[9] Perhatian Prata
Jika laki-laki lain bisa mencintaiku dengan tulus, tak bisakah kau melakukan hal yang sama?
Hangat matahari pagi yang memaksa masuk menembus kaca jendela, mengusik pulas tidur Shely. Matanya mulai terbuka pelan-pelan. Mata yang tadinya terasa begitu berat, seketika membulat sempurna begitu menemukan wajah pulas Surya yang menempel tepat di tepi ranjangnya, berada hampir tepat di depan wajahnya begitu ia menoleh.
Surya ngapain di sini? Apa semalaman dia jagain aku?
Shely menatap Surya agak iba. Bagaimana bisa Surya tidur dengan posisi duduk seperti itu, hanya wajahnya saja yang menyentuh empuknya kasur. Mengapa ia tak tidur di kamarnya saja dengan lebih nyaman ketimbang malah menjaganya di sini. Tanpa sadar, matanya kian lekat meneliti setiap inci wajah Surya. Dalam keadaan terlelap begini saja, bagaimana bisa wajahnya tetap terlihat nyaris sempurna. Terlebih lagi wajahnya kini tampak begitu polos. Kian menggemaskan saja bila dilihat berlama-lama.
Tiba-tiba tangan Surya bergerak menggosok matanya seraya menguap begitu lebarnya. Shely mendadak begitu panik, tak tahu harus berbuat apa. Cepat-cepat ia kembali menutup mata, berpura-pura seakan ia masih tertidur pulas.
Surya membuka mata pada akhirnya dan menemukan Shely yang masih tampak samar-samar di penglihatannya. Ia lagi-lagi mengucek matanya dan kembali menjatuhkan tatapannya pada Shely. Ia meletakkan punggung tangannya di atas dahi Shely, cemas ingin mengetahui bagaimana kondisi Shely saat ini. Masih terasa hangat, namun lebih baik dari kemarin. Ia menarik selimut Shely hingga menutupi lehernya. Entah apa yang membuatnya jadi secemas ini pada cewek aneh itu, ia juga tak tahu. Ia hanya menjalankan apa yang terbesit dalam hatinya. Dan memastikan agar Shely tetap baik-baik saja, hal itu pernah melintas begitu saja dalam benaknya.
Mengingat ini hari Senin, buru-buru Surya memutuskan keluar dari kamar Shely, bergegas siap-siap untuk kembali bersekolah. Sementara Shely, seketika membuka sebelah matanya penuh hati-hati, memastikan bahwa Surya benar-benar telah pergi. Napas lega yang tertahan terhela begitu saja mengetahui aksi pura-puranya tadi tak tertangkap basah juga.
***
Shely mendengus pelan. Menyendiri dalam kamar tanpa melakukan apapun, rasa bosan mencekiknya betul saat ini. Seperti sekarang, ada kalanya ia juga tak memahami dirinya sendiri. Jika bersekolah, ia terus mengeluhkan betapa lekas-lekas ia ingin beristirahat dari penatnya beban sekolah yang membosankan. Namun, begitu ia diberi kesempatan untuk terus beristirahat di atas kasur empuk, nyatanya ini sama membosankannya.
Matanya beralih menatap tepi kasurnya, tepat di mana tadi wajah Surya terlelap begitu pulasnya. Tiba-tiba bayang Surya kembali berada di tempat itu. Tiap inci wajah Surya tersimpan begitu jelas di sudut-sudut ingatannya. Mengingat hal itu kembali, ia malah cengar-cengir geli sendiri.
Dering ponsel Shely, menghentikan girangnya. Sebuah pesan masuk. Dengan cepat ia meraih ponselnya dan membaca pesan yang ternyata dari Nila.
Nila: Oiiii, kenapa enggak muncul-muncul Pak Dono udah masuk kelas nih.
Shely: Aku lagi sakit nih, enggak bisa masuk ke sekolah. Masih lemes banget, pengen pingsan deh rasanya.
Nila: Lebay deh. Eh tapi, kenapa Surya tiba-tiba dateng ke kelas kita, Shel?
Shely: Serius? Ngapain dia?
Nila: Enggak tahu tuh. Yang aku lihat sih, dia lagi bicara sama Pak Dono.
Shely: Buat apa yah?
Nila: Mana aku tahu. Eh, dia ngasih surat. Jangan-jangan, Surya ngasih surat cinta lagi buat Pak Dono. Ya ampun!
Shely: Dasar! Enggak mungkin lah. Surya juga normal kali.
Nila: Cieeee yang ngebelain. Cieeee yang paling tahu Surya. Jadi cemburu deh aku.
Shely: Apaan sih! Ngomong ngaur lagi, awas yah!
Nila: Takuuuuut! Surya, tolong!
Shely: Dah gila nih anak! Tabok online nih!
Nila: Ampun deh, ampun. Ngomong-ngomong, tadi Surya ternyata bawain surat izin kalau kamu lagi sakit. Tenang aja, itu bukan surat cinta kok. Jadi, enggak usah cemburu sama Pak Dono yah! Hehe.
Shely: Nih anak otaknya minta digeser yah?
Nila: Nggak usah geser otak aku dulu. Geser aja dulu hatinya Surya. Hihi.
Shely: Ginjal kamu boleh aku geser enggak, Nil?
Nila: Atuuuuut!!!
Tak mau berlarut-larut, cepat-cepat Shely meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Karena Nila, pikirannya seketika kembali terasa berat. Bagaimana bisa Nila bisa menebak tepat apa yang ia dirasakannya? Ia memang menyukai Surya. Tapi, apa itu tampak begitu jelas? Kalau Nila bisa melihat itu, apa Surya juga melihat hal yang sama?
Ia mengacak-acak rambutnya frustrasi. Berpikir keras seperti ini, itu benar-benar bukan dirinya. Tak ingin ambil pusing, ia kembali menutup matanya rapat-rapat. Mengosongkan pikirannya dan tak butuh waktu lama untuknya terlelap lagi dengan posisi tidur andalannya. Gaya terlentang dengan mulut terbuka lebar.
***
Suara ketukan pintu berkali-kali memaksa Shely membuka matanya. Ia menguap seraya mengucek-ngucek matanya lemas. Entah siapa yang telah berani menganggu waktu istirahatnya yang sakral ini. Siapapun dia, orang itu benar-benar mengganggu.
"Siapa?" jerit Shely dengan serak khas orang baru bangun.
"Cewek tercantik sejagat raya," sahut orang itu melengking.
Shely memutar kedua bola matanya begitu mengenali betul pemilik suara cempreng khas itu, siapa lagi kalau bukan Nila. "Masuk aja! Enggak kekunci kok."
"Oke. Inces masuk yah." Langsung saja Nila membuka pintu dan menampakkan dirinya juga senyum girangnya.
Mata Shely membulat bahagia. Bukan karena melihat sahabatnya itu. Tapi begitu melihat apa yang ada di genggamannya. Sekotak piza dengan ukuran sedang. Sahabatnya itu benar-benar tahu apa yang dibutuhkannya. "Ya ampun, Nil. Enggak usah repot-repot. Tahu bener sih kalau aku lagi laper."
Nila menarik kursi menuju samping ranjang Shely. Ia duduk, menatap Shely lurus dengan raut tak terbaca, membuat firasat Shely mendadak buruk. "Shel, sebenernya ini bukan piza dari aku," lirihnya.
Shely mengernyit penasaran. "Lah, terus dari siapa?"
"Dari Kak Prata," sahut Nila yang seketika membuat mata Shely membulat sempurna.
"Kok bisa? Terus, buat apa dia ngasih aku kayak gini?" tanya Shely yang masih tak percaya. Bagaimana tidak, dia ketemu Prata baru sekali. Hubungan mereka tak seakrab untuk saling memberi seperti ini. Apa yang sebenarnya ada dipikirkan Prata hingga membuatnya merasa tak nyaman seperti sekarang.
Nila menggaruk tengkuknya, ikut bingung. "Yah, mana aku tahu. Cuma, pas keluar main Kak Prata masuk gitu aja dalam kelas nyari-nyariin kamu. Aku jelasin deh kalau kamu tuh lagi sakit. Eh, enggak tahu kenapa pas pulang sekolah dia malah nyamperin aku terus nitip piza ini buat kamu," terangnya.
"Tapi, buat apa coba? Temen juga bukan. Ngapain sih dia kayak gini? Harusnya enggak usah diterima, Nil." Shely menyandarkan punggungnya lesu, benar-benar merasa terbebani.
"Rezeki enggak boleh ditolak, Shel. Lagian, seingat aku Kak Prata tuh bukan orang gampangan loh ngasih-ngasih sesuatu buat cewek. Aku kaget juga sih, pas dia nitip buat ngasih ini ke kamu. Aku kira kamu udah ada hubungan spesial sama dia."
"Hubungan spesial?" pekik Shely begitu tak terima. "Ya ampun Nil, enggak mungkin banget kali. Dia tuh bukan tipe aku. Dan lebih-lebih aku yang juga pasti bukan tipe dia. Kakak kelas kita yang cantik-cantik 'kan banyak yang suka sama Kak Prata. Enggak mungkin bangetlah kalau dia malah kecantol sama cewek biasa kayak aku."
Nila mengangguk setuju. "Iya juga sih. Daripada kamu, aku juga masih mendingan, 'kan?" guraunya, menyibak rambut sok cantik, membuat Shely seketika menatapnya tanpa ekspresi.
"Iya deh, iya. Jadi maksudnya, daripada Kak Prata suka sama aku, mending dia sukanya sama kamu aja nih?" goda Shely diiringi seringai jail.
"Bukan gitu maksudnya. Emang sih Kak Prata itu ganteng, bad boy, populer, tapi dia juga bukan tipe aku." Nila memberi jeda sebentar. "Kecuali sih kalau dia mau sama aku, aku sih yes," lanjutnya cengengesan.
"Tuh, 'kan bener. Kamu suka sama Kak Prata."
Nila menghela napas, manatap Shely pasrah. "Aku 'kan udah bilang, Shel. Dia juga bukan tipe aku."
"Tapi kalau dia mau, kamu juga mau, 'kan?"
"Bercanda doang, Shel. Enggak bisa diajak bercanda nih, hidupnya serius amat."
Bukannya percaya, sudut bibir Shely malah kian tertarik ke atas. "Enggak usah malu kali, Nil. Aduh, aku jadi ngerasa enggak enak nih sama kamu. Harusnya 'kan yang dikasih piza ini kamu bukannya aku," ujarnya, memasang raut pura-pura bersalah.
"Idih. Pinter banget nih ngebolak-balikin fakta. Kalau kamu masih nganggap itu serius, aku bakal teriak sekarang yah kalau kamu sebenarnya suka sama Surya!"
"Ngomongin apaan nih? Kok nama aku disebut-sebut?" Cepat-cepat Shely dan Nila seketika menoleh ke arah sumber suara yang membuat keduanya mendadak kompak bergeming di tempat.
Tepat di depan pintu kamar Shely, Surya menatap keduanya lurus, dengan simpul senyum yang tak dapat diterjemahkan.
#dirumahaja yah, rebahan sambil baca wattpad wkwk. Stay safe kawan-kawan. Semoga kita semua selalu terlindungi 💛
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro