[13] Jalan Bareng Bad Boy
Ingatan bisa memudar dan berujung pada lupa, sedangkan tulisan akan membuat lupa berujung pada ingat. Sumber tulisanku adalah kamu. Bolehkah aku menjadikanmu abadi dalam ingatku?
Shely merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk seraya menatap langit-langit kamarnya, kosong. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, seharusnya pada jam seperti ini, ia sudah larut terlelap dalam mimpi-mimpinya. Namun malam ini, entah mengapa rasa kantuk sama sekali tak hinggap di pelupuk matanya. Berulang kali ia mencoba mengatup paksa matanya, namun hasilnya sama saja, ia belum bisa tertidur.
Ia menghela napas bergegas bangkit dari tempat tidurnya. Ia berjalan menuju meja belajarnya seraya meraih sebuah pulpen dan buku catatan kecil di atas sana. Jika diingat-ingat, sudah cukup lama ia tak lagi menulis perihal dirinya, sedang waktu kecil ia begitu gemar melakukan itu. Baginya, ingatan bisa memudar dan berujung pada lupa, sedangkan tulisan akan membuat lupa berujung pada ingat. Ia pelupa, juga bukan tipe orang yang bisa membagi kisahnya pada sembarang orang. Maka dari itu ia suka menulis.
Ia mengetuk-ngetuk penanya pada meja seraya berpikir untuk memulai tulisannya dari mana. Senyumnya mengembang begitu saja begitu ia teringat akan sesuatu. Sesuatu yang tak ingin dibuatnya lupa dalam ingatannya.
19/09/19
Tanggal yang manis untuk menuangkan hal serupa.
Tuhan, aku berhutang banyak pada-Mu. Terima kasih atas hal-hal baik yang Kaudatangkan padaku. Terima kasih telah mengirimku pada mahkluk terbaik-Mu. Terima kasih karena membuatnya menghampiriku terlebih dahulu. Terima kasih karena ia yang Kaudatangkan untuk membawaku pada hidup yang lebih baik, hari-hari yang terasa lebih hidup.
Terima kasih telah menitipkan kebaikan-Mu melalui ia. Meski tak menulisnya, aku takkan lupa hari itu. Di hari yang kukira akan menjadi penghujung terburuk dalam hidupku, namun nyatanya Kau menyelipkan skenario indah di dalam sana. Engkau datangkan ia dan ia meraihku untuk masuk ke dalam dunianya.
Surya berarti matahari. Di tengah hidupku yang kalut bagai pekat malam. Ia datang sebagai mentari yang menjelma bagai purnama. Menyinari sekaligus menghangatkan. Menenangkan sekaligus membawa senyum. Sekali lagi, terima kasih telah mempertemukanku padanya.
Kuakui ia salah satu mahkluk-Mu yang tak biasa. Berhasil mendatangkan gusar yang tak biasa di dalam hati untuk pertama kalinya. Seperti ada yang salah pada perasaanku. Namun bukannya menghindari, aku malah kian merasa sungguh untuk terus merapalkan harap ... Semoga dia bukanlah orang yang salah.
Shely menutup buku catatan kecil miliknya dengan senyum yang merekah sejak tadi. Memorinya memutar kembali mengingat-ingat saat-saat ia menghabiskan waktu bersama Surya. Saat ia merasa begitu kesal pada Surya, saat di mana ia bingung harus bertingkah seperti apa di hadapan Surya dan begitu pula saat di mana degup jantungnya terus saja berulah di saat yang tak tepat hanya karena hal-hal kecil yang dilakukan Surya. Entah mengapa, sekadar mengingat beberapa kejadian singkat, namun berkesan itu, perasaannya mendadak terasa jauh lebih baik begitu saja.
Ia kembali membenamkan kepalanya di atas bantal seraya mengulum senyum geli pada dirinya sendiri. Senyum-senyum sendiri hanya karena mengingat-ingat hal-hal sederhana, sepertinya Surya telah berhasil mengubah ia menjadi cewek aneh sungguhan.
***
Jam setengah tujuh tepat. Surya memarkirkan mobilnya di parkiran sekolahnya. Sebelumnya ia selalu datang terlambat, namun selama ia memiliki tanggung jawab berangkat bersama Shely, kebiasaan buruknya itu perlahan-lahan mulai teratasi. Shely telah membuktikan perkataannya dulu, ia benar salah satu murid paling rajin di SMA Semesta.
Baru saja Shely ingin turun dari mobil, tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal begitu saja oleh Surya, "Tunggu! Pas pulang nanti aku ada pelajaran tambahan. Jadi pulang sebentar kamu tungguin aku yah! Enggak usah ke mana-mana. Oke?"
Shely mendengus malas. "Iya, iya. Tapi enggak lama banget 'kan aku nungguinnya?"
"Emang kenapa kalau lama? Kangen yah pengen cepet-cepet ketemu sama aku?" goda Surya seketika menatapnya dengan sorot jail.
"Mau aku tabok enggak?" ketus Shely tanpa ekspresi, membuat Surya cepat-cepat terkekeh hambar.
"Bercanda kok, bercanda. Tenang aja, kayaknya sebentar enggak bakalan lama amat kok."
Shely mengangguk kecil. "Ya udah, aku ke kelas duluan yah?"
"Duluan aja sana, atau ... kamu mau aku anterin sampai ke tempat duduk kamu nih?" goda Surya lagi dengan raut sok polosnya, membuat Shely seketika mendelik tajam padanya.
"Sekali lagi ngomong kayak gitu, awas kamu yah!" ancamnya seraya lekas-lekas mengambil langkah lebar-lebar menjauhi Surya.
Surya tersenyum kecil. "Duh, takuuut," guraunya setengah berteriak, namun tak lagi mendapat respons dari Shely.
***
Bel pulang telah berbunyi, seluruh siswa beradu cepat keluar dari kelasnya masing-masing. Shely menghentikan langkahnya tepat di depan gerbang sekolahnya. Menunggu Surya di depan sana, sesuai perintah. Ia menghela napas panjang begitu terik matahari lambat laun membuat bulir-bulir keringat mengalir deras begitu saja dari pelipisnya.
Ia mengedarkan pandangan menatap lamat-lamat sekitar sekolahnya yang kian terasa sepi, meninggalkan segelintir orang saja yang masih lalu-lalang di sekitarnya. Ia kembali melirik jam tangan putih yang melingkar pas di pergelangan tangannya. Waktu telah menunjukkan pukul setengah tiga sore, berarti sudah setengah jam lamanya ia menunggu.
Kkrrrruucuuttttt ... Kkrrrruucuuttttt
Mendengar suara perutnya yang terus mengadu, Shely kian merasa lemas saja dibuatnya. "Surya lama amat sih. Haduh," gerutunya, mengerucutkan bibirnya kesal.
Pandangannya beralih menatap jalan raya yang juga mulai sepi. Mendadak matanya dibuat terpaku melihat sebuah motor besar yang melaju cepat menuju ke arahnya. Shely mengernyit jelas begitu motor besar itu malah berhenti tepat di hadapannya. Begitu si pemilik motor melepaskan helm merahnya, seketika itu juga mata Shely membulat sempurna. "Kak Prata?" pekiknya tak percaya.
"Kok kaget gitu sih, enggak pernah lihat cogan yah?" Prata menyeringai malu-malu, membuat Shely malah bergidik ngeri melihat perubahan sikap Prata yang tak biasa.
Shely mengerjap-ngerjap, berusaha tetap tenang. "Bu-bukannya gitu, aku enggak nyangka aja kalau Kak Prata bisa langsung ada di sini. Emangnya Kak Prata masih marah yah karena masalah waktu itu?" tanyanya cemas seraya menggigit bibirnya takut-takut jika saja Prata masih mengungkit masalah yang lalu-lalu.
"Kalau mau dibilang marah sih, sebenarnya aku enggak marah-marah amat. Tapi, karena kamu udah mempermalukan seorang Prata di depan teman-teman kamu, maka dari itu kamu harus tanggung jawab."
"Ta-tanggung jawab apa kak?"
Prata menyeringai tipis. "Kamu harus jalan sama aku sekarang!"
Shely membelalak seketika. "Sekarang? Maaf Kak, tapi aku bener-bener enggak bisa kalau harus sekarang," tolaknya halus diiringi senyum kecut.
"Oke, enggak apa-apa kok kalau kamu enggak mau. Tapi siap-siap aja yah, mulai besok dan hari-hari berikutnya, aku pastiin kamu enggak bakal bisa tetap tenang sebelum kamu lunasin tanggung jawab kamu. Kamu ngerti 'kan kalau aku enggak pernah ngasal ngancam?" Alis tebal Prata terangkat sebelah diikuti sorot tajam matanya yang menatap Shely penuh.
Shely menghela napas berat, menggangguk lesu pada akhirnya. "Iya deh, Kak," lirihnya pasrah, membuat Prata seketika mengulum senyum penuh kemenangan.
"Kalau gitu tunggu apa lagi? Buruan naik!" pintanya cepat, sementara Shely hanya bisa menurut tanpa mampu berkutik.
Prata membelah jalan raya dengan motor merahnya yang melaju dengan kecepatan tinggi. Jika Shely sedang bersama Surya saat ini, sudah pasti sejak tadi ia mengomel panjang lebar jika Surya sudah mulai kebut-kebut. Tapi sekarang ia sedang bersama Prata, mau mengomel apa dia? Bicara saja, ia perlu pikir panjang dulu. Mau tidak mau yang bisa dilakukannya hanya pasrah sembari sesekali berdoa agar diberi keselamatan di sepanjang perjalanannya.
Shely baru bisa bernapas lega, sesampainya mereka di sebuah kafe yang tak begitu ramai pengunjung. Mereka duduk berhadapan mengambil bangku tepat di samping jendela. Shely yang mendadak tersadar akan sesuatu, buru-buru merogoh tasnya, mencari ponsel di dalam sana. Ia baru ingat, ia belum mengabari Surya. Begitu menemukan ponselnya, cepat-cepat jari-jarinya bergerak lincah mengetikkan pesan, namun belum sempat ia menyelesaikan pesannya, tiba-tiba saja ponselnya mati lebih dulu, membuat Shely bergeming seketika menyadari betapa sialnya ia sekarang. Shely memainkan jarinya gelisah seraya membuang pandangannya menatap keluar jendela cemas.
Prata mengernyit penasaran memperhatikan gerak-gerik janggal Shely yang malah menarik perhatiannya. "Shel, are you okay?"
Shely yang tersentak seketika menoleh linglung. "Hmm, iya? Aku ... Aku enggak apa-apa kok," jawabnya diiringi simpul senyum, sementara sorot cemas masih jelas tak bisa lepas dari kedua matanya.
"Shely, kamu beneran enggak apa-apa kan? Kalau ada apa-apa, aku bisa antarin kamu pulang sekarang kok," ujar Prata serius.
Shely mengangguk pelan masih berusaha tersenyum tipis. "Iya, aku beneran enggak apa-apa kok."
"Bener nih?" tanya Prata lagi, masih tak percaya.
"Iya, bener."
"Serius?"
"Iya, serius."
Prata mengangguk mengerti, memutuskan untuk mengalah. "Ya udah deh, kalau gitu habisin makanannya dulu yah! Sudah itu kamu baru mikir lagi, biar otak kamu enggak capek."
Shely tersenyum tipis, menatap Prata lurus, tiba-tiba ingin menyampaikan sesuatu yang juga sejak tadi mengganggu pikirannya. "Kak Prata!" panggilnya, membuat Prata seketika menoleh.
"Hmm? Kenapa?"
Shely berdeham pelan, memberanikan diri. "Hari ini aku udah lunasin tanggung jawab aku 'kan Kak? Mulai besok dan seterusnya, Kak Prata enggak usah lagi besar-besarin masalah itu lagi yah Kak. Karena masalah ini juga udah selesai, kedepannya anggap aja kita enggak saling kenal yah Kak!"
"Kenapa harus gitu?" sahut Prata cepat.
"Yah, supaya bisa lebih nyaman aja. Jujur aja yah Kak, aku sih kurang nyaman kalau berurusan sama orang populer kayak Kakak. Dan Kak Prata juga pasti lebih-lebih enggak guna juga 'kan berurusan sama orang biasa seperti aku?"
"Siapa bilang kamu orang biasa?" Prata menopang dagu menatap Shely lurus-lurus. "Kamu tahu enggak? Kamu orang pertama yang berani nyuruh-nyuruh aku seenak jidatnya kayak gini." Ia memiringkan wajahnya menatap Shely kian lekat. "Menarik juga."
Shely mendengus tertawa dalam hati. Ini cobaan apa lagi, Ya Tuhan?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro