Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

File 6 - Nostalgia

"Dipa! Ke mana saja kamu, Nak?!" seruan dokter Ratih menyambut kedatangan kami.

Aku berdiri menjaga jarak beberapa meter, mengamati kedua orangtua Dipantara yang berkumpul di teras, terkejut melihat kedatangan putranya yang dikabarkan hilang di hutan saat melakukan ekspedisi.

"Masuk dulu. Jelaskan di dalam kenapa kamu hilang dan sekarang muncul tiba-tiba," tukas ayah Dipa seraya menggiring putranya masuk. Menoleh ke belakang, Dipa memberiku kode untuk ikut masuk.

Kuamati penampilanku dari puncak kepala sampai ujung sepatu. Sangat berantakan. Seharusnya kami singgah di apartemenku dulu sekadar beberes. Namun menurut Dipa, hal itu tidaklah aman bagi kami usai melarikan diri. Kakiku melangkah lamat-lamat. Aku tak pernah secanggung ini. Padahal ini bukan kali pertama kakiku menginjak rumahnya. Hanya saja karena orangtuanya ada di rumah ini, aku jadi sangsi mengenai penilaian mereka terhadap diriku.

"Bu, ini Mara. Kami hilang berdua di hutan dan sama-sama mencari jalan keluar." Dipa menunjukku.

Kusunggingkan senyum singkat. Dokter Ratih mengamati penampilkanku dengan saksama. Bibirnya mengembangkan senyum merekah. Ia lantas beralih menuju putranya lagi.

"Ayah sampai pulang setelah tahu kabar kehilangan kamu dari media massa Indonesia. Baru saja mau dicari bareng-bareng."

Aku yakin Dipa tak akan mau melibatkan orangtuanya ke dalam masalah. Apalagi masalah ini berbuntut dari masalahku. Tak seharusnya aku menyeretnya seperti saat aku menyeret Anarki. Ini bukanlah tindakan yang tepat.

"Silakan berbenah dulu," tutur dokter Ratih membuyarkan lamunanku.

Aku menggeleng. "Tidak perlu. Sebentar lagi saya pulang."

"Pulang dalam keadaan begini?"

Bagiku tak masalah. Aku mengangguk perlahan. Dokter Ratih dan suaminya meminta waktu sebentar pada Dipa dengan menariknya memasuki kamar. Kuamati sepenjuru rumah yang dipenuhi dengan bingkai-bingkai foto hasil bidikan lensa kamera Dipa. Ia seorang fotografer yang baik. Selain mencintai dunia teknologi, ia mencintai seni fotografi pula. Sembari mengitari seisi rumah, samar-samar kudengar pembicaraan ketiga orang itu di dalam kamar. Bukan bermaksud lancang, aku hanya penasaran. Maka, aku berhenti di dekat bufet yang memajang foto-foto masa kecil Dipa seraya mendengar percakapan di dalam.

"Kenapa kamu sampai begini, Nak?"

"Ah, ini mah biasa, Bu."

"Biasa bagaimana maksud kamu! Ibu tanya teman kamu, anaknya Bu Kinara, katanya kamu pisah sama dia dan melanjutkan petualangan. Tapi kamu nggak balik-balik. Ibu khawatir. Jadi langsung lapor polisi buat cari kamu."

"Sekarang aku kan baik-baik aja, Bu."

"Baik-baik aja apanya? Lihat. Wajah kamu lebam-lebam gini. Kenapa bisa begini?!"

"Yah, ini cuma kecelakaan biasa. Aku dan rombongan kepisah dan sempet jatuh. Terus ya begini hasilnya. Berhari-hari di hutan kayak begini mah biasa."

"Cewek yang kamu bawa pulang itu siapa?"

Indera pendengarku bekerja secara peka begitu diriku dilibatkan ke dalam pembicaraan. Aku memasang telinga.

"Temannya Anarki. Yang survive sama aku di hutan sampai bisa pulang lagi."

"Ya sudah, kamu buruan bersih-bersih. Ibu mau kabarin yang lain kalau kamu sudah pulang. Kakak kamu di Bali sampai bingung dan nggak bisa fokus sama kerjaan. Eh, beberapa hari lalu ibu dapat LoA. Kamu keterima di Leiden loh."

"Keterima di Leiden?"

"Kenapa? Kok kedengeran nggak suka?"

"Bukan gitu, Yah. Tapi..."

"Anaknya Gung Drana, si Maharani, juga keterima di Leiden di jurusan Linguistik. Kamu nanti jagain dia ya. Kan enak kalau sudah punya kenalan. Kalian dulu juga suka main bareng pas masih kecil. Ibu harap kalian bisa berteman baik."

Sepersekian detik aku termangu. Obrolan mereka serupa gaung di kepala. Diputar berulang kali bagaikan piringan hitam yang melagukan nyanyian sendu.

"Yah, Bu, aku kan baru pulang. Nanti aja ya pembicaraan dilanjut. Sebentar."

Sebelum pintunya dibuka, aku sudah berlalu dengan langkah panjang-panjang melintasi ruang tamu dan keluar rumahnya. Kukemudikan mobil yang membawa kami kembali kemari. Dari kaca spion, aku melihat Dipa keluar, berseru memanggil namaku.

"Mara!"

Tak kupedulikan seruannya. Jemariku bergerak memutar radio sekadar menyibukkan pikiran dengan lagu yang diputar. Ponsel yang baru kuganti nomor berdering di dasbor. Kuabaikan panggilan yang kuasumsikan dari Dipa.

Sejak itulah aku memutuskan untuk membelokkan setir, mengubah jalan hidupku, dan menerima ajakan Ramses untuk ikut bersamanya. Ia menghubungiku melalui sebuah pamflet iklan dengan meninggalkan kode-kode pada huruf yang dikaburkan—seperti yang ia lakukan pada undangan pesta waktu itu.

Sampai di apartemen, aku mencium aroma parfum maskulin pria yang amat sangat kukenal di ranjangku.

"Anarki." Aku berdecak pelan. Ia tak ada di sana saat aku datang.

Ketika menggeledah apartemenku sekadar memeriksa tak ada sesuatu yang janggal, aku menemukan pamflet iklan itu di bawah kaki meja—yang kemungkinan besar tidak sempat ditemukan Anarki. Pamflet itulah yang mengirimku pada Ramses.

Lantas keesokan harinya, aku datang lagi ke rumah Dipa. Ia sedang membersihkan lensa kamera di teras rumah. Melihatku berdiri di balik pagar, ia terlonjak, lalu meletakkan kameranya dan memelesat menghampiriku.

"Mara! Kenapa kamu tiba-tiba pergi?" Ia memelukku. Aku tak kunjung membalas pelukannya. "Aku kira kamu akan pergi."

"Memang." Kudorong tubuhnya untuk menjauh. "Aku akan pergi."

"Kenapa?"

"Kamu nggak akan aman sama aku, Dip."

Tanganku dicekal. "Itu bukan sebuah alasan."

Namun kenyataannya demikian. Selama bersamaku, ia akan terancam. Mereka akan menggunakan orang yang kucintai sebagai senjata membunuhku perlahan. Aku sudah cukup nyaman hidup sebatang kara. Sebab mereka tak memiliki daya untuk menyentuhku melalui orang lain. Aku tak suka melibatkan siapapun ke dalam setiap masalah yang kuhadapi.

"Ijinkan aku pergi. Biar kamu bisa fokus belajar. Jangan jadikan aku penghambat pencapaian kamu. A lover shall be a supporter."

"Aku nggak akan bisa fokus kalau kamu mendadak begini."

"I'm sorry." Kugenggam tangannya. "Forget me."

"You can't do this to me."

Senyum pahit terkembang di bibir. Aku berjinjit, lantas mendaratkan kecupan di sudut bibirnya dan berbisik, "Jangan khawatir. Aku selalu berada dekat di denyut nadi kamu." Melangkah mundur, kulayangkan senyum terakhir. Ia bergeming mengamatiku melangkah mundur hingga terdengar bunyi decitan ban jeep yang diparkir di depan pagarnya.

"Mara. Kamu nggak bisa lepas dariku."

Aku melambaikan tangan, kemudian lenyap di balik pintu yang dibuka seseorang dari dalam. Agar tak menimbulkan nyeri di dada, aku enggan memandangnya lagi. Kuarahkan mataku lurus ke depan. Sampai jeep dikemudikan pergi. Kutundukkan kepala, mengeluarkan sebuah jam bandul yang kukeluarkan dari dalam ransel.

"Nggak nyangka kamu bisa meninggalkan satu-satunya hal yang kamu punya demi kami," suara seseorang di sebelah menegur.

Bagas, salah satu yang termuda di dalam tim, berdecak antara memuji dan mencemooh. Aku mulai mengalungkan jam tersebut dan menyembunyikan bandulnya di balik kaus.

"Aku melakukan ini bukan buat kalian."

Kulabuhkan pandangan menuju ke luar jendela. Gedung-gedung pencakar langit tampak di luar seperti sebuah ornamen yang disiapkan sebagai panglima perang. Tak akan ada perang yang berakhir. Selama detak jantung surya masih ada, peperangan tak akan pernah berakhir.

"Mara! Fokus!"

Dari belakang, seseorang menempeleng kepalaku. Aku menggerung kesal kembali ke waktu sekarang usai memutari ingatan yang terkadang muncul di permukaan. Ingatan itu kembali ke dalam kepalaku, membawa kesadaran yang sejak tadi ditelikung lamunan.

Teman-teman yang lain membidik papan sasaran yang tersebar di beberapa titik. Aku mengamati senjata di genggamanku. Waktu seakan menghapus sedikit demi sedikit kenangan di pikiran. Agar kenangan-kenangan itu tidak berhasil terhapus, maka sesering mungkin aku memutarnya kembali. Kuamati bandul jam yang kukalungkan. Satu-satunya hal yang ditinggalkan Maman untukku. Beberapa sebelum ia mengakhiri hidup, benda ini diangsurkan padaku, diminta untuk membawa dan menjaganya. Aku tak pernah mengeluarkannya dari kotak kayu. Benda itu selalu terkurung di dalam kotak kayu bertahun-tahun. Hingga datanglah waktu yang memerintahkanku mengenakan benda tersebut.

"Mara sayang. Selalu ingat bahwa waktu adalah cambuk yang harus membawamu bangkit dan lekas berlari. Seandainya kamu ingin berhenti, berhentilah di angka yang tepat."

Setelah berhenti di angka yang tepat, yakni ketika waktu mempertemukan aku dengan dirinya, aku tak akan pernah mengembalikan jam ini ke dalam kotak kayu. Akan kupandangi jam ini sesering mungkin, agar tahu kapan waktu mengembalikan ia padaku.

*****

Bunyi jarum jam yang berputar terdengar lantang di tengah kesenyapan. Sejak beberapa jam lalu, aku menekuri laptop. Jemariku ketak-ketik pada keyboard dan menggeser kursor memilih banyak artikel untuk kubaca. Salah satu artikel kudiamkan cukup lama. Bukan barisan kalimat yang menjadi fokus perhatianku, melainkan foto yang menyertai.

KERTABHUMI GIRINDERAWARDANA MEMPERKENALKAN CALON ISTRI PADA PUBLIK

Artikel tersebut ramai membanjiri dunia maya sejak Bhumi mengaku di depan awak media yang meliput launch event kemarin malam bahwa perempuan yang digandengnya adalah tunangannya. Anafora Maesenas. Seorang gadis lulusan Universitas Brown yang dikenalnya di Amerika. Wow. Skenario macam apa itu? Seandainya Lily memberiku kesempatan untuk ikut campur, sudah pasti akan kuubah skenario yang mereka jalankan.

Jangan bilang bahwa aku tak memiliki skenario cadangan bila skenario mereka tidak cukup kuat. Untuk sekarang, cukup aku yang memegangnya. Bahkan Mara yang menjadi satu-satunya orang yang kupercayai tak kuijinkan mengulik rahasia ini. Ia tidak pernah tahu bahwa Padang Bulan yang diberitakan hilang dan meninggal bermetamorfosis menjadi calon istri seorang konglomerat. Aku sangsi Mara masih mempertahankan keyakinannya bahwa Padang Bulan telah mati bila dipertemukan dengan Anafora Maesenas.

"Kenapa kamu masih terjaga selarut ini?"

Menoleh ke belakang, kuamati Anura yang berbaring miring memandangku. Aku menghapus jejak laman yang kukunjungi di laptop dan menutupnya. Kuhampiri ranjang dan berbaring di sebelahnya. Ia merangsek makin mendekat dan memelukku.

"Aku udah nyuruh kamu balik ke Paris, kan?"

Ia menengadah. "Tanpa kamu? Nggak akan."

"Masih banyak urusan yang harus aku selesaikan di sini, Sayang."

"Aku akan tunggu."

"Dasar keras kepala." Kukecup puncak kepalanya, membawanya lelap dalam pelukanku.

"Aku menunggu sepanjang eksistensiku sampai akhirnya ketemu kamu, cuma buat bilang: Tu es la femme de mes rêves. Je t'aime, je t'adore, pur tojours et à jamais. Mon amour pour toi est éternel."

Suaraku terputar lagi dalam kepala. Aku ingat pernah mengatakan kalimat itu pada seseorang yang benar-benar aku cinta dan gilai setengah mati. Sayangnya, aku tak bisa menggunakan kalimat itu untuknya. Sebab ia benar-benar mati.

*

Hari ini Maman dibawa pulang. Aku dan Sabrang membantu memapah tubuhnya keluar dari mobil. Kruk dibawa Anura ke dalam rumah. Sepanjang jalan ia tak berhenti mengomel dan mendesis kesakitan saat hampir jatuh.

"Pegangnya yang bener dong! Aduuuh. Punya anak-anak kok ya nggak bisa ngertiin kondisi emaknya gini sih."

Bola mataku terputar. Aku biarkan ia mengomel mulai dari kakinya yang sulit digerakkan dengan leluasa sampai tagihan listrik yang makin membengkak. Namaku lagi-lagi dibawa ke dalam omelannya. Ia mengungkit masalah tiket pesawat dan biaya kuliahku.

"Harusnya kamu kuliah yang bener. Bayar kuliah itu mahal, Nala!" serunya, setelah kubantu duduk berselonjor di sofa. "Mending kamu balik sana! Maman kan udah nggak apa-apa."

"Nggak terlalu mahal kok, Ma. Kan ada subsidi dari pemerintah Prancis. Beda sama di Indonesia."

"Meskipun gitu tetep aja Maman keluar duit. Mbok kira duit itu terjun payung dari atas langit?" Mata Mama memelotot padaku. Sabrang menahan diri tak mengeraskan suara tawanya. Di sini ia yang paling bahagia melihatku menjadi bulan-bulanan Maman. Pandangan Maman beralih menuju Anura. Ia sudah kuperkenalkan dengan Anura sejak pertama kali datang ke Surabaya. "Kamu tolong bujuk Nala biar balik ke Prancis ya."

Anura menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Dia bilang mau tetap di sini, Tan."

"Udahlah, Ma. Nanti kalau Maman membaik, aku bakal langsung balik kok."

"Papa mau pulang, Ma."

Maman membeliakkan mata. "Siapa yang ngadu ke Papa?"

Aku menunjuk Sabrang, sedangkan adik kurang ajarku itu mengarahkan telunjuk ke mukaku.

"Kak Nala bilang lebih baik ngadu ke Papa."

"Sabrang yang nelepon Papa."

"Kan Kakak yang nyuruh!"

"Salah sendiri kenapa nurut."

"Heeeeh. Kenapa malah ribut sih? Pusing dengernya." Maman menyentuh kepala dan menggeram. "Ya Gusti... ngidam apa hamba dulu. Udah. Kalian pergi aja. Maman mau istirahat di sini."

Kruk yang dipegang Anura disandarkan pada sofa terdekat. Sabrang menghidupkan televisi, mencari saluran sesuai perintah Maman.

"Oh ya, Nala. Suruh pacar kamu tidur di rumah ini aja ya. Biar Maman banyak yang jagain." Maman memandang Anura. "Mau kan, Sayang?"

"Iya, Tante."

Aku mendesah pendek. Maman memintaku mengantar Anura menuju kamar kosong—yang dulu hendak digunakan untuk adikku yang gagal lahir ke dunia. Kamar sama yang pernah ditempati Nirbita di sini. Sampai di kamar, ia menelisik seisi ruangan. Dipandanginya boneka-boneka di ranjang berukuran queen dengan seprai warna merah muda tersebut.

"Kamu punya saudara perempuan?" tanyanya.

Kugelengkan kepala. "Adik perempuanku meninggal dalam kandungan."

Bibirnya tercebik ke bawah. "I'm so sorry."

"Aku ambil barang-barang kamu. Kamu jagain Maman di sini aja ya."

Ia mengangguk. Kutinggalkan ia sendirian di kamar itu agar bisa istirahat pula. Menuruni anak tangga, Maman masih berbaring di sofa menonton televisi. Ia memerintahkan Sabrang mengganti saluran berkali-kali.

"Mau ke mana?"

"Ambil koper Anura, Ma."

Maman melengos membiarkanku pergi. Sejujurnya, tujuanku ke luar bukan hanya mengambil koper Anura di apartemen. Mobil kukemudikan menuju jalanan komplek, setengah mengebut agar tak membuang banyak waktu.

Malam ini jalanan masih ramai. Tak ada perubahan apa pun. Segala hal tampak sama. Yang berubah hanyalah keadaan. Rencana-rencana yang pernah kubuat tak berhasil terealisasikan. Semua hancur dalam sekejap mata bagaikan setangkai dandelion rapuh yang tertiup angin.

Aku berhenti di depan sebuah rumah yang terlihat kosong dan gelap. Kubuka kaca jendela, mengamati rumah tersebut. Banyak dedaunan berserakan di teras memperjelas bahwa tak ada seorang pun yang menjamah rumah itu. Samar-samar, aku mendengar petikan gitar dan nyanyian Jodhipati bersama kawan-kawan. Disusul tawa Antareja dan Kresna melihat Banyu Biru kalah main gaple. Teriakan Hana yang melengking dari dalam seketika menghentikan aktivitas mereka.

"Besok kita aksi. Banyak yang harus dipersiapkan. Kalau Anarki datang dan ngelihat kalian main beginian bakal habis."

"Tuh udah datang." Durga menunjuk ke arahku.

"Kenapa nggak ada yang kerja nih? Buruan woy! Malah main gaple. Properti demo banyak yang masih mentahan tuh."

"Iya, Gusti Prabu..."

Tawa mereka menggelegak mencemooh. Makin lama makin kecil. Lalu hilang meninggalkan kesunyian malam. Sejak aku pergi dari Indonesia, organisasi ini bubar. Sebagian temanku yang sudah lulus melamar pekerjaan, melanjutkan studi, dan menikah. Sedangkan yang belum lulus masih sering mondar-mandir di kampus. Aku dengar Kresna pulang ke Sragen dan menikahi teman SMAnya. Jodhi diterima sebagai asisten manajer di sebuah perusahaan. Sarasvati dan Durga sibuk dengan skripsi. Antareja diterima di Universitas Indonesia. Banyu yang sama-sama ndableg sepertiku masih betah di kampus. Hana menjadi bagian HRD suatu perusahaan di kota ini. Setidaknya aku masih mengetahui nasib teman-temanku yang menjalankan kehidupan seperti biasa.

Kubuka pintu mobil, melenggang masuk dan merogoh saku mengambil kunci. Aku yang memegang kunci basecamp. Hana yang menyimpan duplikatnya. Ketika pintu kubuka, keadaan basecamp terlihat sedikit berantakan. Kuhidupkan lampu untuk memeriksa ke dalam.

Tak dapat kupungkiri bahwa aku merindukan masa-masa kuliahku di sini. Buku-buku yang dulu disimpan di rak sudah diberikan ke beberapa taman baca dan Save Street Child. Raknya kosong melompong. Aku memeriksa ruang baca tempat biasanya merenung dan menyendiri. Duduk di salah satu sofa, aku bergeming mengamati keadaan di sekitar. Memang benar. Teman yang baik adalah mereka yang bisa menjadi rumah kedua. Aku merindukan teman-temanku di sini.

Setelah puas memeriksa keadaan basecamp, aku melanjutkan perjalanan. Rintik hujan mengguyur kota Surabaya. Tidak deras. Hanya berupa gerimis kecil. Kendati demikian, dingin mulai menyusup ke dalam. Aku memilih untuk membuka kaca jendela sehingga dapat kuhirup aroma petrikor yang membawa segala kenangan pahit dan manis. Air yang menetes di kap dan kaca mobil seperti jarum yang dilempar dari langit. Saat melemparkan perhatian ke luar, mataku sontak terpaut pada satu sosok. Seorang gadis berdiri di depan swalayan, memeluk tubuhnya.

*****

"Kamu nggak bilang kalau dia di sini."

Mendengar protes yang kulempar padanya, Tirta mengangkat bahu. Aku celingukan ke kanan dan kiri sekadar memastikan bahwa Bhumi belum kembali ke rumah dan mendengar percakapan kami.

Dari balik senapan yang dibersihkannya, Tirta memandangku. "Emang apa pentingnya buat kamu sih? Wake up, Dear. Lihat sekelilingmu. Kamu nggak perlu lagi mengingat masa lalu kalau sekarang bisa mendapatkan segalanya. Keamanan, bodyguard kece, tunangan kaya raya dan nggak kalah ganteng sama mantan kamu, apa lagi?"

Aku mengernyit. "Kamu nggak akan paham sama apa yang aku alami dan rasain." Kuhentakkan kaki meninggalkannya.

"Mau ke mana kamu?"

"Cari udara segar. Jangan ngikutin."

Menuruti perintahku, Tirta tetap di tempat duduknya, kembali membersihkan senapan. Aku mengambil kardigan, membiarkan rambutku yang hari ini kuikal terurai, lalu mengenakan heels yang tak terlampau tinggi. Kalau saja tak kuingat siapa aku sekarang, mana mau aku mengenakan heels dan berdandan semenor ini hanya untuk pergi ke swalayan.

Meski di sini terdapat mobil lain yang dipakai, aku memilih naik taksi. Kalau Bhumi tahu aku keluar tanpa pengamanan, ia pasti marah. Bukan aku yang akan dimarahi, melainkan Tirta. Bodo amat. Lagipula Tirta pasti mengawasiku dari jarak jauh. Ponselku tersambung dengan detektornya.

Taksi yang kupesan membawaku menuju swalayan besar yang agak jauh dari komplek perumahan. Aku jenuh berada di rumah. Aku butuh udara segar. Jadi jangan salahkan aku bila meminta sopir taksi membawaku sedikit jauh.

"Sudah sampai, Non."

"Yang agak jauhan lagi deh, Pak."

Sopir taksi menghela napas pendek. Mobil kembali dilajukan mengikuti kemauanku. Ia membawaku keliling kota. Sepanjang jalan, kuamati pemandangan kendaraan dan gedung-gedung bertingkat yang diselimuti cahaya remang-remang. Saat melewati kampusku, aku menegakkan tubuh dan membuka kaca jendela. Di pintu keluar tampak beberapa mahasiswa berjalan beriringan dengan tawa menggelegak. Tanpa mengubah posisi duduk dan pandanganku ke luar, aku justru diingatkan pada kejadian malam lalu. Untuk pertama kalinya aku melihat ia. Kukira ia datang karena membaca pesan tersiratku. Jika benar ia membaca pesan-pesan yang kusublimkan di setiap cuitan di internet, mengapa ia tega melupakanku dan mengganti posisiku dengan gadis lain?

Heh, kau sendiri melupakan dan mengganti posisinya dengan orang lain. Sadar diri, benakku mencericit. Mungkin benar ini pembalasan alam. Seharusnya aku tak boleh egois. Barangkali ia tahu bahwa aku berada dalam genggaman Bhumi sehingga memilih untuk melupakanku dan membiarkanku menjalani kehidupan baru. Sebagai orang baru.

Lagipula, pesan-pesan yang kausublimkan untuknya hanyalah berisi tanda bahwa kau baik-baik saja. Kau tidak boleh kembali padanya. Bukankah sejak dari awal kau memutuskan untuk melepasnya? Kau yang meninggalkannya. Dia berhak melupakanmu atas sikap yang kau berikan padanya. Seseorang berbisik begitu di kepalaku. Aku membenarkan bisikan asing itu. Aku sangat naif. Semua sudah usai. Ingatkan aku bahwa segalanya telah berakhir. Itu artinya aku sangat bodoh meninggalkan pesan-pesan konyol untuk seseorang yang tak lagi peduli padaku dan bersenang-senang dengan perempuan lain.

Dasar naif, lagi-lagi bisikan itu menyudutkanku.

Taksi berhenti di depan swalayan. Aku keluar begitu kuberikan uang bayaran. Aku menggenggam tas rantaiku, memasuki swalayan, dan menuju ke lemari pendingin. Kupandangi isi di dalam lemari tersebut selama sekian detik, kemudian memungut beberapa kaleng bir. Bhumi pasti marah bila melihat isi tas belanjaku.

Usai membayar belanjaan, aku keluar. Langkahku terhenti saat kusadari langit malam mencurahkan air ke bumi. Meski tidak deras dan hanya berupa rintik, aku berhenti sejenak sembari memeluk tubuh karena dingin mulai menggerayangi kulitku.

Tatapanku berganti dari langit kemerahan menuju sebuah mobil yang amat sangat kukenal—bahkan nopolnya pun aku hapal. Kedua alisku menyatu. Ada sengatan kecil dalam jantungku saat si pemilik mobil menampakkan diri. Aku memalingkan pandangan. Kukira ia hendak menyapaku. Nyatanya ia melewatiku tanpa sapa—memandang pun tidak—, memasuki swalayan, membiarkan aku berdiri melongo memandangnya. Ia benar-benar tak peduli pada eksistensiku di sini? Yang benar saja!

Tak berselang lama, ia keluar lagi, berhenti di sebelahku, lantas menyulutkan pemantik pada rokok di bibirnya. Aku berdiri dalam kecanggungan. Hendak kulangkahkan kaki untuk menghentikan taksi di jalan raya, tapi hujan berubah menjadi deras. Shit.

"Mau pulang?" tanyanya membuka percakapan.

"Menurut kamu?"

"Nanya aja."

Aku meliriknya ketus. Kulipat tangan di depan dada menghalau dingin makin membuatku menggigil. Namun sial, kardigan yang kugunakan sangat tipis dan tak mampu membuatku bertahan.

"Hujan deres nih. Mau bareng?"

"Nggak usah. Makasih." Aku mengeluarkan ponsel mencoba memesan taksi. Sialnya, ponsel tak berpihak padaku. Ia mati di saat-saat seperti ini. Aku mengumpat perlahan.

"Nggak usah sungkan-sungkan. Aku antar pulang."

Aku berpikir selama beberapa detik. Kalau Bhumi datang lebih dulu dan tidak melihatku di rumah, ia pasti marah. Aku tidak peduli jika Tirta menjadi korban amukannya. Masalahnya, aku tak suka dilempari banyak pertanyaan.

Ia melangkah lebih dulu, lantas kuekori di belakang. Wajahku memberengut melihatnya nyelonong masuk tanpa membukakan pintu untukku. Masuk ke mobilnya, kubanting pintu keras. Ia mematikan AC dan membuka kaca jendela di sampingnya agar asap rokoknya keluar. Ia melempar puntung rokok di jarinya, lalu menoleh ke arahku. Aku diam seribu bahasa. Tak suka dengan keheningan, kuhidupkan musik tanpa meminta ijinnya. Kami terlibat perang bisu sepanjang jalan. Hujan yang semula deras berubah menjadi gerimis. Aku membuka kaca jendela sampingku sekadar menghirup aroma kedamaian yang sejuk malam ini.

"Kenapa kamu mengirim pesan-pesan itu? Berharap aku tahu kamu masih hidup? Lalu kenapa kamu ninggalin aku?" tanyanya. Aku enggan menjawab dan menoleh. Ia tertawa pendek. "Kamu memilih bersembunyi dengan orang asing."

"Aku memilih menjalankan wasiat Papaku." Akhirnya, aku menoleh memandangnya. "Pesan terakhirnya sebelum terbunuh. Aku mengikuti kemauannya."

Ia balik memandangku. Ada sesuatu di kedua matanya yang ingin ia ungkapkan. Tatapannya berpindah lurus ke depan. Ia berdeham pelan. Matanya bergerak menyorot tas belanjaku. "Sejak kapan kamu minum?"

"Bukan urusan kamu."

"Oh iya lupa. Pacar orang. Sori ikut campur." Ia memelankan laju mobilnya.

"Aku nggak suka nada bicara kamu."

"Kenapa?" ia pura-pura bingung.

Kuhela napas panjang. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kudengar ia berdecak setelah meneliti penampilanku.

"Lain kali kalau keluar nggak usah menor-menor dandannya. Bisa ngundang bahaya, tahu."

"Berisik banget sih."

"Aku kan menilai sebagai cowok normal."

"Emang aku dandan buat cowok? Aku dandan buat diriku sendiri."

"Ya kalau begitu nggak usah marah kalau kecantikannya dinikmati orang asing."

Tanganku tergenggam erat. "Turunkan aku di sini."

"Oke."

Sebelah alisku terangkat. Ia benar-benar menurunkan aku di tengah jalan tengah malam begini?! Mobilnya dihentikan di pinggir trotoar. Aku mengamatinya dengan wajah memberengut, sebelum akhirnya membuka pintu dan menghempaskannya keras. Kusingkirkan beberapa helai rambut yang diterpa angin malam pasca hujan, melangkah menjauhi mobilnya setengah hati membawa amarah yang ingin meletup dalam dada.

Nala Anarki berengsek!

Aku ingin meneriakkan kalimat itu keras-keras. Baru setengah langkah meninggalkan mobilnya, hak sepatuku patah. Aku melepas dan memungutnya. Nala memundurkan mobil sampai di tempatku.

"Putus ya? Kasihan. Balik masuk sini."

Rasanya ingin kulempar sepasang sepatu ini ke mukanya. Jalanan sangat sepi dan jarang ada kendaraan lewat. Aku tak lagi takut pada orang-orang yang berniat jahat. Yang kukhawatirkan adalah amarah Bhumi bila melihat penampilanku berantakan usai menghajar orang-orang jahat di jalanan. Mau tak mau, aku kembali lagi masuk ke dalam mobilnya. Harga diriku seakan jatuh tercecer di jalanan.

Nala menertawai ekspresi memberengutku. Kuabaikan tawanya. Saat ia menjalankan lagi mobilnya, aku membuka tas belanja dan mengambil satu kaleng bir.

"Jangan mabuk di mobilku, Nona Anafora. Kalau muntah, aku yang repot."

"I don't give a damn, Monsieur Renoir." Kubuka pengait penutupnya, lantas menenggak isinya. Aku menghembuskan napas panjang. "Boleh aku minta sesuatu sebelum kamu antar aku pulang?"

Ia memandangku. "Apa?"

*****

"I AM FUCKING FREE! Look at me bitches!" Anafora menghabiskan semua kaleng bir yang dibelinya di swalayan. Aku mengamati dirinya menenggak kaleng terakhir dan duduk di kap mobilku sembari tertawa cekikikan, menghadap lautan lepas dengan pemandangan jembatan Suramadu yang terlihat elok dihiasi lampu terang.

"Stop drinking." Aku merebut kaleng di genggamannya. Ia membiarkan kalengnya kubuang.

Setengah sadar, ditatapnya aku dari atas kap. "Terima kasih udah bawa aku ke sini." Telunjuknya digerakkan di dekat pelipis. "Aku pusing di rumah seperti tuan putri yang dikurung dalam istana."

"Ya. Terus pas udah kuantar pulang, aku dihajar tunangan kamu sampai babak belur."

Ia tertawa. Tangannya diletakkan di atas pundakku, nyaris terjengkang ke depan. Kutahan pinggangnya membantunya mengatur keseimbangan tubuh. Helaian rambutnya menutup sebagian wajahnya.

"Kenapa ada orang lain yang mengisi hati kamu?" bisiknya tiba-tiba.

"You're drunk. Let me take you home."

Ia menggeleng. Deru napasnya dapat kurasakan di sekitar leher dan wajahku, membawa aroma alkohol.

"Dulu kamu bilang kalau kamu akan mencintaiku selamanya." Tangannya menepuk sebelah pipiku berulang kali. "You lied." Aku melihat genangan air mata di kedua matanya.

"I take any risk just for you."

Mendengar penuturanku, tawanya menyembur. "Men and their bullshit."

"Kalau dengan membiarkan kamu aman bersama Bhumi adalah jalan keluar yang terbaik, akan kulakukan."

Disentuhnya pipiku. Dapat kulihat pantulan bayanganku di sepasang matanya. Wajahnya didekatkan padaku.

"Je t'aime, Nala..." bisiknya. Maju ke depan, matanya terpejam. Sebelum sempat mendaratkan ciuman di bibirku, ia jatuh dalam pelukanku, tak sadarkan diri. Napasnya terdengar memburu. Keringat menganak sungai di leher dan pelipis. Aku menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya. Kuangkat badannya dari kap mobil, menidurkannya di jok belakang, dan membiarkannya menyelami mimpi.

Duduk di jok kemudi, aku perhatikan ia dari rearview.

"But you ain't Nirbita Arunika anymore," ujarku perlahan.

*****

Uthuk uthuk hati siapa yang perihhh...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro