Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1 - PERKARA SELERA


Kemarin pagi, saya tergelitik pas lihat newsfeed di Wattpad dan lihat komentar salah seorang teman di sebuah cerita yang memiliki jutaan pembaca dan votes di Wattpad. Selama ini, kami cuma saling olok alias joking around karena dari cerita tersebut, dia sering nemu kata-kata yang menurutnya ajaib. Nggak jarang, saya pun ikut-ikutan ngerasa geli dan geleng-geleng kepala sendiri karenanya. Kemarin pun nggak beda, teman saya ini menggarisbawahi kata ‘memeram’. Saya cek di KBBI, arti kata memeram adalah sebagai berikut:

1. menyimpan buah-buahan (dengan membungkusnya dan sebagainya) supaya lekas masak.

2. menyimpan (rahasia, perasaan, dan sebagainya); menyembunyikan

3. menyuruh tinggal di rumah saja: menyekap; memingit

4. mendekut (tentang burung merpati)

Sedangkan maksud kata ‘memeram’ pada kalimat di cerita yang dia baca, sebenernya adalah merem alias memejamkan mata. Entah dari mana, sang penulis menyamakan arti ‘memejamkan mata’ dengan 4 arti kata ‘memeram’ yang sebenernya. It perplexes me, to be honest.

Saya kemudian iseng ngecek satu cerita dari penulis yang sama, kali ini genrenya teen fiction dan baru baca beberapa paragraf, kepala saya langsung pusing. Ini bukan gejala manja atau alergi, bukan. Cuma, saya nggak liat apa yang spesial dari beberapa paragraf itu karena baca sinopsisnya pun, saya udah bisa nebak ke mana jalan ceritanya. Tipikal kisah remaja yang selalu dipertontonkan di film atau serial televisi Amerika, apalagi sang penulis sepertinya selalu menggunakan Amerika sebagai latar belakang. Apakah dia merujuk pada film/serial televisi yang ditontonnya atau melakukan riset, saya kurang tahu.

Siapa pun juga tahu (err, maybe not everyone, but most people, anyway) kalau selera adalah hal yang sangat subjektif. Dan buat penulis, selera adalah sesuatu yang nggak bisa kita kontrol. Kecuali, kalau alasan yang bikin kita menulis adalah keinginan menjadi terkenal/populer. Jika itu alasannya, maka akan ada tendensi tulisan kita tidak akan jauh dari apa yang sedang hit, apa yang lagi current, dan dalam dunia Wattpad, yang lagi in adalah tentang CEO dan bad boy. Mind you, saya nggak pernah keberatan dengan cerita seperti itu, lagipula, udah banyak banget cerita dengan karakter kayak gitu bahkan sebelum Wattpad booming. Cuma, yang sepertinya dilupakan, CEO itu posisi paling tinggi di sebuah perusahaan (koreksi saya kalau misalnya salah) dan dengan posisi seperti itu, tanggung jawabnya juga pasti besar, harus pinter, harus punya kreativitas yang mumpuni, pekerja keras, dan dia nggak akan mungkin jadi CEO tanpa sifat kepemimpinan yang baik. Dan nggak semua CEO bertampan bak foto model (okay, I think I’m going to blame Fifty Shades for starting the trend, hahaha) bahkan mungkin persentasenya cuma sedikit. Tapi kebanyakan orang berpikir, fiksi adalah sesuatu yang nggak nyata, jadi sah-sah aja. Apakah salah definisi itu? Nope. Sama sekali nggak salah. Saya juga nggak akan berargumen tentang itu. Kalaupun one day ada kisah CEO/bad boy yang menarik hati saya, pastilah cerita itu punya nilai jual yang berbeda. Berbeda dalam pandangan subjektif saya adalah realistis. CEO digambarkan sebagai orang super sibuk, terobsesi dengan pekerjaannya, mungkin latar belakang kehidupannya yang membuatnya jadi apatis, anything that makes him (or HER! Kenapa sih nggak ada yang bikin CEO wanita? Memangnya CEO cowok semua? Puhlease) human being. Atau justru versi komedi CEO, kayak My Stupid Boss gitu. Nggak CEO juga sih, cuma jatuhnya jadi lucu luar biasa. Please, bikin dong CEO komedi kalau ada yang bisa. Lagipula, psikologi manusia itu sesuatu yang kompleks. Nggak mungkin kan orang yang satu dengan yang lain punya kisah yang mirip 100%? Persamaan mungkin ada, tapi kalau sama persis, I don’t think so. Nah, cerita CEO dan bad boy di Wattpad ini, rata-rata punya sejarah hidup yang mirip-mirip. Emangnya janjian ya bikin ceritanya?

Anyway, balik lagi perkara selera sih, sesuatu yang bisa jadi bahan diskusi, tapi saya takutnya nggak akan ada titik temu, karena itu tadi, selera adalah hal yang sangat subjektif. Seperti orang cakep atau cantik, sifatnya sangat subjektif. Cuma, saya kadang nanya ke diri sendiri, sebenernya kalau ada yang perlu dikasihani, itu yang nulis atau yang baca? Dua-duanya menurut saya punya porsi tanggung jawab masing-masing. Yang nulis, kalau misalnya nulisnya asal (asal ganteng, asal kaya, tanpa dilandasi riset yang mumpuni) maka ada kemungkinan dia ngasih info yang menyesatkan bagi pembaca (jadi ingat dulu pernah denger cerita mengenai kapal yang muat 1 juta orang dan juga cerita tentang pergi ke Jerman dari Batam naik yacht tanpa paspor dan sampai dengan selamat di Jerman tanpa ditangkap otoritas kelautan) Buat saya, itu menyesatkan pembaca sih. Mereka akan beranggapan pergi ke luar negeri semudah itu. FYI, pergi ke Eropa itu ribet, seenggaknya buat orang biasa. Jangankan orang biasa, Perdana Menteri dan Diplomat aja masih butuh paspor kok. Ngurus visa juga nggak bisa sejam jadi. Pengalaman saya pas mau ke Italia dulu, dua minggu. Kalaupun sekarang lebih cepet, nggak mungkin satu jam jadi.

Sedangkan bagi yang baca, kalau misalnya mereka nelan mentah-mentah definisi fiksi adalah kisah yang memang nggak nyata dan nggak mungkin kejadian di kehidupan nyata, maka dia secara nggak langsung membenarkan apa yang ditulis oleh penulis dan menganggapnya sebagai hal yang wajar. See? Dua-duanya punya korelasi yang susah buat dipisahkan.

Dalam pandangan pribadi saya, penulis yang menulis karena ngikut tren, akan susah bertahan lama. Mereka nggak punya landasan yang kuat karena cuma nulis berdasarkan apa yang sedang digemari. Ketika yang sedang digemari itu udah jadi basi, mereka akan nulis lagi apa yang ikut tren. Tapi, apa yang bakal mereka lakuin kalau nggak bisa ngikutin tren? They’ll fade. Mereka akan kalah dengan penulis-penulis yang punya akar dan landasan kuat.

Saya sendiri, sejak awal nulis Best Man 6 tahun lalu, memutuskan buat nulis karena satu alasan: nggak bisa nemu cerita gay yang saya suka karena sebagian besar cuma bermuatan nafsu, tanpa ada alur yang mampu memikat saya. Dengan kata lain, hampir semua yang saya temukan cuma mengandalkan seks. Dasar saya orangnya hopeless romantic, jadinya cerita seperti itu bikin saya cukup gerah. Then, I wrote Best Man simply because I’m sick and tired of reading the same story. Alasan saya cuma itu. Kemudian, mengunggahnya di Gay Indonesia Forum buat dibaca banyak orang adalah keputusan yang mengubah hidup saya. Respon atas Best Man, komentar-komentar yang saya dapet, bener-bener nggak saya sangka. It overwhelmed me. Dan kebosanan saya akan adegan seks yang menjadi menu utama cerita-cerita yang sebelumnya saya baca, bikin saya nggak mau memasukkan adegan yang terlalu eksplisit di cerita-cerita yang saya tulis. Saya nggak anti dengan adegan seks dalam cerita, tapi, asalkan adegan itu punya pengaruh dengan alur, maka saya nggak akan keberatan. Dan saya juga nggak pinter nulis adegan seperti itu. It’s hard, really hard! Kalaupun saya memasukkan adegan seks dalam cerita, saya maunya tetap elegan, yang nggak akan ngundang nafsu yang baca, tapi … susah banget! Again, saya nggak anti, cuma adegan seks nggak punya signifikasi apa-apa dalam cerita saya, makanya saya menghindarinya. In a way, lama-lama, itu jadi semacam prinsip. Saya pengennya, orang yang baca cerita saya akan tahu, bahwa nggak semua cerita gay harus berisikan adegan seks buat jadi menarik. Cuma itu. Apakah saya sukses atau nggak? I don’t have the capacity to answer that. Makanya, saya kadang bingung sekaligus agak sebel tiap kali ada yang nanya ‘Ini yang uke siapa, yang seme siapa?’ karena buat saya, it’s not important. Apakah posisi seksual menentukan sikap seseorang? Apakah dengan tahu siapa yang aktif dan pasif dalam hubungan badan, seluruh struktur ceritanya akan berubah? Nggak kan? Apakah karena ini cerita gay, jadi WAJIB ada yang pasif dan aktif di atas ranjang? Gimana kalau memang satu pasangan memutuskan buat nggak having sex at all? Gore Vidal nggak punya hubungan secara seksual dengan partnernya selama puluhan tahu kok, karena seks bukan segalanya dalam sebuah hubungan. Penting, tapi bukan hal yang terpenting. Dan itu juga yang ingin saya tegaskan dalam cerita-cerita saya. Faktanya, memang nggak semua gay couple melakukan seks. Memang kalian bisa menjamin, pasangan straight yang menikah pasti berhubungan seks? Nggak juga kan? (kecuali kalian liat dengan mata kalian sendiri) So, coba pahami dan aplikasikan pertanyaan yang sama terhadap gay couple. Yang beredar selama ini, menurut saya, hanyalah asumsi.

Mungkin banyak yang nanya (atau yang nggak berani nanya) kenapa saya milih tema yang justru nggak populer di Indonesia, yang kesempatannya kecil buat diterbitkan oleh penerbit major, yang bahkan dengan embel-embel gay themed story udah bikin orang kabur duluan (okay, that’s probably lebay, hahahaha)? Jawabannya sederhana banget: ini panggilan saya. It’s what my heart wants to write, it’s what makes me happy, and it’s what makes me feel proud for who I am as a person. Saya nggak pernah nulis buat memuaskan pembaca. Saya selalu nulis buat memuaskan ego saya sendiri. Buktinya, saya hampir jarang nurutin maunya pembaca (bikin happy ending, bikin Levi jadian dengan Glenn, atau bikin Satya jadian dengan Lukas) hahahaha. Kenapa? Karena kalau nurutin maunya pembaca, saya akan punya beban, dan kalau udah jadi beban, saya nggak yakin bisa nulis dengan baik. Saya udah janji akan nulis KLB #2, tapi sampai sekarang, saya bahkan belum nulis sama sekali. Kenapa? Karena sekali-kali, saya ingin menuruti keinginan pembaca, tapi jatuhnya malah belum saya tulis juga. I’m so sorry. Tapi, janji adalah janji, dan saya berusaha menepatinya. Just be patient, okay? Sabar ya? Hahahaha.

Atau mungkin memang sayanya aja yang terlalu idealis.

Munafik kalau saya bilang nggak pengen punya buku yang nampang di toko buku. That’s every writer’s dream. Dan itu juga mimpi saya. Cuma, kalau saya harus menjual idealisme, mengubah cerita saya menjadi less-gay, mematikan salah satu karakternya karena gay masih dianggap sebagai hal tabu dan nggak normal, then, saya lebih baik nggak punya buku aja. Mungkin kesannya egois dan keras kepala banget, tapi saya nggak bisa. I just can’t. Industri percetakan adalah bisnis, mereka hanya menerbitkan buku yang akan memberikan keuntungan, dan cerita bertema gay jelas punya risiko lebih besar untuk nggak meraup untung, jadi kenapa harus nerbitin buku bertema gay? Saya bicara industri percetakan di Indonesia ya, karena di luar, queer fiction udah punya tempat. Itu pola pikir goblok saya, sih. Dan mungkin juga kondisi sosial di Indonesia yang masih belum bisa menerima LGBTQ, punya andil atas keputusan penerbit untuk menganaktirikan naskah-naska bertema gay.

Saya nggak anti juga nulis cerita straight, lagipula, sebelum dulu terjun bebas nulis gay themed, saya juga nulis straight story. Kalaupun akhirnya saya nulis cerita di luar gay themed yang biasa saya tulis, itu saya lakukan sebagai cara menantang diri sebagai penulis. Nothing else. Nggak buat terkenal, buat diterbitkan, apalagi sampai ngejar million views/votes. Nope. Mungkin banyak yang berpendapat, apa sih bedanya? Toh tulisan pun nggak dibedakan berdasarkan sexual preference. Kalau kata Kincir, it’s not even a genre. Namun, buat saya pribadi, beda sih. Keduanya punya cara penyampaian yang nggak sama, punya tone yang beda, … pokoknya beda aja. Bisa jadi ini karena kemampuan menulis saya yang masih belum apa-apa sampai ngerasanya beda antara nulis straight dan gay themed, atau memang keegoisan serta kekeraskepalaan saya yang menjadikan keduanya berbeda. Yang pasti, saya salut dengan siapa pun yang bisa menulis berbagai jenis genre, baik itu queer atau straight karena saya belum sampai pada tahap kemampuan yang mumpuni buat itu.

Beberapa penulis yang karya-karyanya hampir selalu (atau semua karya mereka) punya karakter gay atau punya tendensi ke gay themed, adalah pahlawan saya. My literary heroes. Dan kebanyakan dari mereka pun adalah gay di kehidupan nyata. David Levithan is my biggest literary hero. Meski saya nggak nulis YA, tapi dia itu jadi inspirasi dan alasan kenapa saya milih buat fokus di gay themed. Nggak semua cerita dia bertema gay, by the way. Kemudian ada Bill Konigsberg, yang 4 bukunya semuanya bertema gay; Patrick Gale; Colm Tóibín, dan beberapa penulis yang bukunya jadi favorit saya dan mereka juga gay di kehidupan nyata. Mungkin ada yang mencibir atau berpikir saya cuma mengidolakan mereka karena sexual preference mereka, in a way, that’s not wrong. Tapi, fakta bahwa mereka gay dan menulis cerita bertema gay, diterbitkan, bahkan nggak jarang mereka menang penghargaan di dunia literasi (contohnya The Master by Colm Tóibín menang Man Booker Prize tahun 2004 dan salah satu buku favorit saya) bikin saya semakin yakin dan nggak nyesel memilih fokus ke cerita bertema gay. It may not give me fortune, fame, or being published, but as long as I’m being true to myself, then I’m okay.

Mungkin kontradiktif antara keinginan saya buat diterbitkan dan idealisme yang saya pilih, karena keduanya nggak akan pernah bertemu, tapi nggak ada salahnya kan punya harapan, sekalipun kecil? Jadi, kalau ke depan ada ranting-an saya yang frustasi karena cerita yang lebih bagus justru kalah dengan cerita yang gitu-gitu aja, it’ll be just my way of letting go of my steam, hahahaha. Dan jangan dianggap serius juga kalau saya bilang pengen berhenti nulis, seenggaknya pas saya bikin ranting-an itu. Kalau ada setahun nggak ada cerita dari saya, baru boleh kalian anggep serius. Saya nggak bisa misahin diri dari nulis, jadi kalau suatu saat saya berhenti, pasti ada alasan sangat kuat yang melandasinya.

Anyway, segitu aja opini saya kali ini (yep, lebih dari 2000 kata, huahaha) random ya? Hahahaha. Maafkan. Dan terima kasih yang udah mau baca sampai kata terakhir, dan semoga kalian nggak ngebuang waktu setelah baca ini. That’s all.

Have a great mid-week, peeps!

ABI

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro