[8] Perhatian Surya
Terkadang tingkahmu membuatku merasa bahwa seolah-olah kamu menyukaiku, namun aku kembali tersadar, bahwa itu hanya seolah-olah saja.
Pekat malam membawa sejuk menyapu kulit hingga menusuk ke pori-pori. Shely menarik selimutnya hingga ke atas leher. Ia menggigil, suhu tubuhnya terasa panas. Karena itu, ia memutuskan untuk beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil jaket dari lemari pakaiannya untuk pergi membeli obat yang dapat menurunkan suhu tubuhnya itu. Ia berjalan lesu keluar dari kamarnya. Baru saja ia memegang hendel pintu untuk keluar dari rumah, tiba-tiba suara seseorang yang memanggilnya membuat gerakannya terhenti seketika.
"Shel! Kamu mau ke mana malam-malam gini?" tanya Surya yang baru saja turun dari tangga.
Shely berbalik. "Aku mau pergi beli obat Sur," sahutnya lemas.
"Tunggu!" Surya berjalan mendekati Shely dan menatapnya semakin lekat. "Muka kamu kok pucat banget? Kamu sakit yah?" tanyanya, menempelkan punggung tangannya begitu saja pada dahi Shely.
Sontak Shely menahan napas seraya mengerjap-ngerjap. Melihat jelas raut cemas Surya dari sedekat ini dari wajahnya, ini kali pertama untuknya. Degup jantungnya lagi-lagi dibuat menggila hanya karena hal-hal kecil yang tak terduga itu.
"Aku enggak apa-apa kok. Cuma, demam dikit doang," ucapnya agak gugup.
Surya menurunkan tangannya dari dahi Shely. "Ya udah, kamu istirahat sana dalam kamar! Aku aja yang pergi beliin kamu obat." Tepat setelah mengatakan itu, ia berlalu begitu saja melewati Shely, bergegas keluar dari rumah tanpa basa-basi lagi.
Shely mengulum senyum sembari melangkahkan kaki menuju kamarnya. Ia kembali membenamkan kepalanya di atas kasur empuk. Seketika saja memorinya kembali mengulang bagaimana saat Surya menempelkan punggung tangannya tepat di dahinya. Seulas simpul senyum merekah begitu saja di bibirnya. Tak dapat ia pungkiri, menatap Surya dari jarak sedekat itu hanya membuatnya kian menjatuhkan diri semakin dalam saja.
Pintu kamar Shely terbuka tiba-tiba, membuyarkan lamunannya seketika. "Nih, obat kamu." Surya menyodorkan kantong plastik berisi obat. Tak lupa pula ia membawakan segelas air putih untuk Shely.
Susah payah Shely mengangkat punggungnya berusaha bersandar. Ia meraih kantong dari tangan Surya tersebut lalu mengambil obatnya. Baru saja ia hendak membuka bungkus obatnya, namun gerakannya seketika terhenti begitu Surya tiba-tiba saja mencekal pergelangan tangannya.
"Jangan diminum dulu! Kamu udah makan belum?" tanya Surya memastikan.
Shely menggeleng kecil. "Belum sih."
Surya menghela napas pendek. "Kamu tunggu di sini yah! aku buatin kamu makanan dulu."
"Emangnya kamu bisa masak?" tanya Shely spontan. Bagaimana tidak, masuk dapur saja Surya jarang, bagaimana bisa ia menawarkan diri untuk membuatkannya makanan.
"Ya bisalah. Kamu jangan ngeremehin aku yah! Liat aja bentar, jangan terpukau kalau masakan aku enak yah!" sahutnya percaya diri.
Shely mengangkat sebelah alisnya, menantang. "Ya udah, kalau gitu buktiin yah!"
"Oke," timpal Surya tanpa beban. Tanpa buang-buang waktu, lekas-lekas ia melangkahkan kakinya menuju dapur.
Shely menggeleng-geleng kecil seraya kembali ingin merebahkan dirinya di atas kasur. Namun, belum sempurna kepalanya menyentuh bantal, nyaring bunyi panci yang terpelanting keras, berhasil membuatnya kembali mengangkat punggungnya seketika. Entah pertempuran apa yang dilakukan Surya di dalam sana. Semoga saja para tetangga tak sama terkejutnya dengan dirinya karena ulah Surya barusan.
Shely menggigit bibirnya mulai cemas. "Surya! Kalau kamu emang enggak bisa masak, enggak usah dipaksain," ujarnya setengah berteriak.
"Tenang aja, cuma kesalahan teknis doang kok tadi," sahut Surya setengah berteriak pula.
Shely akhirnya kembali berbaring, memutuskan pasrah saja menunggu hasil masakan Surya meski harap-harap cemas. Sebetulnya ingin sekali rasanya ia mendatangi Surya dan memintanya untuk berhenti, tak usah repot-repot. Namun, memikirkan usaha Surya yang sudah sebaik itu ingin membantunya, maka rasa-rasanya tak etis jika ia malah menolak kebaikan Surya itu semau-maunya saja.
Orang yang sedari tadi ditunggu-tunggu akhirnya menampakkan diri juga. Dengan langkah mantap Surya memasuki kamar Shely dengan semangkuk makanan yang digenggamnya penuh percaya diri.
"Nah, ini dia. Masakan spesial dari chef Surya," ucapnya penuh semangat sembari meletakkan hati-hati mangkuk tersebut di atas meja yang berada tepat di samping ranjang Shely.
Shely mengernyit tak puas tepat ketika melirik apa yang disajikan oleh Surya. "Mi? Aku kirain tadinya kamu buatin aku sup atau bubur. Ternyata mi doang," ucapnya meremehkan, membuat Surya seketika memasang raut tak terima.
"Kamu jangan bilang ini mi doang yah, ini tuh mi spesial tahu. Ini masakan pertama yang aku buat dan itu khusus buat kamu. Kurang spesial apalagi coba."
Shely tak berkutik lagi. Hanya samar-samar mengulum senyum mendengar pengakuan terang-terangan dari Surya barusan. Surya bilang ini masakan pertamanya? Terlebih lagi masakan pertama itu dibuat khusus untuk dirinya? Shely mati-matian menahan girang dalam hati dan berusaha menutupinya dengan raut datar. "Ya udah deh, aku rasain dulu yah. Awas aja kalau masakan kamu ini malah buat aku jadi tambah sakit!"
Sesendok mi yang baru saja hendak dicicip oleh Shely, seketika urung begitu tangannya lagi-lagi dicekal Surya tanpa permisi. "Apaan sih!" gerutunya, begitu Surya malah menarik paksa mangkuk mi itu dari genggamannya.
Surya menarik kursi dan duduk tepat di samping kasur Shely. "Aku suapin."
Shely bergeming. Entah mengapa ia jadi begitu penurut, sama sekali tak ada pikir untuk membantah. Surya memasukkan sesendok mi ke dalam mulutnya dan ia pun melahapnya begitu tenang, tak sekeras kepala seperti biasanya.
"Gimana? Enak, 'kan?" tanya Surya percaya diri, melihat Shely yang cukup lahap menikmati mi buatannya.
"Lumayanlah, masih bisa ditelan," sahut Shely dengan raut datarnya, membuat Surya seketika berdecak tak terima.
"Dasar enggak tahu diuntung!"
Meski dengan raut agak kusut, Surya kembali menyuapi Shely sesendok demi sesendok. Begitu pula Shely yang tetap saja menerima suapan itu dengan raut tenangnya. Tak ada perbincangan apapun di antara keduanya. Hening menyelimuti, namun tak mencekam. Dalam hal ini, hening di antara mereka bukanlah hening yang membuat mereka merasa canggung satu sama lain, melainkan keheningan ini tepatnya, hening yang membuat perasaan keduanya merasa jadi lebih tenang.
Surya bangkit saat mangkuk minya sudah benar-benar habis. "Aku ke dapur dulu yah. Kamu minum obat ini sendiri aja? Atau perlu aku suapin lagi?" godanya diiringi seringai jail, membuat Shely membelalak sempurna.
"Apaan sih! Pergi aja sana!" geramnya, mendorong tubuh Surya kasar, namun Surya malah kian menatapnya gemas.
"Ya udah deh, aku pergi."
Menatap kepergian Surya yang kini benar-benar telah lesap dari pandangannya. Dengan gesit, Shely merobek pembungkus obatnya lalu menelannya bersama segelas air putih. Baru saja ia hendak menutup mata ingin kembali beristirahat. Hal itu lagi-lagi mendadak urung begitu sosok Surya tiba-tiba kembali mucul membawa sebaskom air dengan handuk kecil yang disampirkan di bahunya.
Dahi Shely mengerut, tak habis pikir. "Kamu mau ngapain lagi sih?"
"Udah, enggak usah cerewet deh! Hari ini biarin aku yang ngerawat kamu dulu yah!" Belum sempat Shely menjawab, Surya mengompres handuk kecilnya begitu saja lalu pelan-pelan ia letakkan di dahi Shely.
Shely bergeming menatap sorot tulus Surya. Ada desir hangat yang tiba-tiba menjalar memenuhi perasaannya. Menemukan seseorang yang merasa cemas saat kau sedang tidak baik-baik saja, entah mengapa rasanya begitu melegakan. "Makasih yah, Sur," lirihnya agak malu-malu.
"Iya sama-sama. Nanti kalau aku juga sakit, kamu harus jagain aku kayak gini juga yah!"
"Emang kamu mau sakit?"
Surya memberi jeda sejenak, menatap Shely lurus. "Asal kamu jagain sih, gak apa-apa."
Shely mendengus tertawa membalas tatapan Surya, dongkol. "Dasar gila!"
Makasih yah bagi yang udah mau baca, jangan lupa kasih saran yang membangun juga yah! Makasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro