[7] Mengenalmu Lebih Dalam
Aku suka mengenalmu lebih. Tapi bagian terburuk dari itu ialah semakin aku mengenalimu, semakin pula aku tersadar betapa sukarnya kau 'tuk diraih, betapa sukarnya menempuh jauh jarak yang membentang jelas di antara kita.
Hari minggu. Hari yang paling ditunggu-tunggu bagi anak sekolahan, terutama bagi kaum rebahan. Sebab minggu ialah lambang kebebasan. Bebas tidur berlama-lama, bebas dari mandi pagi, bebas dari rumus-rumus pelik, bebas dari guru galak, serta masih banyak kebebasan lainnya yang bisa didapati di hari minggu.
Hari minggu ini tentunya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Shely yang senantiasa mengguling-gulingkan tubuhnya di atas kasur empuk, demi mendapatkan posisi tidur senyaman mungkin. Cahaya matahari telah bersinar terang menembus kaca-kaca jendelanya, menembus pori-pori kulitnya. Namun tetap saja, matanya masih terasa begitu berat untuk terbuka, kantuknya masih saja mendamba pulas.
Pintu kamarnya diketuk-ketuk keras, membuat Shely menggosok-gosok matanya gusar lalu membuka matanya paksa. Sialan tuh Surya! Yang ngeselin-ngeselin gini pasti kerjaannya Surya nih.
Susah payah Shely bangkit dari kasurnya hendak membuka pintu. Namun niatnya itu tiba-tiba urung ketika ia teringat sesuatu. Ia baru saja bangun, mana mungkin ia menunjukkan muka bantalnya begitu saja pada Surya. Karena itu, buru-buru ia bergegas mencuci wajahnya, mengeringkannya dengan dua lembar tisu, merapikan rambut kusutnya, lalu menatap pantulan dirinya di depan cermin, memastikan tampilan dirinya sudah lebih baik.
Cepat-cepat Shely membuka pintu. Dugaannya tepat. Orang menyebalkan itu memang betul Surya. "Kenapa sih, Sur? Gangguin orang tidur aja!" gerutu Shely, menggaruk-garuk rambutnya bertingkah seolah ia betul-betul baru saja terbangun, tanpa sempat beraktivitas apapun sebelumnya. Padahal nyatanya, ia sudah berbenah lebih dulu sebelum menemui Surya. Entah mengapa ia seakan tak ingin terlihat buruk di mata Surya, tapi juga tak ingin jika Surya sampai tahu akan hal itu. Apa yang mendorongnya bertingkah seperti itu, ia juga tak tahu. Seperti sebelum-sebelumnya, ini di luar dari kendalinya.
Surya tak menyahut. Ia menatap Shely dengan tatapan tak terbaca sembari senyum-senyum tak jelas.
"Apa?" Firasat Shely mendadak buruk.
"Lari pagi bareng yuk!" Surya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada, meminta sungguh-sungguh. "Mau yah! Males aku lari pagi sendirian. Mau bilang apa nanti orang-orang kalau liat cowok ganteng kayak aku lari paginya sendiri, cogan 'kan gak boleh kelihatan ngenes."
"Pede banget sih jadi orang."
Surya memutar bola matanya, mendengus pelan. "Cogan emang terlahir buat percaya diri, Shel. Muka-muka pas-pasan kayak kamu tuh, emang enggak mungkin ngerti."
"Bodo amat. Aku enggak mau ikut. Males."
"Jangan gitu dong! Kalau kamu ikut, aku kasih hadiah lagi deh."
Mendengar hadiah. Shely tampak berpikir sejenak. "Emang hadiahnya apa?"
"Rahasia dong. Gimana? Mau enggak? Tiga detik ke depan hadiahnya hangus nih. Dimulai dari sekarang yah, satu." Surya mulai berhitung, tak memberi Shely kesempatan untuk berpikir panjang lagi.
"Emang lari paginya di mana sih? Terus hadiahnya tuh, ciri-cirinya kayak gimana?"
"Dua." Surya mengabaikan pertanyaan Shely begitu saja. Menekankan bahwa kesempatan tiga detik ini, memang bukan main-main. "Ti-"
"Iya deh, aku mau!" potong Shely cepat, membuat Surya menyeringai sempurna.
***
Keduanya berlari-lari kecil mengelilingi tiap-tiap sudut taman. Angin pagi yang berembus segar menyapu wajah mereka yang dipenuhi cucuran keringat. Diam-diam lirikan Surya menangkap wajah Shely lamat-lamat. Wajah Shely tampak memerah terpapar langsung teriknya matahari pagi. Keringatnya mengalir deras dari pelipis. Rambutnya yang dikucir kuda terhempas ke sana- ke sini, membuat Shely tampak begitu manis bahkan di saat ia kelelahan seperti sekarang ini.
"Capek juga yah? Istirahat dulu yuk!" ajak Surya seraya menunjuk ke arah bangku taman yang kosong.
Shely mengangguk, ia juga benar merasa lelah saat ini. Sudah lama ia tak lari pagi seperti ini, maka tak heran jika ia jadi lebih gampang lelah. Tapi tak apa, lelah yang ia rasa terasa menyenangkan. Tak peduli bila bermandi peluh, tak peduli jika terik membakar kulitnya. Selama itu terasa menyenangkan, maka
semuanya bukanlah masalah.
Keduanya akhirnya duduk. Surya menyodorkan sebotol minuman dingin pada Shely. "Nih, minum dulu!"
Shely menoleh. "makasih!" jawabnya singkat, seketika meneguk sebotol air itu habis.
Surya tertawa kecil melihat Shely. "Haus banget yah?"
"Ya iyalah, udah aku habisin gini masih nanya lagi."
Surya tak menjawab, hanya menatap Shely lekat. Kian lekat ia menatap, kian sendu pula sorot matanya. Entah mengapa Shely pun tak tahu. Melihat itu, tentu saja Shely mendadak bingung harus bagaimana. Apa yang salah? Apa kata-katanya tadi terlalu ketus? Tiba-tiba rasa bersalah menjalar begitu saja pada dirinya tanpa tahu mengapa.
"Kenapa ngeliatin aku kayak gitu, Sur?" takut-takut Shely akhirnya memberanikan diri bertanya.
"Kamu bener-bener ngingetin aku sama adik aku, Shel." Surya tersenyum tipis, mendongak kembali mengingat-ingat. "Dulu adik aku tuh sering banget maksa aku buat nemenin dia olahraga kayak gini. Badannya tuh gemuk dikit sih, tapi dia selalu ngerasa kalau dia tuh udah gendut banget. Karena itu, tiap minggu dia selalu ngajakin aku kayak gini. Padahal aku tuh selalu mager parah tiap kali dia ajak. Tapi pas dia udah enggak ada, enggak pernah ngajakin aku lagi, enggak pernah maksa-maksa aku lagi. Enggak tahu kenapa, aku jadi malah pengen banget buat olahraga kayak gini hampir tiap hari. Aneh juga yah," getir senyum Surya, membuat dada Shely ikut sesak melihatnya.
Mungkin sudah begitu hukum mencintai seseorang. Kala ia senang, kita akan berlipat-lipat lebih bahagia karenanya. Dan begitu pula kala ia bersedih, berlipat-lipat pula luka yang ikut ditanggung.
Shely menepuk pundak Surya pelan. "Enggak apa-apa kok, Sur. Sejak ditinggalin mama, aku juga pernah ngalamin hal yang kayak gitu. Dulu tuh, kalau mama aku ngomel-ngomel, aku males banget dengernya. Tapi sekarang, kalau dengerin temen-temen aku ngeluh tentang omelan mama mereka di rumah. Aku jadi malah iri."
"Aku bisa bantu ngomelin kamu kapan aja sih kalau kamu mau," tawar Surya yang seketika dibalas decak kesal oleh Shely.
Tiba-tiba butiran gerimis terburu-buru turun membasahi tubuh Surya dan Shely. Cepat-cepat keduanya bergegas berlari mencari tempat berteduh sebelum keduanya berakhir basah kuyup. Beruntung, tepat ketika mereka mendapat tempat berlindung itu, gerimis mendadak berganti jadi deras, juga sepoi angin seketika bertiup kencang.
Keduanya terjebak hujan dan berakhir berdua tepat di depan sebuah toko kecil penjaja perlengkapan Alat Tulis Kantor. Keduanya kompak memilih diam menatap jutaan butir-butir hujan yang seakan tengah berlomba menjatuhkan diri tercepat. Tak ada percakapan, hanya silir-semilir dingin hawa yang dengan cepat menembus pori-pori terdalam.
Shely menggosok-gosok kedua telapak tangannya sambil sesekali meniupnya guna mengumpulkan hangat di dalam sana. Perhatian Surya seketika teralih penuh menatap gerak-gerik Shely lamat-lamat. Sudut bibirnya mendadak tertarik ke atas. Dengan gerak cepat Surya melepas jaket yang dikenakannya lalu memasangnya begitu saja menyelimuti tubuh Shely yang seketika jelas membuat tubuh mungil Shely itu mendadak kaku di tempat.
Mata Shely membulat sempurna menatap Surya, masih begitu terkejut pada perhatian Surya yang sangat-sangat tiba-tiba itu.
Buru-buru Surya mengalihkan pandangan ke depan, tak berani menatap Shely. "Enggak usah ge-er. Aku cuma ngerasa kepanasan kok. Makanya aku kasih jaket itu ke kamu. Siapa tahu aja kamu lebih butuh."
"Kamu ngerasa kepanasan pas lagi hujan deras-deras gini?"
Surya mendadak gelagapan, salah tingkah. Gemas pada Shely yang malah memperjelas kebohongannya itu. "Gak usah banyak nanya deh. Orang udah baik-baik ngasih kamu jaket biar enggak kedinginan. Bukannya bilang makasih, malah bawel," geramnya ketus.
"Iya, iya. Makasih," timpal Shely, sama ketusnya.
Tiba-tiba ingatannya mendadak mengingat jelas pada apa yang memang patut diingat. Shely menyodorkan telapak tangannya begitu saja tepat di depan wajah Surya. "Hadiah yang kamu janjiin mana?" tagihnya mendesak.
"Oh iya yah. Tunggu sebentar yah!" Cepat-cepat Surya masuk ke dalam toko perlengkapan Alat Tulis Kantor itu.
"Permisi!" panggilnya Surya setengah berteriak yang seketika memunculkan pemilik toko itu.
"Mau beli apa, Dek?" tanya lelaki paruh baya itu ramah.
"Maaf sebelumnya, Pak. Saya sebenernya enggak mau beli, cuma mau minjem kertas sama pulpennya doang. Boleh?" pinta Surya yang mendadak mengubah raut ramah pemilik toko itu seketika jadi begitu kusut.
Lelaki paruh baya itu tak menyahut. Ia hanya menyodorkan secarik kertas juga pulpennya dengan wajah tak sukanya. Tak enak hati melihat itu, Surya akhirnya merogoh saku celananya dan menemukan selembar uang sepuluh ribu di sana.
"Saya beli deh, Pak."
Lelaki paruh baya itu baru bisa kembali tersenyum ramah seraya menyodorkan pecahan uang kecil. "Kembaliannya dek."
"Enggak usah, Pak. Doain aja temen saya suka sama hadiah saya yah."
Dengan cepat mata pemilik toko itu menangkap Shely yang bediri membelakanginya, agak jauh berdiri di depan tokonya. Ia mengangguk paham. "Pastilah saya doain. Biarpun hadiahnya aneh, semoga ceweknya suka yah."
"Bukan cewek saya, Pak. Temen," ralat Surya cepat.
"Iya, tapi 'kan calon ceweknya. Bener, 'kan? Ngertilah saya kalau soal anak muda. Biar tua-tua gini, kamu tahu waktu muda saya kayak gimana?"
"Emang kayak gimana, Pak?"
"Playboy," sahut lelaki paruh baya itu cepat diiringi seringai lebar, membuat bulu kuduk Surya malah bergidik melihatnya.
"Oh iya, Pak. Saya ke depan yah, Pak," pamitnya buru-buru menjauh dari pemilik toko itu.
"Shel!" Surya menepuk pundak Shely begitu menghampirinya.
"Loh, hadiah aku mana?" keluhnya melihat Surya tak membawa apapun, kecuali selembar kertas dan pulpen di tangan kanannya.
"Nama lengkap kamu siapa?"
Shely mendengus, pertanyaannya barusan diabaikan begitu saja. "Shely Anastasya," sahutnya malas.
"Untuk, Shely Anastasya." Berikutnya Surya tampak serius mencorat-coret kertas di depannya, membuat Shely mendadak penasaran dibuatnya. "Nih!" Penuh percaya diri ia menyodorkan kertas itu.
"Tanda tangan? Emang mau aku apain tanda tangan kamu?"
"Jangan ngomong gitu dong. Kita enggak pernah tahu apa yang bakal terjadi ke depannya. Siapa nantinya aku bakal jadi artis? Kamu bakal nyesel kalau enggak nerima tanda tangan aku sekarang."
Shely tak merespons, hanya menatap Surya datar. "Dasar halu!"
"Jangan marah dulu dong. Itu baru hadiah pertama."
Seketika Shely membelalak antusias. "Jadi masih ada hadiah lagi?"
"Iya dong," sahut Surya, mantap. "Masa kamu udah susah-susah temenin aku lari pagi, terus hadiahnya cuma satu doang."
"Setuju tuh. Terus hadiah selanjutnya apaaan?"
"Pahala," jawab Surya cepat diiringi kekehan jail, membuat ia seketika mendapati pelototan geram dari Shely. "Gak boleh marah loh, entar pahalanya ilang, aku enggak tanggung jawab yah."
"SURYAAAA!"
***
Setelah pulang. Dari dalam kamarnya, penuh hati-hati Shely menggunting kertas tanda tangan pemberian Surya tadi agar tampak terlihat lebih rapi. Setelah itu, penuh teliti ia pun menempelkan kertas itu pada lembar pertama novel pemberian Surya sebelumnya. Senyumnya mengembang sempurna menatap itu. Ia menyukainya. Baik hadiah, maupun pemberinya.
Assalamu'alaikum semua! Semoga kalian tetap suka yah dengan cerita ini. Jika ada masukan yang membangun silahkan komentar yah. Makasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro