[5] Makan Bareng
Mungkin aku hanyalah wanita biasa di matamu. Namun percayalah, perasaan yang selama ini kupendam untukmu, sama sekali tak sebiasa yang kau kira.
Surya menopang dagunya malas, menatap lurus-lurus pintu kamar Shely yang hampir setengah jam lamanya masih juga tertutup. Apa yang lama sih dari sekadar ganti baju? Surya dapat melakukannya hanya dalam waktu sepuluh menit saja. Ia menghela napas kasar. Apa yang sebenarnya dilakukan cewek aneh itu di dalam sampai-sampai menyita waktu selama ini.
Surya menyandarkan punggungnya jenuh seraya menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Shel! Udah belum? Lama bener sih!" ketusnya setengah berteriak.
"Iya, iya. Udah nih." Suara pintu terbuka membuat Surya refleks berdiri seketika dari tempat duduknya.
"Kamu ngapain aja sih di da...." Tiba-tiba amarah Surya menggantung begitu saja tepat ketika Shely muncul dari kamarnya. Sekejap perhatiannya teralih sepenuhnya, terpaku menatap Shely lekat-lekat yang berdiri tak jauh darinya. Entah apa yang mendorongnya seperti ini, namun rasa-rasanya ia tak ingin melewatkan momen ini bahkan hanya untuk sekadar mengerjapkan mata barang sedetikpun.
Shely memang begitu tampak memesona saat ini. Rambut sebahunya digerai bebas begitu saja dengan kucir dua kecil di atas kepalanya, membuat ia tampak lebih manis juga menggemaskan. Belum lagi riasan tipis-tipis yang ia gunakan, membuatnya tampak lebih segar dan kesan cantik yang natural melekat begitu saja di dirinya saat ini.
Surya tak lagi dapat menyangkal, kali ini Shely memang tampak jauh lebih dari biasanya.
Deg... Deg... Deg... Deg...
Apa ini? Surya memukul kasar tepat di dadanya, menyadarkan diri. Ia tak dapat menerjemah jelas apa yang tengah berlaku di dirinya saat ini. Perasaan asing ini, ia betul-betul tak tahu ini apa.
"Kamu kenapa, Sur?" Shely mengernyit heran mengamati tingkah Surya yang agak tak biasa. "Kamu enggak ... Lagi terpesona sama aku, 'kan?" tanyanya ragu-ragu, namun merasa perlu untuk diperjelas.
Surya menelan ludah mendadak kikuk. "Jangan kepedean yah! Aku? Terpesona sama kamu? Cih!"
"Ya udah. Kalau emang enggak terpesona, mukanya enggak usah merah gitu juga kali. Kayak orang ketangkep basah aja." Shely menyeringai jail, merasa begitu puas dapat kesempatan mengganggu Surya balik.
"Kamu bilang gitu lagi, aku ambil novel aku balik yah?" ancam Surya, membuat Shely cepat-cepat mengembangkan senyum simpulnya, kembali bertingkah seolah anak baik-baik.
"Kita pergi sekarang aja yuk!" ajaknya memeluk novelnya kian erat. Takut-takut jika Surya benar berubah pikiran lalu meminta novel itu kembali.
***
Sepanjang perjalanan Shely hanya fokus sepenuhnya pada novel bacaannya. Sesekali ia senyum-senyum geli, tiba-tiba pula ia menghela napas berat. Ia benar-benar larut dalam bacaannya sampai lupa pada dunia sekitarnya. Surya melirik Shely dengan sorot tak suka. Selama perjalanan ia didiami begitu saja karena novel pemberiannya. Ia sedikit menyesal dengan ide yang sebelumnya dianggapnya cemerlang itu.
"Kita mau jalan ke mana nih?" tanya Surya berusaha mengalihkan perhatian Shely.
"Terserah kamu aja, 'kan kamu yang ajak," sahutnya terdengar tak acuh, matanya tetap fokus pada novel bacaannya.
"Baca novelnya di rumah aja! Kita 'kan lagi jalan," ketus Surya. Dahinya mulai mengerut kesal.
"Iya bentar, nanggung nih soalnya."
Surya mendengus. Kerutnya kian dalam, merasa geram dikalahkan pada novel. Tak terima akan hal itu, tangannya terulur cepat merampas novel itu begitu saja dari genggaman Shely, membuat Shely tersentak di tempat.
"Apaan sih! Balikin enggak!"
Surya menggeleng keras. "Enggak. Perjanjiannya kamu jalan sama aku, bukan sama novel. Jadi yah, kalau kamu lebih milih jalan sama novel, mending aku ngambil novel ini balik aja."
Shely memutar kedua bola matanya, malas mendengar ancaman itu lagi-lagi. Ia menyilangkan tangan, membuang pandangannya penuh keluar jendela. Jalanan ternyata sedang macet-macetnya, namun sedari tadi Shely benar tak sadar akan hal itu. Fokusnya kembali jatuh pada jalanan yang tengah penuh-penuhnya itu. Mobil-mobil yang dibuat terhenti paksa bersahut-sahutan meriuhkan klakson sedang motor-motor dengan lincah menyelip pada celah-celah yang memungkinkan.
Semuanya sibuk berlomba. Berlomba siapa yang tercepat, siapa yang terlincah, klakson siapa yang memekik paling nyaring. Jalanan dibuat jadi arena perlombaan mendadak. Semua fokus berburu jadi yang terdepan. Yang lengah bakal ketinggalan, yang mengalah bakal dikalahkan. Shely geleng-geleng kepala, kembali tenggelam pada dunianya sendiri.
"Shel! Ngapain sih? Mikirin aku yah?" tegur Surya tiba-tiba, membuat Shely tersentak seketika lagi-lagi.
Ia menghela napas kasar. "Emang mau banget yah dipikirin?"
"Kalau dipikirin sama cewek aneh, mau dong." Surya terkekeh ringan, menoleh jail sekilas. "Banyak-banyak mikirin aku yah, Shel!"
"Biar apa coba?"
"Yah, biar otak kamu ada isinya juga," semburat tawa yang hendak menyembur seketika tertahan begitu pelototan geram Shely membuat Surya mendadak begidik ngeri.
"Otak kamu tuh yang kosong," timpal Shely tak terima.
***
Keduanya melangkah ringan memasuki restoran bergaya minimalis, namun memikat mata dengan kesederhanaannya. Hampir setengah bangku dari restoran itu terpenuhi pelanggan dari berbagai rentang usia. Surya menunjuk bangku kosong di sudut dekat jendela. Shely mengangguk. Keduanya pun duduk di sana.
Seorang pelayan restoran tiba-tiba muncul begitu saja menerbitkan senyum ramahnya. "Selamat datang, mau pesan makanan apa?" tanyanya, menyodorkan daftar menu pada Shely dan Surya.
"Saya pesan spaghetti bolognaise dan jus jeruknya yah, Mbak," sahut Surya, kemudian menatap Shely lurus. "Kamu mau pesan apa? Pesan apa aja, nanti aku yang bayarin kok."
Senyum Shely mengembang sempurna mendengar hal itu. Ia mendekatkan wajah pada daftar menu, kian fokus untuk menemukan pesanan yang pas. "Oke, aku pesan mi goreng hokkian porsi jumbo yah. Ingat! Minya dibanyakin. Enggak usah pake udang yah, dagingnya aja yang ditambah. Jangan lupa juga! Bawang gorengnya taburin banyak-banyak yah. Aku suka bawang goreng soalnya. Terus kalau minumnya jus melon aja. Enggak usah pake gula, tapi susunya dibanyakin. Sama esnya juga, banyakin yah biar jusnya tambah seger. Itu aja sih kalau aku."
Surya dan pelayan itu kompak dibuat melongo seketika pada pesanan Shely barusan. Pelayan itu bahkan belum mencatat apa-apa pada secarik kertasnya. Pelayan itu menggaruk tengkuknya merasa bersalah seraya tersenyum kecut. "Maaf Mbak, pesanannya bisa diulang lagi?"
Shely menghela napas, terlalu lelah jika harus mengulang pesanan panjang lebarnya lagi. "Ya udah deh Mbak, pesanan saya samain aja sama pesanan laki-laki di depan saya ini," sahutnya pasrah, membuat pelayan itu tersenyum lega.
"Oh iya, terima kasih. Mohon ditunggu yah pesanannya!"
Shely dan Surya kompak mengangguk sembari memperhatikan kepergian pelayan itu. Surya menopang dagu, tiba-tiba menatap Shely lurus-lurus, membuat Shely jelas mendadak kikuk. Shely membuang pandangannya keluar jendela, bingung harus bagaimana bertingkah semestinya.
"Seneng juga yah rasanya punya temen jalan," ujar Surya begitu saja, membuat Shely menoleh santai, pura-pura berlagak tak acuh.
"Ngenes banget yah hidup kamu selama ini."
"Lebih ngenes pas ketemu kamu sih sebenernya," balas Surya cepat. Cengiran khasnya, membuat Shely baru saja akan marah, namun mendadak urung karena terlalu gemas pada mahkluk di hadapannya itu.
Tiba-tiba pelayan restoran tadi kembali datang menghampiri mereka membawa apa yang sejak tadi keduanya tunggu-tunggu. Penuh hati-hati pelayan itu memindahkan makanan satu demi satu dari nampan ke meja mereka. Shely dan Surya tampak begitu antusias menyambut pesanan mereka. Terlebih lagi Shely, paling bersemangat.
Senyum hangat pelayan itu mengembang sempurna. "Selamat menikmati!" ucapnya ramah lalu bergegas meninggalkan keduanya.
Kening Surya mengernyit heran, menatap Shely yang seketika menyantap cepat makanannya begitu lahap. Surya geleng-geleng takjub, ini pertama kalinya ia melihat seorang wanita dengan nafsu makan yang amat-amat tinggi. Padahal menurut pengamatannya saat wanita tengah makan, mereka tetap saja akan terlihat anggun dan elegan begitu menyantap makanannya pelan-pelan. Namun, Shely. Ia malah terlihat semacam orang yang tak diberi makan selama tiga hari. Ia benar-benar berbeda dari wanita kebanyakan. Maka tak salah jika ia menyebutnya cewek aneh.
"Dasar cewek rakus," ejek Surya yang sontak menghentikan aksi makan Shely seketika.
Matanya mendelik tajam menatap Surya sebal. "Emang kenapa kalau aku cewek rakus? Enggak biasa lihat cewek makan kayak gini yah? Maaf yah aku sih enggak suka pura-pura, apa adanya itu lebih bebas tahu," sahutnya membela diri.
"Iya, ngerti kok. Biar gendut yang penting bebas yah."
"Apa?" jeritnya melengking dengan mata membelalak sempurna, mendadak mengundang perhatian para pengunjung lain, menjadikan dirinya bahan perhatian yang memalukan. Ia menutupi sebagian wajahnya, menyembunyikan rautnya yang mulai memerah.
"Rasain tuh. Jadi malu sendiri, 'kan?"
Shely menggigit bibirnya, menahan kesal yang terasa meledak-ledak dalam hati. Lagi-lagi Surya yang membuatnya malu di hadapan orang banyak, tanpa rasa bersalah sama sekali. Ia mendengus kasar menatap Surya. Nafsu makannya mendadak menurun drastis.
Menyadari keganjilan itu, Surya tiba-tiba merasa agak bersalah. "Kok makanannya cuma diliat-liat aja sih? Makan dong! Pokoknya kalau sampai makanannya enggak habis, aku enggak bakal bayarin yah!"
Shely melirik Surya, muak. "Ya udah enggak usah dibayarin. Aku juga enggak minta kamu bayarin makanan aku kok."
Surya tertawa hambar, meski hanya mendapati tatapan datar dari Shely. "Enggak usah serius banget kali, aku bercanda doang kok. Ya udah, kalau kamu enggak mau makan, aku suapin yah?" Tanpa persetujuan, ia menyodorkan sesendok makanan begitu saja tepat di depan mulut Shely.
"Apaan sih, aku enggak mau," tolak Shely ketus.
"Enggak usah malu kali, cepet buka mulutnya! Aaaammm!" Surya semakin mendekatkan sendoknya ke arah mulut Shely.
Melihat beberapa orang mulai menatap mereka dengan tatapan risih, Shely menghela napas panjang, memutuskan untuk mengalah. "Enggak usah gitu deh. Aku makan sendiri aja."
"Nah, gitu dong," sahut Surya cepat diiringi seulas senyum puas yang mengembang sempurna.
Ia bergeming sejenak menatap Shely lurus. "Shel, kalau besok-besok aku ajak kamu jalan kayak gini lagi, mau yah!" pintanya dengan sorot sungguh-sungguh, membuat Shely seketika tersedak begitu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro