nggak akan pernah tahu apa penyebabnya. Penyebabnya? Peran di masyarakat yang mengharuskan pria nggak boleh cengeng, nggak boleh nangis, nggak boleh mengungkapkan perasaan. Saya setuju sih karena masyarakat kita akan langsung melabeli pria yang dengan terang-terangan nunjukkin emosinya adalah pria lemah dan lembek. Padahal, emosi itu milik semua orang, regardless the gender. Saya pernah baca satu artikel (tapi lupa di mana, jadi nggak bisa saya kasih tautannya) kalau seorang pria tidak malu untuk menunjukkan emosinya, justru pria itu dianggap sebagai pria yang kuat dan pemberani. Logikanya memang bener. Selama ini, pria dituntut harus tangguh dan kuat, dan kalau dia bisa nunjukkin perasaannya (misalnya nggak malu buat nangis) berarti dia berani keluar dari stereotipe yang menempel pada dirinya sebagai pria.

Saya sendiri tipe orang yang nggak malu sih ngakuin ke temen-temen deket kalau misalnya saya pengen nangis. Bahkan kadang, saya ngasih tahu mereka sebagai cara 'Hey, I need a shoulder to cry on' atau 'I need an ear to listen to my rambling' dan selama ini, nggak pernah ada temen saya yang nge-judge atau nuduh saya lembek atau nggak laki cuma karena ngaku pengen nangis. I'm not ashamed to show my emotions. Dasarnya, saya memang sensitif, jadi baca cerita sedih dikit, pasti nangis, liat film sedih pasti mewek. And again, I'm not ashamed to admit it. Karena saya percaya, emosi itu milik tiap orang dan it's perfectly okay to cry, it's very human and normal to tell your friends that you just can't hold it any longer. Ini buat para pria ya? Hehehehe.

Lanjut ke artikel yang tadi.

Di sana juga disebutin, biasanya, orang yang punya suicidal thoughts mungkin nggak mau ngakuin kalau dia kepikiran buat bunuh diri. Kalaupun mereka bilang ke orang lain, mungkin orang lain ini nggak tahu gimana harus nanggepinnya, atau malah parahnya dianggep lucu-lucuan aja, atau mungkin malah nggak acuh sama sekali. Sekalinya orang punya pikiran buat bunuh diri, dan nggak ada orang lain yang bisa ngebantu dia, then it's hopeless.

Misalnya suatu saat (semoga saja nggak akan pernah) temen/orang terdekat kalian bilang ke kalian kalau mereka punya pikiran buat bunuh diri, justru jangan dikasih nasehat kalau apa yang mereka pikirin itu salah, dsb.

Challis explains: "[Comments] such as, 'Think of what it'll do to your family' are often very unhelpful because it's likely that somebody who's thinking about suicide is already feeling pretty awful about themselves. It is almost irrelevant what the situation is or what the reason is for the person feeling that way, because they do feel that way. If somebody tells you they're feeling suicidal, then those feelings are real. So try not to judge their reasons, or the feelings themselves, but try to be there, listen and be supportive."

Jadi, jangan malah disalahin atau diceramahin panjang lebar tentang dosa, dsb. Mereka pasti udah tahu akibatnya apa karena pikiran buat bunuh diri itu nggak dateng tiba-tiba. Pasti ada pemicunya. Yang harus kita lakuin justru nanya baik-baik, apakah ada masalah yang mungkin kita bisa bantu atau kalau misalnya dia nggak mau terbuka ke kita, arahkan dia buat ngungkapin perasaannya ke orang yang dia percaya. Be supportive, but never judge.

Dan bunuh diri jelas bukan perkara yang bisa dianggap remeh. Pemicunya bisa banyak banget dan ini nggak cuma menimpa mereka yang udah sangat dewasa, tapi juga remaja. Saya nggak punya angka pastinya atau artikel yang bisa mendukung ini, tapi di AS sana, banyak anak muda yang bunuh diri karena bullying, baik itu verbal atau cyber bullying. Kebanyakan dari remaja yang memutuskan buat ngambil nyawa mereka sendiri ini adalah kalangan minoritas, seperti gay, lesbian, transgender, atau karena self-esteem yang rendah, seperti masalah berat badan dan percintaan. Ada satu kasus yang saya inget karena David Levithan nyebutin nama remaja ini sebagai salah satu ide yang dia dapet buat nulis Two Boys Kissing. Namanya Tyler Clementi. Jadi, dia ini gay, dan temen sekamarnya, sengaja ngerekam Tyler pas ciuman dengan cowok, kemudian disebarin ke internet. Tyler kemudian terjun dari George Washington Bridge. Saya nggak punya statistik bullying di Indonesia seperti apa (yang menyebabkan korban bullying sampai bunuh diri) tapi di AS sepertinya udah sangat parah. Ada remaja yang bunuh diri karena mantan pacarnya nyebarin foto telanjang dia, kemudian ada yang bunuh diri karena terus-terusan diejek perkara berat badan. Alasannya macem-macem, but it starts from bullying. And it's so heart breaking because they still have long way ahead, they still have dreams and their life got cut short because some people tell them, they don't matter or not worth to live.

Sekarang ini, sosial media menurut saya punya andil juga dalam ngebentuk rasa percaya diri seseorang. People show off to the world about their trip, their holiday, their wealth, their romance ... in short, they captured and photographed their lives for other people to see, or judge. Mungkin pengaruhnya akan lebih dahsyat buat anak muda karena tingkat emosi mereka kemungkinan besar belum matang dan masih belum sepenuhnya bisa mengendalikannya. Teknologi, termasuk sosial media, memang punya dua sisi yang nggak mungkin dipisahin. Depresi yang ditimbulkan oleh media sosial mungkin jauh lebih tinggi angkanya sekarang dibandingkan 10-15 tahun lalu. Dan depresi, dalam banyak kasus, adalah pemicu seseorang memutuskan bunuh diri.

Anyway, berat ya bahasan saya kali ini? But, I think it's important to address this issue. Kita nggak bisa terus-terusan menutup mata atau nganggep bahwa bunuh diri adalah hal yang tabu untuk dibicarakan. Kita harus aware dan sadar bahwa siapa pun bisa jadi korban tanpa kita sadari. Dan ketika semuanya udah kejadian, then it will be too late. Tolong jangan kaitkan dulu dengan dosa dan neraka. Mereka yang punya pikiran bunuh diri udah ngerasa bingung dan nggak tahu lagi mau ngapain, jangan kita tambah-tambahin dengan omongan seperti itu. We need to help them and the only way we can do that is by listening and talking to them.

Semua orang pasti punya masalah. Orang-orang terkenal itu, mereka kurang apa secara materi? Nggak ada 'kan? Kalau bepikir bahwa uang bisa menjamin kebahagiaan, itu opini yang salah. Uang memang bisa membeli kenyamanan dan materi, tapi kalau kondisi kejiwaan kita nggak stabil, buat apa punya uang banyak? The key is to be thankful. Sederhana tapi susah banget diterapkan. Wajar sebagai manusia, kita pasti selalu ngerasa kurang. It's human nature. Cuma, tinggal gimana usaha kita buat bersyukur. Be thankful for small things, and always look down. Selalu liat ke bawah karena kalau kita terus-terusan liat ke atas, yang ada kita selalu iri dan nggak pernah puas dengan apa yang kita punya. Ngayal-ngayal cantik atau ngayal babu kayak saya sih nggak papa ya, karena sadar kalau itu sekadar khayalan, daydreaming, dan dalam kasus saya buat lucu-lucuan aja (yang temenan dengan saya di FB pasti tahu betapa delusinya saya, hahahaha) Asal jangan kebablasan.

Rasanya, segini dulu bahasan saya tentang bunuh diri. Saya masih coba nyari tema lain yang lebih ringan buat ke depan. I hope this is not too depressing. Kalau misalnya ada yang punya masalah, please, jangan disimpen sendiri. Talk to someone. Saya percaya, tiap persoalan pasti ada jalan keluarnya. Tinggal kita kuat atau nggak buat menghadapinya. That's why we need friend/family in our lives.

Semoga yang baca ini bisa ngedapetin sesuatu (entah itu pengetahuan baru atau cara pandang baru) dan thank you so much for reading this. I appreciate it.

Oh ya, medianya saya kasih You Know My Name-nya Chris Cornell. Buat saya, itu masih soundtrack James Bond paling oke sejak Daniel Craig jadi Bond. He's my favorite Bond and the song, captures the movie (Casino Royale) and the introduction of his character really well.


Regards,

Abi


Tautan:

(1) http://www.gq-magazine.co.uk/article/male-suicide-depression-advice

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro