Kopi
Menutup buku puisi yang baru saja selesai kubaca, cangkir kopi yang menemaniku sejak sore kini telah kehilangan uapnya, menyisakan kekosongan yang tak dapat diisi.
Langit malam kini mulai datang, bintang mulai beradu cahaya dengan lampu-lampu jalan dan toko. Kuharap Jakarta tidak berubah menjadi kota yang tak pernah tidur.
Kutatap cangkir yang telah kosong, aku mendekatkannya dengan hidungku berusaha untuk menemukan aroma kopi yang mungkin masih tertinggal dan belum masuk ke dalam perutku.
Namun yang kutemukan hanyalah halusinasi, tentang masa lalu.
***
Aku menopang dagu, ini sudah hari kelima namun tugasku belum selesai-selesai. Sambil menggigit pulpen aku berusaha untuk berkosentrasi.
"Brum!"
"Whoa!"
Fajar menepuk punggungku membuatku terkejut bukan main, dasar! Pulpen yang kugigit terjatuh dan menggelinding di bawah bangku.
"Apa pulpen jadi cemilan barumu sekarang?" tanya Fajar sambil senyam-senyum dan duduk di sampingku.
"Aku mau menyelesaikan tugas, jangan ganggu!" ucapku sambil mendorongnya menjauh.
Namun tubuhnya masih tetap melekat di posisinya, malahan beberapa mahasiswa melihat kearah kami dengan berbagai pandangan aneh, jadi aku berhenti mendorongnya.
Aku pun memilih untuk mengambil kembali pulpenku, ternyata taman belakang kampus bukan tempat yang cocok untuk mendapat inspirasi dan menghindar dari cowok jangkung ini.
"Jangan marah donk, sorry okay?" ucapnya
"Hm..."
"Sedang buat apa?"
"Tugas sajak."
Fajar lalu menarik tanganku, "Kau pasti butuh udara segar, ikut aku!"
Karena aku kehabisan energi, jadi aku mengikuti langkahnya. Tidak ingin membuang lebihb banyak tenaga untuk sekedar membalas perkataannya.
Rupanya, Fajar mengajakku kembali ke kedai kopi dekat kampus, yang tampak ramai. Mungkin karena sudah menjelang sore dan banyak kelas yang sudah selesai.
"Kopi lagi?" keluhku, kembali mengingat rasa pahit yang menyapa lidahku.
"Tenang saja, kali ini nggak akan sepahit kemarin," bujuk Fajar
"Hm... terserah...." Gumamku
Pelayan datang ke meja kami, aku membiarkan Fajar yang menentukan pesanan kami toh, aku bukan langganan di kedai ini dan tenagaku kali ini kufokuskan untuk membuat sajak.
Segelas espresso macchiato dingin tersedia di depanku sedangkan secangkir kopi hitam tersedia di depan Fajar.
"Kenapa harus kopi lagi?" tanyaku pada Fajar, melirik cowok itu yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya "apa setiap sastrawan harus menyukai kopi?"
Fajar lalu melirikku lalu terkekeh, "Gak tau juga,"
Aku cemberut, Fajar melanjutkan ucapannya, "Kurasa kopi punya nilai tersendiri bagi tiap orang, dan bagi seniman kata-seperti kita, kopi punya nilai fisolofinya sendiri."
***
Aku tidak ingat kapan pertama kali aku menyukai kopi-minuman yang terasa pahit namun tetap menjadi favorit bagi setiap orang. Namun aku selalu menyempatkan diri untuk bersantai dengan secangkir kopi, entah itu di café-café atau warung kecil dekat rumah.
Buku kecil itu selalu ada di genggamanku, setiap hari kupelajari tiap kata dan kalimat yang tertoreh. Sebagai seorang novelis muda aku harus banyak belajar, terutama dalam pembendaharaan kata. Meski sampai saat ini, hatiku selalu berantakan tiap membacanya.
***
Hari ini aku berkunjung ke rumah Fajar-sambil menenteng dua buah tas besar yang berisi pesanan kue bolu untuk ibunya. Namun yang kutemukan di depan pintu rumah adalah Fajar yang tampak berantakan, dengan wajah dan baju yang kotor karena bubuk kopi.
Sebenarnya aku tidak ingin berlama-lama disana, namun Fajar keburu menarikku masuk ke dalam, menuju dapur dan memperlihatkan usaha kerasnya.
"Sebenarnya Fajar, cita-citamu jadi barista atau seorang ahli sastra Inggris?"
Fajar hanya cengar-cengir, "Hobi," sahutnya
Secangkir kopi dengan hiasan krim berbentuk mawar berada di hadapanku. Aku duduk di meja makan dengan Fajar yang berada di sampingku.
Aku rasa Fajar sepertinya kesambet sesuatu setelah menonton film filosifi kopi di bioskop seminggu yang lalu. Tapi kurasa dia cukup berbakat dan pintar-maksudku sebagai orang yang tidak terlatih dan berkecimpung di dunia barista-selain minum kopi, ia dapat membentuk hiasan mawar ini dengan cantik.
"Aku akan mencobanya," kataku, Fajar tampak tegang dan menatapku penuh harap saat menyesap kopi itu.
***
Pagi hari di akhir pekan, aku menghabiskan waktu di dapur sambil mengaduk secangkir kopi. Entah apa yang merasukiku, tiba-tiba saja ku ingin minum kopi dengan banyak krim.
Aromanya pun menguar dan membuat dadaku sesak penuh rindu. Sembari melihat kearah jendela yang menampakkan matahari yang mulai terbit, aku menyesapi rasa ini lebih dalam.
***
"Ini pertama kalinya aku mencoba kopi tubruk, dan enak sekali!"
Aku dan Fajar baru saja pulang dari sebuah warung kopi yang direkomendasikan oleh Batu sahabat seperguruan kami di UKM basket, dan harus aku akui rekomendasi dari seorang pecinta kopi sejati memang selalu tepat.
"Tapi aku lebih suka kopi dengan krim dan es dingin," sahutku
Yah... bersahabat dengan seorang manik kopi bisa membuatmu juga ketularan dengan kopi, meski beda selera.
Saat kami tiba di halte, tiba-tiba saja orang-orang berteriak. Aku dan Fajar yang asik mengobrol tentang Miss Maple tokoh fiksi milik Agatha, langsung menoleh.
Jantungku langsung berdebar kencang saat melihat truk besar itu melaju cepat kearah halte. Tiba-tiba saja Fajar sudah memelukku erat dan aku dapat merasakan tubuh kami yang terpelanting dan membentur sesuatu. Semuanya terjadi dengan begitu cepat hingga kesadaranku menghilang.
***
"... Pertemuan kita adalah anugrah, dan aku sangat mensyukurinya
Lalu kusadari bahwa engkau berubah menjadi candu bagiku, bagi hatiku
Jatuh cinta padamu adalah hal terindah bagiku."
Aku tersenyum membaca kalimat terakhir dari buku favoritku, tulisannya masih saja buruk namun entah kenapa aku bisa membacanya.
Sambil menyesap kopi yang selalu mengantarku pada sejuta perasaan dalam rasa yang begitu pahit. Aku memandang pada kursi di hadapanku yang kini telah kosong.
Funny fact : kalian gak tau nama tokoh utama,
another fact : cerpen ini seharusnya diikutsertakan dalam lomba shortstory yang diadakan oleh ghibahwriters. Namun karena unsur utamanya malah kopi (minuman) bukannya makanan maka unsur kopi di cerpen ini diganti menjadi donat.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro