Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Kelokan Jalan

NASIB PARA TOKOH SEBELUM TANGAN TUHAN BERMAIN

---

ASMARA RINDU (Paris, Musim Dingin 2009)

"Ça va (apa kabar)?"

Dagu Mara diangkat mendengar sapaan seorang pria dengan wajah tertutup topi Fedora. Tanpa menunggu balasan gadis itu, pria tersebut mengempaskan bokong di sebelahnya. Tangan kirinya terulur ke samping, seperti hendak merangkul. Sedangkan yang bebas memain-mainkan pemantik.

"Qu'est-ce que tu veux (mau apa)?" Mara mengisap rokok dan mengembuskan asap di udara dingin.

Pria tersebut merebut rokok dari tangan Mara dan mengisap. Ia mengangsurkan secarik kartu nama. Mengamati kartu nama tersebut, Mara menyeringai. Ia tahu akan dibebani tugas untuk kesekian kali. Padahal, ia berniat liburan.

"D'accord (oke)."

"Tu es mon tout (kamu segalanya buatku)." Lelaki tersebut menggesek hidungnya ke rambut panjang Mara yang beraroma mawar. "Aku menunggu kabar baiknya."

Begitu bangkit, ia menaikkan topi ke atas, mengerling pada Mara. Tanpa sepatah kata penutup di antara mereka, ia melenggang menuju limo yang menunggu tak jauh dari bangku. Untuk kesekian kali, Mara mengamati kartu nama yang diberikan lelaki tadi. Ia berdecak. Haruskah di hari libur seperti ini aku melaksanakan pekerjaan? Merde. Ia menghela napas berat. Menengadah ke atas,  gadis itu melayangkan pandangan menuju langit mendung. Udara dingin menyusup di balik parka merahnya. Ia merogoh saku hendak mengeluarkan rokok dan pemantik. Menoleh ke samping, ia menemukan dompet. Sepertinya pria bertopi Fedora tadi meninggalkan dompet di sini.

Mara menggenggam dompet tersebut sembari merogoh saku jins mengambil ponsel. Membuka dompet itu, ia melihat secarik foto usang yang memerangkap potret dua orang bocah. Seorang anak laki-laki berpakaian jas layaknya anak konglomerat. Di sebelahnya, ada seorang gadis kecil berkepang dua. Sayangnya, foto itu rusak di bagian wajah si bocah perempuan.

Dering kesekian panggilan dijawab.

"Dompet Anda ketinggalan."

"Bawa nanti ke rumah. Merci, My dear."

"Oke." Mara masih memakukan pandangan ke foto itu. "Daddy."

*****

KADE DIPANTARA (Surabaya, Masa Ospek 2011)

Panas terik matahari nyaris melimbungkan segerombolan mahasiswa baru yang dijemur di lapangan depan gedung Magister. Gerutuan dari beberapa mahasiswa di kelompok berbeda terdengar sahut-sahutan, tak terkecuali di kelompok Charlemagne. Dipantara tengah mengutak-atik jam tangannya yang langsung mengundang perhatian seorang panitia perempuan dengan papan nama Dona.

"Kenapa jam kamu masih dipakai? Sini." Gadis berambut pendek itu mengulurkan tangan meminta jam di tangan Dipa.

Dipa menyerahkan jamnya. Begitu pindah tangan, Dona mendesis kesakitan dan menjatuhkan beda tersebut.

"Kok nyetrum??"

Mengedikkan bahu, Dipa pura-pura tak tahu apa-apa. Dona memungut jam tangan itu lagi. Namun sialnya, tangannya kembali tersetrum. Ia memerintahkan teman-temannya yang lain untuk mengambil. Bernasib sama, tak ada seorang pun yang mampu memegangnya.

"Ambil lagi." Panitia lain memerintahkan Dipa mengambil jamnya. Hanya ia yang tidak bertindak seperti yang lain. "Pakai."

Bibir Dipa mencebik. Ia memakai lagi jamnya, tak memedulikan gumaman heran para panitia yang merasa kesetrum setiap memegang benda itu. Di antara gumaman panitia dan kesenyapan di barisan mahasiswa baru, ada seseorang yang menahan tawa.

"Siapa yang ketawa??" Teriakan seorang mahasiswa berpapan nama Michael menggelegak.

Semua mahasiswa—termasuk Dipa—mengarahkan pandangan menuju satu orang: cowok yang paling mencolok di antara yang lain karena memiliki tekstur wajah dan postur tubuh berbeda.

"Barusan kamu yang ketawa?" Dona melipat tangan di depan dada. Lawan bicaranya mengangkat dagu, lalu memberikan senyum miring simpul. "K-kenapa kamu senyum-senyum?" Dona yang disenyumi malah salah tingkah. Ia berbalik badan, berjalan cepat menuju Michael yang menjabat sebagai ketua tim disiplin. Meski berbisik, Dipa masih bisa mendengarnya.

"Lo aja deh yang kasih hukuman. Nggak tega gue."

"Alaaah, menel amat lu." Michael maju dan menunjuk cowok tadi. "Heh, kamu, maju."

Mengikuti perintah sang kakak angkatan, cowok tadi maju tanpa ada rasa bersalah. Ia memandang acuh tak acuh.

"Kenapa tadi ketawa?" Michael melipat tangan.

Cowok tadi melirik jam yang dikenakan Michael. "Masa cuma mahasiswa baru yang nggak boleh pakai jam? Panitianya pengecualian? Nggak fair, dude."

Terdengar gumaman riuh. Beberapa di antara mahasiswi yang berbaris meremas tangan gemas. Dipa menggeleng-geleng tak memercayai pandangannya. Baru kali ini ia melihat ada bocah yang secara terang-terangan memberontak di depan kakak angkatan—bahkan saat ia mengikuti diklat atau MOS semasa SMA pun tak ada yang seperti itu.

"Dari kelompok Charlemagne, ya?" Michael mengangkat papan nama adik angkatannya itu. "Coba, jelaskan siapa itu Charlemagne. Kebangetan kalau nggak tahu. Udah jadi nama kelompok harusnya tahu."

"Kalau bisa jawab mau dikasih hadiah?"

"Nantang nih bocah." Panitia yang lain menyahut. "Kalau nggak bisa jawab, kamu bakal kena hukuman."

"Berarti kalau bisa dapat hadiah, ya."

"Oke." Michael mengangguk. "Mau hadiah apa?"

Cowok tadi menoleh ke arah Dona yang menyatukan alis. "Nyium dia."

Gumaman riuh terdengar di lapangan. Dipa menanggapi kelakar temannya dengan seringai geli.

"Kurang ajar amat nih bocah. Ngomong jangan sembarangan, Tolol!" Panitia lain, pacar Dona, menyergah. Michael menahannya agar tidak menimbulkan keributan yang menjadi-jadi.

"Bercanda, elah." Cowok tadi memutar bola mata ke atas.

"Ya udah. Siapa itu Charlemagne?" Michael melipat tangan di depan dada.

"Charlemagne est un roi des Francs et empereur. Il appartient à la  des , à laquelle il a donné son nom. Fils de , il est  à partir de , devient par conquête  en  et est couronné  à Rome par le pape  le  , relevant une dignité disparue depuis la chute de l'Empire romain d'Occident en ..."

Semua yang ada di lapangan itu terbengong-bengong mendengar penjelasan yang tidak dimengerti.

"...Roi guerrier, il agrandit notablement son royaume par une série de campagnes militaires, en particulier contre les  païens dont la soumission fut difficile et violente mais aussi contre les  en  et les  d'..."

"Stop. Udah. Stop." Michael memotong. "Kenapa kamu nggak ngejelasin pakai bahasa Indonesia, hah?"

"Lah, Charlemagne kan dari Prancis. Kenapa emang? Nggak bisa bahasa Prancis? Makanya, belajar."

Barisan mahasiswa baru di lapangan itu menahan tawa. Mendengar seruan Michael, tawa samar-samar surut. Tak ingin memperpanjang urusan dan digempur waktu, Michael menyerah. Ia memerintahkan adik angkatannya kembali ke tempat.

"Istirahat lima belas menit. Abis itu balik ke sini lagi. Paham?!"

"Pahaaaam, Kak."

Barisan itu bubar. Panitia yang masih berdiri di sana serentak menghujani mahasiswa pemberontak tadi dengan pandangan lekat. Bisik-bisik terdengar di antara mereka. Dipantara yang menyadari memandang teman barunya.

"Kamu nggak takut ditandain kakak angkatan?"

"Quoi?" Bahu Dipa dirangkul akrab. "Eh, kalau mereka yang salah, ngomong. Bukan cuma diem. Bego amat lu." Ia memerhatikan jam di pergelangan tangan Dipa.

"Oh, sebenernya jam ini udah aku pasang sistem keamanan sidik jari. Kalau bukan sidik jari pemilik bakal bereaksi nyetrum."

"Kenapa lu malah nyasar ke FISIP, Bangsat?" Kepala Dipa didorong. "Harusnya ke ITS."

"Pengen aja belajar di Ilmu Politik." Dipa tersenyum.

"Anarki!"

Mendengar namanya disebut keras, cowok itu menoleh. Ia melambai memerintahkan temannya yang memanggil untuk pergi dulu. Lalu, ia memandang Dipa lagi. "Tugas ospek gua kerjain, ya. Thanks, Dip." Sebelum berlalu, ia meninju bahu Dipa.

Dipa tidak yakin bisa berteman dengan orang model begitu.

*****

NIRBITA ARUNIKA (Lemahdadi, Awal Tahun 2010)

Lintang menebar kartu di atas meja ketika Nirbita muncul dan mengucap salam. Perhatiannya berpindah menuju putrinya yang baru pulang sekolah, melihatnya sampai menghilang di kamar. Ia memerhatikan kartu-kartu yang terbuka, lantas tersenyum miring. Untuk kesekian kali, ia melihat kartu Arjuna tiap menebar kartu atas nama Nirbita.

Tak berselang lama, gadis itu muncul lagi, sudah mengganti pakaian dengan kaus dan rok sebatas lutut. Ia melompat ke sofa, memeluk lutut.

"Bun," sapanya.

"Kenapa?" Tak memandang Nirbita yang mengamatinya, Lintang merapikan kartunya.

"Aku boleh nggak kuliah ke kota lain?"

Sudut-sudut bibir Lintang tertarik ke atas membentuk senyum miring. "Nanti Mbahmu yang ngomel-ngomel."

Nirbita mendengus. "Ish, Bun. Mbah kan udah nggak ada."

"Ngomelnya di mimpi Bunda."

Mengerucutkan bibir, Nirbita membuang muka. Ia memain-mainkan jemarinya. "Aku pengen punya banyak temen."

"Emang di sini kamu nggak punya temen?"

Gadis itu menggeleng. Selama hidup di kampung itu, ia tidak pernah memiliki teman sekolah. Teman-teman sekolahnya enggan mendekatinya karena menganggapnya aneh karena kedapatan ngobrol sendiri di belakang gedung sekolah. Selain itu, mereka menganggap Lintang dukun yang aneh.

"Coba kocok dulu." Lintang mengangsurkan kartu pada putrinya.

Masih dengan bibir memberengut, Nirbita mengocok kartu dan mengembalikan ke ibunya. Lintang menebar lagi. Kali ini, ia tidak membaca asmara putrinya seperti sebelum-sebelumnya. Perempuan paruh baya itu terdiam, membuat Nirbita menaikkan alis penasaran.

"Ada apa, Bun? Kartunya mulai ngaco, ya?"

Mengangkat dagu, pandangan Lintang menerawang. Secara teknis, matanya menatap lurus putrinya, namun wajahnya tidak menunjukkan demikian. Ia seakan memandang lebih jauh ke kedalaman batin putrinya.

"Menara kembar," katanya. "Akan ada kejadian yang mirip."

"Kejadian apaan? Itu soal aku?"

Barulah, mata Lintang benar-benar bersipapas dengan sepasang mata putrinya yang bingung dan penasaran. Ekspresi Lintang berubah. Ada senyum kecil yang nyaris tak terlihat di bibir tipisnya.

"Batik di depan belum selesai. Kamu mau melanjutkan?"

Nirbita tahu Lintang berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Meski demikian, gadis itu membalas dengan kedikan bahu. "Aku mau jalan-jalan sore sebentar. Sekalian nyari objek buat praktik Biologi besok." Ia berpamitan pergi.

Menapaki jalan berkerikil, Nirbita masih memikirkan ucapan ibunya yang terngiang-ngiang. Sebetulnya, ia sudah menuliskan rencana setelah lulus SMA. Ia bahkan menempelkan kertas keinginannya di dinding kamar. Ia ingin menempuh studi ke tempat lain dan memiliki banyak teman. Teman yang mungkin tidak menganggapnya sama seperti orang-orang di kampungnya. Ia kesepian.

Langkah kakinya terhenti. Beberapa meter di depan, ia melihat seseorang berdiri. Gadis itu celingukan ke kanan dan kiri. Hanya ada beberapa orang yang terlihat di kebun tebu dan sawah, agak jauh darinya. Melihat perempuan berkebaya hitam itu, ia melangkah mendekat, meski agak ragu. Perempuan tersebut berdiri di depan hutan bambu. Ia mengangkat tangan, memintanya mendekat.

Sebelum melanjutkan langkah lagi, Nirbita merasakan pundaknya disentuh seseorang dari belakang. Menoleh, ia menemukan Lintang yang menggeleng.

"Kembali ke rumah," perintahnya, lantas menggandeng Nirbita agar kembali pulang.

"Bunda kenal orang tadi?"

Lintang menatapnya. "Jangan pernah mendekati kabut hitam. Bahkan jika suatu saat kamu jauh dari Bunda, temukan orang-orang yang bisa menyembunyikan kamu dari iblis mana pun. Yang nyata maupun tidak."

*****

NALA ANARKI (Surabaya, Pertengahan Tahun 2012)

"Panas banget, Cuk. Ini bumi apa kerak neraka, sih?"

Mendengar gerutuan kawannya, Hana menggelengkan kepala. Ia naik ke atas atap mobil orang, duduk di sebelah Nala yang mengibas-ngibas kaus kepanasan sambil melihat teman-temannya yang lain masih melakukan aksi di depan gedung DPR. Hana mengangsurkan botol air minum ke Nala.

"Jahat banget nyuruh yang lain turun tapi kamu malah nangkring di sini."

"Gantian, lah." Nala menyiramkan air mineral ke kepala dan wajahnya, membuat Hana memekik dan memukul lengannya.

"Ih, kok malah disiram semua, sih!"

"Kenapa?"

"Aku kan belum minum."

"Ya udah, jilat nih badan gua."

Hana memukul kepalanya kesal, sedangkan Nala tertawa menghindar. Sambil mendengarkan orasi Banyu, mereka duduk mengawasi. Sebentar lagi mereka akan bubar dan pulang. Yang penting, Nala bisa memastikan demonstrasi berjalan aman tanpa kerusuhan. Cowok itu mengeluarkan rokok dan menyulutnya dengan korek.

"Eh, Han." Ia meniupkan asapnya ke udara panas.

"Hm."

"Lu temenan sama Parang Kusuma, nggak? Sama-sama Psikologi, kan?"

Mendengar nama gadis itu, Hana mengernyit, lalu menoleh. "Kenapa?"

"Anaknya gimana?"

"Hm..., gimana ya. Nggak kenal deket, sih. Cuma tahu aja. Dia terkenal di angkatanku."

"Udah punya pacar?"

Tahu ke mana arah tujuan pembicaraan mereka, Hana melengos. "Kalau cuma buat seneng-senengan, jangan."

"Dih." Nala tertawa pendek. "Pokoknya gua harus dapetin itu cewek."

"Agak susah kayaknya. Seleranya tinggi."

"Babe, emang gua nggak masuk ke deretan 'selera tinggi'?"

Hana memutar bola mata. Ia tak menanggapi ucapan Nala, sebab tahu meskipun melarangnya mendekati Parang Kusuma yang notabene susah didekati, cowok itu tak akan hanya diam.

Obrolan di antara mereka terhenti saat terdengar kericuhan di lokasi demonstrasi. Nala yang melihat adanya baku hantam antara polisi dengan teman-temannya spontan melempar puntung rokok dan mengumpat.

"Anjing, udah dibilang jangan ricuh masih aja ricuh. Bego amat tuh bocah-bocah. Peler."

"Duh, polisi ngejar. Pasti runyam urusannya kalau gini." Hana panik bukan kepalang. Ia menyusul Nala yang melompat turun dari atap mobil dan menggantung ransel di salah satu pundak.

Kerumunan demonstrasi yang ricuh berlarian pontang-panting menghindari kejaran polisi. Agar tak bernasib buruk, Hana dan Nala berlari, ke mana pun. Keduanya berpisah saat Hana berbelok ke tikungan. Ada sekitar dua polisi yang mengejarnya. Nala bahkan nekat melompati pagar rumah orang. Ia berlari menuju perkampungan warga.

Napasnya memburu. Ia berhenti sekadar mengatur pernapasan sambil membungkuk. Menoleh ke belakang, ia tidak menemukan polisi. Merasa sudah aman, ia berjalan menyusuri gang. Ia melambatkan jalan sebentar sekadar mengirim pesan ke teman-temannya di grup.

Anarki: bego semua, njeng. Udah dibilang jangan ricuh!

Banyu: maap, komandan. Yang mulai duluan mereka loh.

Kresna: ndak ada yang keluar buat mediasi sih.

Jodi: udah, ketemu di markas. Yang belum balik siapa aja?

Sambil membaca dan mengirim pesan, Nala melangkah lamat-lamat. Beberapa bocah berlarian dari belakang, menyenggolnya sampai membuat ponselnya meloncat jatuh. Ia ingin mengumpat, namun tak jadi. Ia memungut ponselnya.

"Nirbita, tungguin. Bareng dong. Mau beli pita buat ospek juga, kan?"

Sepasang mata Nala sempat bersipandang dengan mata gadis yang berhenti menunggu temannya di belakang. Hanya beberapa detik sebelum gadis itu melenggang bersama temannya. Lalu, Nala melanjutkan langkah tak peduli.

*****

Bab spesialnya waktu mereka masih polos wkwkwkwkwkwkwk :'3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro