File 5 - Sabuk Orion
Kurekomendasikan mendengarkan alunan pianonya sekalian
*
Meski langit kelabu telah menumpahkan rintik hujan deras di bumi, hatiku tak kunjung dingin. Kupandangi rintiknya yang deras bagaikan jarum yang dijatuhkan malaikat dari balik jendela, duduk termangu dengan dagu terbenam di atas sandaran sofa lengan pendek. Suara merdu nan berat Mara terdengar di belakang mengikuti lagu yang diputarnya sebagai latar berlarat-larat. Pantulan bayangannya tertangkap kaca jendela, tengah berputar-putar, menari, lantas menghempaskan badannya di sofa sambil memelukku dari belakang.
"I'm gonna fight to your love like a gladiator," ujarnya memungut penggalan lirik lagu tersebut. Lantas bahuku ditinju pelan. "Ayo katakan begitu di depan dia. This is not you. Where's my Anarki, huh?"
"Died with the rest of his life," balasku muram.
"Ugh pitty you." Mara menggesekkan pipinya pada pipiku. Ia menggulingkan badannya ke samping, mengeluarkan benda yang kemarin kuberikan padanya untuk disimpan. Sebuah gantungan kunci berjumbai-jumbai—berbentuk ikan—dengan mata mengkilat bak mutiara. Kepalanya menengadah menelisik gantungan kunci berwarna merah tersebut, yang terkait di telunjuknya.
"Apa yang kulakukan buat dia kayak sia-sia," lanjutku.
"Ah, anggap aja kamu ngelakuin segalanya bukan buat dia."
"I can't."
Dahinya mengernyit menampakkan garis-garis cukup dalam. "Terus yang kamu lakuin selama ini? Kamu udah banyak kasih sumbangsih buat negara nelangsa ini sejak sebelum ketemu sama dia. Come on." Bola matanya terputar.
Perempuan dengan segala omong kosongnya. Seandainya memang aku tak baik baginya, katakan saja yang sejujurnya. Daripada memendam alasan sebenarnya atas penolakan berkali-kali yang kuterima. Alih-alih ia berkata tak ingin melihat pertikaian antara aku dengan teman baikku.
Tai.
Aku akan menolak keras bila dikatakan ini adalah karma. Atau benar aku kena karma? Kalau benar ini balasan Tuhan, harusnya Dia menundanya terlebih dahulu. Apa yang kulakukan saat ini ada alasannya. Jika benar Tuhan Maha Mengetahui, tidak seharusnya aku diberi karma seperti ini. Tidak adil. Aku telah melakukan banyak pengorbanan untuknya, Tuhan! Engkau tahu, kan? Engkau yang menyaksikannya sendiri. Sekarang aku terdengar pamrih. Oh, siapa tahu Tuhan sedang bercanda denganku. Atau Dia kesal padaku karena jarang mengingatNya dan tak pernah salat.
Di sebelah, Mara terus-menerus mengamati benda di tangannya.
"Kenapa kamu minta aku menyimpan ini?"
"Karena aku tahu kamu sangat suka." Kuputar badanku dan merangsek lebih dekat di sampingnya. Aku menunjuk mata benda tersebut. "Priceless thing can't be covered any longer."
Seolah memahami perkataanku, Mara mencongkel bagian mata tersebut. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, memegang benda bulat tersebut di antara ibu jari dan telunjuknya. Benda tersebut diangkat, terlihat mengkilat dan bersinaran di bawah lampu ruang tengah.
"What a mother fucker..."
"Sebuah mutiara yang disembunyikan dalam sebuah aksesoris."
"Kamu dapatkan ini dari mana??"
Aku tersenyum miring, merebut mutiara kecil itu dan menelisiknya sambil menyandarkan kepalaku di punggung sofa. "Rupanya begini ya cara mafia menyelundupkan mutiara dari RI setelah gagal melewati perairan dengan kapal. Hipotesis sementaraku, penyelundup mutiara ilegal ini ada hubungannya dengan Big Rat."
Sebelah alis Mara terangkat skeptis. "Porquoi (kenapa)?"
Sudut bibirku tertarik separo. Menoleh ke samping, mataku berpautan dengan matanya. "Coba tebak kenapa?"
Senyumnya terulas miring diikuti kernyitan hidungnya mengerti. "Tahu kan kalau aku dan kamu ibarat punya kemampuan telepati? I can read all of your minds."
"Ya... lihat aja nanti, Mara. Akan kutunjukkan siapa yang jadi pengkhianat."
Ia mengernyitkan dahi. "Traitor?"
Kuusap sebelah pipinya yang memerah seperti kedinginan. "Kamu yang ngajarin aku buat nggak mudah percaya orang lain. You should to. Be careful." Untuk yang satu itu, rasanya kau tak bisa bertelepati. Sebab ada yang menutupi mata dan pikiranmu, Mara. Yang kusebut sebagai kasih sayang semu.
Kuserahkan lagi padanya mutiara bening tersebut.
Mara menyambarnya, berbaring berbantalan lengan sofa memutar-mutar benda itu dengan pandangan kosong, sedangkan aku melintas untuk pergi. Langkahku terhenti diekori mataku yang mengarah menuju atas meja, di mana Mara meninggalkan sketsanya di samping sebuah pensil. Aku memungut kertas tersebut. Ada selentingan ingatan menubruk kepalaku melihat sketsa tersebut.
"Ini yang ketemu kamu di supermarket?" Aku memamerkan sketsa itu pada Mara yang langsung menoleh.
"Aha."
Tak kusangka, aku justru terbahak pendek. Pantas saja tak asing. Ini dia, Ergo, keponakan Pak Gatot yang kemarin satu meja denganku. Berani sumpah, tatapannya pada orang asing sungguh tak asik.
Kutinggalkan sketsa tersebut di atas lantai setelah menginjaknya acuh tak acuh, tidak peduli geraman Mara yang memakiku dalam dwibahasa (Indonesia-Prancis) setelah melihatnya.
Di belakang, sebelum aku lenyap di balik tembok, aku mendengar ponsel Mara berdering. Ia menjawabnya tangkas dan penuh kegembiraan.
"Ya... aku masih di sini. You miss me, Daddy?" tawanya terdengar bergemerincing. "Ah... ya. Anarki ada di sini. Kenapa? Dia masih sering datang kemari. You wanna hear his voice or something?" Nadanya terdengar canggung. "Oh. D'accord (oke)."
Ia memutuskan panggilannya bersamaan dengan langkah kakiku yang melimbai pergi membawa serta rasa penasaran sekaligus marahku.
*
"Aku butuh bantuan kamu."
Mendengar empat patah kata yang kulemparkan tanpa basa-basi, Dipantara berhenti mengaduk machiato panasnya untuk melarutkan gula yang baru ia tambah. Kepalanya terangkat, menatapku lurus-lurus.
"Bantuan apa?" cengiran kurang ajarnya muncul begitu saja.
"Aku minta master aplikasi hacker sama finder di komputermu. Oh ya, kalau boleh, mintain pelacak bapakmu dong."
Bibirnya tercebik tak sependapat. "Kamu tahu sendiri aplikasi dan alat seperti itu nggak boleh diedarkan seenaknya."
Bocah ini tahu betul cara berdiploma. Aku menahan napas, mencondongkan badanku ke depan agar orang lain tidak mencuri dengar pembicaraan di meja ini.
"Belum pernah masuk rumah sakit gara-gara dihajar orang ya?" bisikku penuh penekanan tiap kata.
Cengirannya makin lebar. Ia gagal menyeruput machiatonya, alih-alih membalas tatapanku seolah itu bukanlah ancam tersirat. "Mintanya baik-baik makanya."
Aku mendesah panjang. Punggung kuhempaskan pada sandaran kursi besi hingga terdengar bunyi derit kasar. "Lu lama-lama ngeselin banget ya. Nggak usah balik dari Belanda coba. Daripada muncul di sini nggak guna banget di kehidupan orang."
Tawanya berderai. "Lah, kalau aku nggak balik, nggak bisa bantuin masalah kamu dong? Ya udah, sini, biar aku bantu. Abis ini kita ke rumahku bawa serta laptopmu. Biar aku kasih masternya. Buat apaan sih? Kalau nggak mau ngasih tahu alasannya, jangan harap loh minta bantuan."
Aku berdecak satu kali. "Nanti aku jelasin."
"Semuanya?"
Mengapa lama-lama ia jadi mengesalkan? "Makin ke sini makin ngelamak lu, Cuk."
Ia mengedikkan bahu. "Ya apa gunanya temen? Begini, karena cewek yang kita incar udah jadi punya orang lain, mending kita fokus yang lain deh. Why don't we share each other and discuss everything about... her?"
"About what?" Aku mengernyit tak mengerti.
"About her protection, may be?"
"The fuck you mean?" Nadaku merendah beberapa oktaf.
Dipa mengamati cangkirnya selama beberapa detik. Helaan napasnya tampak berat, lantas kembali teratur. Matanya bersirobok denganku. "Honestly, aku tahu semuanya kok. Waktu Nirbita sadar dan ingatannya bermasalah selama beberapa hari, aku minta dia mencatat setiap hal yang sempat mampir di kepalanya. Dia menulis semua yang diingatnya secara sporadik. Aku yang merunutnya dari awal sampai akhir." Ia memberi jeda dengan sesapan pertama machiatonya. "Aku yang nyimpen buku catatannya selama dia berusaha mengumpulkan informasi secara acak. Sampai kondisinya benar-benar pulih."
Aku memandangnya tak berkedip. "Jadi kamu tahu siapa itu Padang Bulan?" What a bitch. Dia berpura-pura tak mengetahui Padang Bulan seakan menertawaiku di belakang sana. Nirbita juga pasti tahu bahwa Dipa menyimpan semua rahasianya. Aku menghela napas kasar. Marah pun tak akan ada gunanya. Lagipula, memarahi siapa?
"Jadi, Nala. Apa yang sebenarnya kamu hadapi sekarang? I promise will help you."
"Nggak ah. Kamu tukang pamrih."
Spontan, tawa Dipa meledak. "Gitu amat, Bro. Ya nggak lah. Aku nggak minta balasan apapun kok. Lagipula, aku memilih mundur. Kalau kamu masih mau ngejar, kejar dia sampai dapat. When love beckons to you, follow."
"Nggak usah sok bijak nyelipin quotes Kahlil Gibran, Anjing."
Lagi-lagi ia tertawa sambil meraih cangkirnya dan menyeruput lagi. Kami tak lagi saling bicara, kecuali mendengarkan lagu retro yang diperdengarkan seantero kafe, hingga menguar di teras tempat kami berteduh.
*
Malam hari di antara bunyi gerimis yang menyapu malam berkabut, aku mengamatinya dari balik kaca jendela mobil berembun. Di dalam Historica Coffee & Pastry, ia terlihat di antara deretan bocah-bocah sosialita berkedok Humaniora yang menyandang status 'anak BEM'. Anak BEM macam apa yang berkelompok di sebuah kafe semahal itu hanya untuk merumuskan kegiatan akhir Januari nanti? Tidak heran bila ketuanya adalah Bhisma.
Kuhidupkan musik keras-keras menghalau bunyi gerimis yang menempias atap dan kap mobil. Meski suaranya tak terdengar sampai kemari, aku seperti mendengar tawa gembiranya. Pandangannya beralih dilempar ke luar. Lebih tepatnya, ke arahku. Ia celingukan seraya beranjak dari tempatnya duduk. Menghindari drama yang barangkali akan terjadi, kuputuskan untuk pergi. Dari kaca spion kulihat ia berlari dan berdiri di bawah gerimis, mengamati kepergianku dengan pandangan tak terbaca. Mataku berjarak dari kaca spion tersebut ketika Bhisma muncul di belakangnya. Kubanting setir ke kanan secara kasar, menambah kecepatan hingga jarum di speedometer melesat melewati angka-angka yang lebih besar.
Makin larut, hujan makin mengguyur deras. Aku mengemudi entah berapa lama dan tak tahu ke mana. Kulalui jalanan yang lebih panjang dan terjauh dari apartemen Mara sekadar melarutkan kejenuhan dan emosi yang sulit terkontrol. Aku meraih ponselku di atas dasbor dan mengumpat tertahan menyadari telah mati.
Jam sepuluh, aku baru sampai di apartemen Mara yang masih terang dengan suara musik menggelegak. Di dalam kamar Mara, aku disambut dengan keberadaan Lily yang duduk dengan kaki terangkat di atas meja pendek dan tangan menggenggam gelas kristal pendek yang telah dipenuhi wine Burgundy—botolnya berdiri tak jauh dari kakinya yang terangkat. Ia tersenyum miring.
"We've already made an appointment," tuturnya. Nada yang ia rendahkan beberapa oktaf terdengar cukup seduktif di telinga.
"Aku nggak lupa." Aku melepas jaket dan menghempaskannya di atas sofa. "Di mana Mara?"
"Showering. Baru aja. Lama nunggu kamu sih." Ia meletakkan gelasnya di atas meja dan melompat berdiri.
Bunyi gemericik air di kamar mandi menjawab segala pertanyaanku. Lily melangkah panjang-panjang untuk sampai di tempatku berdiri. Jemarinya yang lentik meraba dadaku. Aku menahan tangannya sebelum berpindah menuju leherku.
"Aku punya ritual khusus." Kuhampiri meja sebelah dan mengganti musiknya dengan kaset lain.
"Kenapa harus musik ini?" Ia mendekat.
"It brings more spirit and comfortable. And sounds seductive. Not that I know of."
Sebelah alisnya terangkat. "Or for covering your true feelings after getting kicked by a girl? "
"Sort of." Rambut panjang yang membingkai wajahnya kusingkirkan ke belakang telinga. "Then, make me feel better."
Ia menyeringai. "Will do."
Tidak ada yang meneruskan percakapan panjang lagi lantaran masing-masing dari kami mulai blingsatan saling melucuti pakaian, berbagi ciuman dan cumbuan. Tubuhnya terhempas di atas ranjang menimbulkan bunyi derit lirih, lantas kuikuti dengan mengungkungnya. Bibir kami saling berpagutan mengikuti irama musik yang menguar di tengah bunyi guntur, gerimis, dan desahan. Tubuh kami bersinergi dalam gerakan perlahan, bagaikan tempo adagio yang dimainkan seorang pianis profesional di sebuah konser akbar.
Kuhitung baru beberapa menit sampai di puncak pendakian, aku rasakan tubuh lain beraroma mawar Prancis merangsek seperti bayangan yang menyelinap dalam kesenyapan. Ia mengecup pundak dan punggungku, menyapukan jemarinya di sana, dan berbisik di leherku,
"Est-ce que tu es aussi doux que tes yeux (Apakah kamu memang semanis pandangan matamu), hm?"
"Ma chérie." Aku menekan tengkuknya dan melesakkan lidah ke dalam mulutnya. Ia menggulingkan badan ke samping tanpa melepaskan tangannya yang bergelayut di leherku dan ciuman tak berkesudahannya. Kedua kakinya melingkari pinggangku.
Lily mengangkat badannya untuk duduk sembari menyapu rambutnya ke belakang dan mengatur pernapasan. Ia menarikku menjauh dari Mara dan mendorong bahuku untuk rebahan. Ia merangkak naik di atas tubuhku. Seringai separonya dilayangkan untuk Mara yang memberengut.
"Pardonnez-moi, Chérie (maafkan aku, sayang)." Diciumnya bibir Mara sekilas sebelum beralih padaku.
Di antara keremangan, kuamati wajahnya. Tatapan matanya yang membidik tajam seperti memutarkan sosok lain selintas di pikiranku. Saat badannya condong ke depan, aku menahan dadanya.
"You have story behind this scar, I bet." Aku mengusap pinggangnya yang menampakkan bekas luka samar. Luka sama seperti yang dimiliki Mara di beberapa bagian tubuhnya. Pandangan mata Mara menyorot lurus-lurus padanya seraya menopang kepala dengan tangan. Lily membalas dengan senyum kecil.
Matanya turun mengamati tanganku di sana. "Cuma kecerobohan waktu masih kecil." Ia menambahkannya dengan senyum manis madu. Dan melenyapkannya saat bibirnya bersinggungan denganku.
Di sebelah, kulihat Mara memutar mata, seakan merasa kalah dari Lily yang lebih mendominasi dan memonopoli permainan. Seperti halnya ketika Srikandi dikalahkan oleh Larasati saat beradu panahan.
Namun tetap saja, hanya seorang Sembadra yang terus memenuhi pikiranku.
*****
Sambil menunggu hujan berhenti menyenggamai bumi yang sudah kuyup selama berjam-jam, aku mendengarkan cerita teman-teman kepanitiaan di dalam kafe ini, sempat ikut tertawa. Untuk menghangatkan tubuh, sudah dua kali aku memesan secangkir masala dan chamomile hangat. Tetap saja udara dingin menyelesak begitu kejam menyerangku. Aku mengeratkan kardigan tipisku sambil sesekali memperhatikan Bhisma yang mengobrol dengan gadis di sampingnya.
Sepertinya aku bodoh bila berpikir ia menyadari kalau aku tengah kedinginan di sini. Melempar pandangan keluar, aku melihat mobil Nala berhenti di pinggir trotoar. Spontan aku berdiri dengan gusar. Bhisma menengadah melihatku celingukan seperti mencari-cari seseorang. Tanpa berpikir panjang, aku menghambur keluar, langsung disambut oleh gerimis yang dengan senang hati menyergap tubuhku. Mobilnya melaju kencang, tak peduli pada keberadaanku di sini. Aku mengamatinya semakin lama semakin mengecil. Dari arah belakang, aku merasakan sentuhan tangan seseorang.
"Kamu kenapa hujan-hujanan sih? Nanti kalau sakit gimana?" Ia mendorong bahuku agar lekas beranjak kembali ke dalam. Aku menahan tangannya. "Kenapa lagi?" Ia menghela napas panjang. "Itu tadi Nala?"
"Aku ngerasa bersalah mengabaikan dia beberapa hari ini," balasku lirih.
"Astaga, Bi. Kamu kan sibuk. Acaranya sudah makin dekat. Ya wajar lah. Masuk aja deh."
Meskipun ia menggiringku kembali, tetap perhatianku berlabuh ke arah di mana ia menghilang tadi. Tak kupahami mengapa aku sekecewa dan sesendu ini. Bila ia yang berada di sebelahku, pasti ia sudah melepaskan jaketnya dan memakaikannya untukku. Tak kupungkiri, aku tersiksa seperti ini terus-menerus.
*
"Waktu Arjuna terpesona dengan sosok Wara Srikandi, Wara Sembadra sangat dibakar api cemburu. Sebagai perempuan, tidak pernah rela suaminya menambatkan hati pada wanita lain. Ya... tapi toh dia dan Srikandi sangat akur. Sembadra adalah istri Arjuna yang paling setia dan terus menyayanginya. Itulah yang membuat Arjuna makin cinta." Seperti biasa, Bunda berceloteh menceritakan kisah pewayangan sembari menebarkan kartu-kartunya di atas meja, sementara aku meringkuk di sofa sambil memeluk tubuh dan mengamati hujan dari balik kaca jendela.
"Sama seperti saat Larasati berhasil memikat hati Arjuna," lanjutnya diselingi senyum merekah, setengah tertawa.
"Emang dasar Arjunanya aja yang maruk," aku membalas sedikit serak.
Bunda menoleh ke arahku. "Dewata dan alam sudah menggariskannya sebagai lelananging jagad. Ya tidak bisa sepenuhnya disalahkan."
"Alah, kecenderungan nafsu dan naluri lelakinya aja tuh. Kenapa dia nggak niru gurunya aja sih, Resi Bisma, yang tahan godaan perempuan sampai akhir hayatnya." Yang kuherankan, mengapa karakter Bhisma seperti sebuah dekonstruksi dari karakter Bisma di pewayangan. Meski namanya mirip, aku tak menjamin watak dan perilakunya sama.
Lagi-lagi Bunda tertawa. "Kalau dia tidak ditakdirkan sebagai penakluk wanita, dia tidak akan memberikan sumbangsih di perang Bharatayuda." Matanya melirikku lekat, seperti menyublimkan sebuah pesan. Aku mengernyit penasaran. "Srikandi yang diperistri Arjuna, dipilih sebagai panglima perang. Berkat bantuannya pula Pandawa Lima memenangkan peperangan melawan seratus Kurawa. Pernikahannya dengan Srikandi telah diatur oleh Dewa, sebagai alasan kematian bagi Bisma yang tak dapat dikalahkan." Lilin di atas mejanya mati tertiup angin yang masuk melalui fentilasi. Bunda menghidupkannya lagi menggunakan korek api kayu. Ia meniup api dari batang kayu korek tersebut. Tanpa mengalihkan pandangannya, ia melanjutkan, "Seperti kehidupan kita. Segala sesuatunya pun sudah digariskan oleh Gusti Pengeran."
Aku beringsut ke bawah, membenamkan dagu pada dadaku. "Srikandi cantik sekali ya, Bun?" Bayangan jelita Mara terlintas di pikiranku.
"Semua istri Arjuna cantik-cantik. Perempuan pilihan. Ya tapi, tetap saja istri pertamanya yang paling dia sayang karena kelembutan hatinya yang terus mengalah. Tahu artinya, Nduk?"
"Apa?"
"Kecantikan dan kemolekan hanya mengundang nafsu semata dan sementara." Ia melanjutkan mengocok kartu-kartunya untuk ke sekian kali. Lalu menebarnya ke atas meja sekali lagi.
"Tapi kan Arjuna tertarik sama Srikandi karena dia bosan sama Sembadra."
Bunda terkekeh. Ia menggeleng-gelengkan kepala dan menunjuk salah satu kartu yang ia buka. "Kalau di sini, Sembadranya yang malah menarik ulur hatinya."
Aku mengerti ke mana arah pembicaraannya. Bola mataku terputar jengah. "Ya karena dianya nggak tobat-tobat jadi playboy! Sembadranya mana mau."
Tangannya terulur meraih kepalaku dan mengacak-acak rambutku. Ia membuka kartu-kartu lainnya.
"Kan sudah dibilang, kalau saja Arjuna tidak ditakdirkan sebagai penakluk perempuan, dia tidak akan memenangkan peperangan."
Dan senyum simpul yang diberikannya padaku menjadi penutup perbincangan di antara kami.
*
Prelude in B Minor komposisi Liadov ia mainkan di antara keremangan cahaya lilin-lilin kecil yang bertebaran di sekeliling. Dari belakang aku memberinya kejutan dengan kehadiranku, menumpuk jemariku dan memadukannya dengan jemarinya yang melangkahi tuts demi tuts. Ia menoleh ke arahku dan kuhadiahi kecupan di bibirnya. Aku menambahkan dengan senyum dan memosisikan diriku di sampingnya. Mengikutinya bermain dengan lagu berbeda yang lebih cepat dan penuh luapan berbagai emosi. Memainkan Mozart dan Beethoven secara bergantian.
"Bagaimana cara mengucapkan 'aku cinta kamu' dalam bahasa Prancis?" aku bertanya di sebelahnya.
Senyumnya tertarik diikuti kernyitan heran. "Je t'aime."
"Je t'aime," kataku mengikuti cara pengucapannya, kendati tak sefasih lidahnya.
"Je suis amoureux de toi (aku jatuh cinta sama kamu). Pour toujours et à jamais (selalu dan selamanya)."
Aku justru menanggapinya dengan tawa panjang. "Nggak ngerti artinya."
"Nggak penting tahu artinya." Ia menarikku, menghalauku memainkan piano di depan kami lagi. Kupandang ia dengan segala macam pertanyaan yang tersirat di raut wajahku. Jemarinya dipadukan dengan jemariku. Bayangan lilin-lilin dan diriku menari di kedua matanya.
"Nggak ada musik kan nggak asik," kataku.
"Ada. Mainkan saja di pikiranmu."
Aku memejamkan mata sekadar membayangkan seseorang memainkan piano di dekat kami dengan Swan Lake - Tchaikovski. Lamat-lamat suara itu terdengar, makin jelas, dan makin keras. Begitu membuka mata, memang ada seseorang yang memainkannya untuk kami. Entah itu sebuah ilusi atau bukan, aku tak peduli.
Dalam genggamannya aku dibawa menari. Berputaran membuat rambut dan gaun pendekku terhempas, mengembang seperti kincir angin yang terdera angin. Lantas bergerak lebih lambat, hanya langkah kecil. Aku maju lebih ke depan untuk memeluknya. Menengadah, mata malaikatnya bersirobok dengan mataku. Aku melihat nirwana dengan jelas di sana.
"Quand tu me prends dans tes bras, tu me parles tout bas, je vois la vie en rose (saat kamu memelukku dan berbicara lembut, duniaku terasa indah sekali)," tuturnya.
"Itu artinya apa?" aku bertanya polos.
"Penggalan lagu Edith Piaf. Dengerin aja sendiri." Ia menyengir sedangkan bibirku tercebik memberengut. Rambutku yang menempel di sebagian wajah ia singkirkan dengan jemarinya. Dahinya ditekan pada dahiku. "Sang Klandestin telah pergi. Kenapa aku justru lebih sulit mendapatkanmu?"
"Mungkin karena kamu malaikat?"
"Memang kenapa kalau malaikat?"
"Malaikat nggak diijinkan jatuh cinta, kan?"
Ia tertawa mendengar jawabanku. Antara tawa sarkastis dan gemas. "Kalau benar begitu, akan kupotong semua sayapku agar tetap berada di sini."
Kupeluk ia, menyandarkan kepalaku di dadanya. "Kenapa aku susah mengatakan 'aku cinta sama kamu'? Apakah kutukan yang diterima Dandelion benar adanya? Bahwa tak seorang pun boleh mendapatkan keping hatinya."
"Kutukan?"
"Dewata tak akan membiarkan Dandelion menyerahkan keping hatinya pada siapapun. Sesuatu yang suci dan sakral tidak boleh didapatkan sembarang orang. Menurut sebuah kitab yang ditulis oleh salah seorang peramal di Mayapada Protesis, Dewata akan menciptakan empat menara yang akan mengurung sang Dandelion dalam satu kastil. Empat menara itu ibarat perwujudan empat orang yang berusaha mendapatkan keping hatinya. Kerub, Pangeran, Iblis, dan Klandestin. Keempatnya memperebutkan hatinya dengan porsi berbeda. Klandestin yang kerap lenyap dan hanya singgah dalam waktu-waktu tertentu, Pangeran yang mengharapkan cintanya meski pada akhirnya menyerah..."
"Dan di antara dua orang terakhir, ada yang mencintainya dengan obsesi."
"Ya." Aku merendahkan nadaku. Hatiku berkata bukan ia yang mencintai dengan obsesi. Entah siapa, aku belum mengerti. "Sang iblis mencintainya dengan segala obsesi. Dan Kerub yang rela dilukai dan nyaris mempertaruhkan nyawanya demi sang Dandelion."
"Sang Dandelion kejam yang membiarkannya terluka."
Aku terdiam beberapa saat. "Namun pada akhirnya akan mendapatkan cintanya. Mungkin."
"Mungkin?"
"Hanya Dewata yang mampu menentukannya. Dia yang lebih berkuasa daripada sang Klandestin. Dan lebih berkuasa daripada sang penulis dongeng."
Ia melepaskan pelukanku dan merengkuh wajahku untuk bersipandang dengannya. "Persetan dengan Dewata. Jika Ia tak ingin membuat sebuah akhir yang bahagia, akan kubuat sendiri." Ia mendaratkan ciuman hangat di dahiku, menyeretku dalam pelukan intens, dan membenamkan dagunya di puncak kepalaku.
Aku memejamkan mata, membiarkan mimpi panjang ini terus berlanjut sampai terbangun nanti.
*
"Nak... bangun. Kenapa dari tadi kamu nggak bangun-bangun? Nggak biasanya loh bangun sesiang ini." Suara Bunda terdengar samar-samar menyusup di telingaku. Sentuhan lembutnya di bahuku membuat mataku perlahan terkuak. Kuamati wajahnya yang tampak cemas. "Badanmu panas sekali." Telapak tangannya diletakkan di dahiku.
Aku berdeham, merasakan tenggorokanku yang sakit. "Nggak apa." Suaraku terdengar serak dan berat. Aku ingin melompat berdiri dan lekas berbenah, namun tubuhku menolak perintah yang diberikan otakku. Alih-alih, aku mengganti posisi tidurku menjadi berbaring. Mataku terpejam sangat rapat merasakan pening di kepala bagai dihantam palu gada.
"Itu, sakit. Bunda panggilkan dokter ya."
Aku menggeleng. "Dikasih parasetamol pasti udah reda panasnya."
"Ya sudah. Tidur saja, biar Bunda buatkan teh jahe hangat."
"Aku nggak suka jahe."
"Harus." Ia mencolek hidungku. Ditinggalkan aku sendirian di dalam kamar, masih berselimut seperti kepompong.
Tanganku menggapai-gapai ponsel, siapa tahu banyak pesan masuk dan panggilan yang kuabaikan. Ada belasan yang memberondong ponselku. Juga ratusan pemberitahuan dari berbagai media sosial. Sebelum memutuskan mematikan ponsel agar aku istirahat total hari ini, ada panggilan masuk dari Bhisma. Aku menjawabnya segera.
"Kamu kemana? Katanya ke sini? Kan tinggal dekor gedungnya."
"Oh ya, aku nggak bisa datang."
"Loh, kenapa?? Kan kamu yang tahu desain dekorasinya??"
Aku mendesah panjang dan memutar mata. "Aku sakit."
"Kan udah dibilang jangan hujan-hujanan kemarin malam. Sekarang sakit, kan? Padahal di sini posisi kamu sangat krusial."
"Ahhh berisik banget sih. Bodo."
"Nirbita?! Hey!"
Aku memutuskan sambungan, langsung mematikan ponsel dan melemparnya ke samping. Itu pertama kalinya aku memberanikan diri memberikan nada kasarku padanya. Biar ia kerjakan sendiri dekorasinya. Aku kan sudah memberikan gambar! Aku berbaring miring ke kanan.
Jarum jam di dinding menunjukkan angka sebelas. Tak kusangka aku tidur selama ini, tidak seperti biasanya. Mungkin metabolisme tubuhku sedang tak bagus. Aku mencoba memejamkan mata untuk tidur lagi. Tak ada mimpi serupa yang mampir, entah berapa lama. Hanya ada kegelapan yang membentang dan suara sayup-sayup di luar.
Perasaanku jadi gelisah. Kalau sakit begini, aku memang sering merasa gelisah, entah disebabkan apa. Ketika mataku terbuka sekali lagi, kudengar suara pintu dibuka dan langkah kaki mendekat. Aku tak ingin membalikkan badan: kubiarkan Bunda meletakkan sarapan dan tehnya di atas nakas. Keheningan terjadi selama beberapa saat, sampai keberadaan tangan seseorang mengusap bahuku.
"Selamat pagi setengah siang, Tuan Putri."
Spontan aku membalikkan badan, mendapati Nala dengan senyuman sumringahnya menyapa pagiku yang sempat kelabu. Ia mencondongkan badan ke depan.
"Kok kamu di sini??" aku mengernyit.
Ia mencibir. "Bunda kamu yang bilang kalau kamu sakit. Tadinya mau ke basecamp, ya udah mampir dulu aja kemari."
"Cuma demam kok." Aku mendesah pendek menenggelamkan diri ke dalam selimut dan hanya menampakkan kepalaku.
Tangannya terulur menyentuh dahiku. Ada kehangatan menyublim dan memberikan kenyamanan. Seketika kegelisahan yang tadi menyergap diriku lenyap tak ada ekornya. Ia mengusap kepalaku lembut, lalu duduk di pinggir ranjang.
"Sekalian juga, aku mau kasih sesuatu buat kamu." Ia mengeluarkan sesuatu dan menunjukkannya padaku. Sebuah gelang yang disusun dari manik-manik yang melingkari tiga butir mutiara sama hitamnya. "Ini adalah delta, epsilon, dan zeta. Tiga bintang kebiruan paling terang yang terlihat sejajar sebagai sabuk Orion." Ia memberiku kode untuk mengeluarkan tanganku dari dalam selimut.
Aku menurutinya dengan memberikan tanganku padanya. Disematkannya gelang dengan—yang menurutnya—tiga bintang sabuk Orion yang tampak sejajar bila diamati dari bumi dengan mata telanjang.
"Mungkin kalau diibaratkan dongengmu, delta adalah Kerub, epsilon adalah Dandelion, dan zeta adalah Klandestin?"
Ia membuatku tertawa pendek. "Kenapa epsilonnya Dandelion?"
"Ya karena letaknya di antara delta dan zeta. Seperti dua kesatria yang mendampingi seorang putri."
Bibirku bergeram membentuk senyum. Sayangnya, Klandestin sedang tak ingin menyapaku saat ini. Semoga ia memang berkesempatan untuk datang sekadar menyapaku dan bercengkerama seperti biasa. Ah, Abimanyu. Di mana kiranya kau saat ini?
"Makan dulu. Aku suapin." Diraihnya baki yang dipenuhi dengan sepiring nasi goreng dan teh jahe buatan Bunda.
Aku mengangkat badan dan duduk sambil menyandarkan punggung pada kepala ranjang, tak henti-hentinya mengamati dirinya dengan segala perhatiannya. Disuapinya aku hati-hati. Sempat kulihat di balik pintu, Bunda mengintip dan menyimpan senyum misteriusnya, sebelum menutup pintu kamarku, membiarkan aku menghabiskan pagi—siang!—bersama dengan sang malaikat.
*
Ciye malam minggunya yang asik threesomean.
Freak nggak sih penulis cewek nulis persetubuhan dengan POV cowok? Aku curiga sebenarnya aku ini setengah cowok hahahahahahaha.
Kaga deng. Kan yang nulis cerita ini si "Mas-Mas" di kafe itu... jadi anggaplah ini tulisannya, bukan tulisanku *iya tahu, saya memang freak*
Kalau Kerubnya Nala dan Klandestinnya Abimanyu, siapa tuh si Pangeran dan Iblis? Ayo tebak... Tapi hati-hati loh. Nanti yang suka nyalah-nyalahin orang di sini, kudu minta maaf sama tokohnya loh ya kalau kubongkar sampai tuntas!
Mbikoz selalu ada alasan di balik setiap peristiwa... Segapenting apapun itu, aku sudah menyelipkan banyak clue. Eh... jangan dikira scene threesomenya bukan tanpa alasan loh xD *terkikik ala Noni-Noni*
Sudahlah, selamat menikmati malam minggu!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro