[22] Seandainya
Mengapa kau menciptakan jarak, jika jarak tercipta hanya untuk menyiksa.
Surya akhir-akhir ini jadi lebih sering larut sendiri dalam lamunannya. Ia sengaja lebih menutup diri untuk lebih mengenal dirinya sendiri. Apa yang diinginkannya, apa yang dirasakannya, terkadang memang butuh waktu untuk menerjemah itu. Terlebih lagi, setelah apa yang dikatakan ibunya. Cukup lama ia berusaha memantapkan hatinya, bercakap-cakap dengan batinnya sendiri perihal perasaan yang sungguh-sungguh dirasakannya. Setelah berpikir cukup jauh, sepertinya ia sudah menemukan jawabannya. Ya, ia benar menyukai Shely. Ia menyayangi Shely, ia membutuhkan Shely untuk tetap berada di sampingnya. Dan ia rasa ... ia memang memiliki perasaan lebih pada Shely.
Seulas simpul senyum seketika terbit sempurna di bibirnya. Sepertinya, ia tak ingin buang-buang waktu lagi dengan hanya berpangku tangan menunggu keajaiban datang. Mulai saat ini, ia akan menjemput menghampiri keajaiban itu sendiri. Karena itu, cepat-cepat ia bangkit dari kasurnya, bergegas menuju lemari pakaiannya, meraih jaket abu-abu yang ada di sana lalu mengenakannya dengan cepat. Ia tak ingin berlama-lama lagi. Karena ini Shely, ia harus bergerak lebih cepat dari yang seharusnya.
"Kamu mau ke mana, Nak? Bukannya kamu belum sembuh betul?"
Surya menoleh cepat dan menemukan raut cemas ibunya di sana. "Aku udah lima hari di rumah mulu, Ma. Aku udah baikan kok. Lagian aku cuma mau keluar sebentar doang."
"Memangnya buat apa sih? Kalau gak penting-penting amat mending kamu di rumah aja. Kamu 'kan juga baru sembuh."
"Tapi ... ini buat Shely, Ma," lirihnya menunduk malu. Bagaimana tidak? Ini pertama kalinya ia ingin melakukan sesuatu untuk seorang wanita. Ditambah lagi, kali ini ia terpaksa memberi tahu ibunya. Ibunya pasti akan lebih sering menggodanya setelah ini.
Ibu Surya bergeming sejenak dengan raut tak terbaca. Satu sudut bibirnya tiba-tiba tertarik begitu saja. "Duh, anak Mama udah mulai gede ternyata. Tapi, kamu emang beneran udah ngerasa baikan? Di jalan bahaya loh kalau kamu belum sembuh betul."
Surya tersenyum meyakinkan, menatap ibunya lurus. "Iya, Ma. Enggak usah khawatir, aku bakal cepet pulang kok."
"Ya udah deh kalau gitu. Semangat yah!" goda ibunya dengan nada jail, membuat Surya cepat-cepat melangkah menjauh begitu saja.
***
Surya mengedarkan pandangannya menatap sepenjuru ruangan yang dipenuhi jejeran buku. Di sinilah Surya sekarang, di salah satu toko buku terbesar di kotanya. Jika bukan karena suka membaca komik, tempat ini mungkin akan begitu asing untuk dikunjunginya. Begitu mengingat kembali tujuannya, Surya lekas bergegas menuju rak buku yang menampilkan deretan novel yang terpampang rapi betul. Ia menatap lekat satu per satu sampul novel tersebut, bingung harus memilih yang mana.
"Ada yang bisa saya bantu?" Seorang karyawan wanita muncul begitu saja di belakang Surya, membuat Surya menoleh cukup terkejut.
"Kira-kira novel yang laris di kalangan cewek-cewek yang mana yah? Aku gak tahu milih novel yang bagus soalnya."
"Mau beliin buat ceweknya yah?" tebak karyawan itu, membuat Surya tiba-tiba mengulum senyum geli.
"Emm, iya."
Karyawan itu meraih sebuah novel dengan sampul biru terang. "Ini nih novel yang lagi best seller sekarang. Cewek-cewek juga banyak yang nyari novel ini sih. Cewek kamu juga kayaknnya bakal suka novel ini deh. Novel ini tuh ceritanya tentang—"
"Iya, Mbak. Aku ambil ini aja," potong Surya cepat, malas mendengar kisah romansa yang jelas bukan seleranya. "Aku percaya dia pasti bakal suka ini kok. Makasih yah, Mbak," ujarnya tersenyum tipis seraya lekas menuju kasir untuk segera membayar novelnya.
***
Warna jingga yang telah memenuhi langit, membuat Prata dan Shely akhirnya keluar juga dari kafe tempat mereka baru saja usai makan. Mereka berjalan beriringan menuju motor dalam diam, tak ada yang ingin membuka suara di antara mereka, hingga saat mereka kini berdiri tepat di depan motor Prata. Shely baru saja ingin meraih helm biru muda yang selalu disediakan Prata untuknya, namun seketika urung begitu Prata meraihnya lebih dulu. Tanpa basa-basi, Prata memasangkannya begitu saja di kepala Shely dengan begitu hati-hati, memasang kancing tengah helm tersebut lalu tersenyum hangat menatap Shely lekat-lekat.
Cepat-cepat Shely menunuduk, menghindari kontak mata Prata. "Aku tadi bisa sendiri kok."
Lagi-lagi Prata hanya mengulum senyum. "Aku tahu kok. Anggap aja, tadi itu semacam satu usaha aku buat ngedapatin kepercayaan kamu."
Shely tersenyum hambar. Sepertinya suasana hati Prata tengah bagus. Ini saat yang tepat untuk mengatakan apa yang sejak tadi ditahan-tahannya untuk dikatakan. "Emm, mulai besok Kak Prata enggak usah repot-repot lagi yah buat ngantar jemput aku. Aku bisa berangkat bareng temen aku kok."
Tiba-tiba Prata menatap lurus dengan sorot yang sulit diartikan, membuat Shely hanya menelan ludah susah payah, sepertinya ia salah bicara lagi. "Enggak usah berangkat bareng temen kamu. Aku enggak keberatan kok nganter jemput kamu tiap hari. Itu sama sekali enggak ngerepotin. Jadi, jangan larang-larang aku lagi yah! Cukup biarin aku buat ngusahain apa yang emang pantes aku usahain."
"Tapi, kalau Kak Prata terus-terusan nganter jemput aku, orang-orang enggak bakal berhenti ngegosipin kalau kita tuh pacaran."
"Emang kamu keberatan kalau mereka nganggap kita pacaran?" tanya Prata serius, membuat Shely seketika tak berkutik. Apa yang dikatakan Prata barusan itu memang benar adanya.
"Emm, aku cuma enggak suka jadi bahan perhatian Kak. Lagian, kita 'kan belum pacaran juga," lirihnya takut-takut.
"Kan bentar lagi udah mau. Jadi, kamu enggak usah terbebani sama kata-kata mereka yah, mereka juga kalau ngomongin orang enggak pernah ada beban kok. Mending, besok kita jalan-jalan aja. Biar pikiran kamu bisa lebih tenang gitu."
Melihat Shely yang kunjung menyahut, membuat Prata cepat-cepat menggunakan ancaman andalannya. "Kalau kamu pengen nolak, biar aku ingetin lagi yah. Aku gak suka yang namanya penolakan," tekannya seraya tersenyum penuh kemenangan. Mau bagaimana lagi? Kalau sudah begini, Shely hanya selalu jadi pihak yang mengalah.
***
Harap-harap cemas Surya menunggu tepat di depan pintu kamar Shely. Senyumnya mengembang lebar manatap dua benda yang sudah tak sabar ingin diberikannya pada Shely. Di tangan kanannya ada sebuah novel yang telah diikat rapi dengan pita merah terang, sedang di sebelah kanannya ada seikat mawar merah muda yang ia sempatkan beli atas usul dari ibunya. Selain itu, mengapa ia memilih mawar merah muda? Karena mendengar dari kata penjual bunganya bahwa bunga merah muda melambangkan kekaguman dan rasa syukur. Dan itu benar-benar sejalan dengan perasaannya saat ini. Dua rasa itu, benar Shely datangkan padanya di saat yang sama.
Surya tepaku merasakan sesuatu yang tak biasa lagi-lagi terjadi pada dirinya. Untuk kali pertama, jantungnya berdegup cepat sekali hanya dengan mengingat seorang wanita. Seulas senyum simpul mucul begitu saja di bibirnya. Meski ini masih terlalu asing baginya, namun ia rasa ... debaran ini cukup menyenangkan juga untuk dirasa.
Tiba-tiba ponselnya terasa bergetar. Cepat-cepat ia merogoh saku celananya, meraih ponsel yang ada di sana. Ia mengernyit sesaat menatap nama yang tertera pada layar ponselnya. Namun, tanpa pikir panjang lagi ia lekas mengangkatnya. "Halo Prata! Ada apa nih?"
"Sur, gue mau ngomong makasih sama lo. Makasih banget yah karena udah bantuin gue deket ama Shely. Berkat lo, gue dan Shely bentar lagi bakal jadian," ucap Prata begitu antusias, sementara Surya mendadak terpaku seakan segalanya tiba-tiba terhenti begitu saja.
Apa ia sudah begitu terlambat untuk baru ingin memulai ini? Sudut bibirnya seketika tertarik, getir. "Jadian?"
"Iya. Dia cuma perlu waktu dikit lagi buat yakin sama perasaan gue. Makanya, sekarang gue bener-bener mau ngomong makasih sama lo, makasih banyak yah, Bro! Ini semua berkat lo juga."
Aku? Kenapa dulu aku harus ngelakuin itu sih?
"Hm, iya," jawab Surya begitu lirih. Ia mendongak menatap ke depan dan saat itu juga ia buru-buru mematikan ponselnya. Matanya sama sekali tak berkedip begitu menemukan Shely di sana.
Shely tersenyum canggung, berusaha memasang raut sebiasa mungkin. "Kamu ngapain ada di sini, Sur?"
Surya mengerjap-ngerjap tak tahu harus menjawab apa. "Aku ... aku cuma mau ngasih ini," ucapnya kikuk seraya menyodorkan seikat mawar merah muda dan novel yang sejak tadi digenggamnya.
Degup Shely tiba-tiba menggila begitu saja. Kenapa Surya memberinya hadiah? Bunga mawar dan novel, sebenarnya apa arti dari hadiah itu? Shely berpikir keras berusaha menerjemah pertanyaan-pertanyaan itu.
Ini bukan ulang tahun aku, tapi kenapa dia tiba-tiba ngasih hadiah kayak gini? Mana pake bunga segala. Apa jangan-jangan, ini tandanya kalau dia—
Senyum Shely yang baru saja ingin mengembang, mendadak luntur cepat begitu ia menggeleng keras tak ingin salah paham. "Kamu kenapa ngasih aku ini, Sur?"
"Itu ... Itu dari Prata." Tak tahu ingin beralasan apa, hanya itu yang terlintas dipikiran Surya saat ini.
Shely mendengus tertawa dalam hati, merasa miris sendiri. Hampir saja ia lagi-lagi terlalu percaya diri. "Oh. Bilang sama Prata, makasih yah," sahutnya tersenyum kecut.
"Iya, bakal aku kasih tahu kok. Ngomong-ngomong selamat yah!" Surya pura-pura antusias, membuat Shely seketika mengernyit, tak mengerti maksud dari selamat itu. Shely mengangguk saja, tak ingin memperpanjang masalah itu.
"Kalau gitu aku balik ke kamar dulu yah," pamit Surya tersenyum tipis, membuat Shely mengangguk cepat.
Shely bergeming merasakan betul udara di sekitarnya begitu Surya melaluinya. Ia menatap kosong dua benda yang kini digenggamnya. Seandainya ini semua dari kamu, Sur.
Langkah Surya mendadak terhenti. Ia menoleh menatap punggung Shely lamat-lamat. Seandainya kamu tahu kalau itu semua dari aku, Shel. Apa semuanya masih bisa berubah?
Aloooo! Sampai sini dulu ya, cerita Shely dah Surya. Bagian cerita yang lain dihapus untuk kepentingan penerbitan. Terima kasih sudah mengikuti kisah Shely dan Surya. Jangan lupa ketemu mereka dalam bentuk novel fisiknya yaa😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro