Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

File 4 - Ambiguitas

Sesuai janji yang kami sepakati, Lily datang kemari. Ia tersenyum begitu memikat pada kami. Diam-diam aku melihat respon Nala bertemu dengan bidadari jelita ini. Ia menyimpan senyum simpul yang tak kumengerti maknanya, kecuali hormon oksitosinku berkata berulang kali bahwa aku mencemburui pandangan dan senyumnya untuk Lily.

"Hai, Lil. You look pretty today."

"Merci, Monsieur Renoir." Lily mengalihkan perhatian ke arahku. "Kok kayaknya nggak etis ya kalau bicara di perpusda? Nanti kita kena sangsi penjaga perpus. Keluar yuk?"

Aku mengangguk menyetujui. Kubereskan barang-barangku yang masih tercecer di atas meja, mengembalikan pula buku yang tadi kupinjam. Sedangkan Nala memberi kode pada Sabrang di meja seberang sambil menunjuk aku dan Lily.

"Aku mau pergi sama kakak-kakak cantik ini. Kamu pulang sendiri ya."

"Naik apaan!" Sabrang berbisik gaduh, memelotot.

"Ck, manja amat. Naik taksi atau angkutan umum kan bisa."

Aku menyahut di antara obrolan mereka, "Ajak ajalah adikmu."

Menanggapi perkataanku, Nala menggeleng. "Nggak usah. Tinggal aja di sini." Lantas mendorong bahuku menuntunku keluar bersama Lily. Sabrang menggerutu di tempatnya, namun menaati perintah kakaknya untuk tinggal dan melanjutkan bacanya.

Kami mencari kafe terdekat yang nyaman digunakan untuk berkumpul. Usai menyebutkan pesanan masing-masing, kami mulai mencampuradukkan obrolan dalam satu meja, yang mana tetap saja lebih didominasi Lily. Sudut mataku melirik Nala yang tak henti-hentinya mengamati gadis tersebut. Mungkin ini yang dirasakannya saat aku dan Dipa mengobrol bersamanya satu meja. Aku membuang muka menuju ke luar jendela, mengamati lalu lalang kendaraan bermotor sore hari yang mendung seperti ini.

"Ada hal yang aku kerjakan di sini, sekaligus ingin melihat Nirbita yang sekarang udah baikan." Lily menyelipkan rambut ke belakang telinga dan mengumbar senyum mempesonanya. Ia menatapku tanpa melenyapkan senyum tersebut. "Aku senang kamu baik-baik saja. Di Bandung aku doain kamu terus loh. Mamaku juga bantuin doa. Dia nyempetin kasih salam."

Nala meraih selembar koran yang ditawarkan di atas meja kami. Ia mengamati halaman terdepan dan menggumam perlahan seraya melemparkan lirikan untuk kami, "Akhir-akhir ini lagi heboh berita ekspor mutiara ilegal dari perairan Maluku."

Lily melipat tangan di depan dada, mencondongkan badannya mengintip koran tersebut. "Wow. Aku baru denger."

Instingku sebagai seorang pemburu berita seperti disenggol. "Aku juga dengar berita itu."

"Berita yang muncul nggak jauh setelah berita penangkapan Hananto." Nala mencebikkan bibir menutup dan melipat koran tersebut, lalu mengembalikannya ke tempat semula.

"Sebagai seorang calon pengamat politik, menurut kamu... ada kaitannya dengan pejabat yang tertangkap itu?" Lily bertanya antusias.

Ada senyum samar yang kutangkap di wajah Nala ketika ia memperhatikan gadis di sampingnya. Aku berpura-pura tertarik menonton tayangan televisi di dalam kafe ini daripada membiarkan oksitosin lagi-lagi mengonfrontasiku.

"Aku belajar dari seseorang, Lily. Seorang pengamat politik menyimpan dulu hipotesisnya. I will never tell you."

Suara kikik tawa Lily mengalihkan perhatianku.

"Honestly, you made me impressed," gadis itu berkata sungguh-sungguh.

Kedua mata mereka saling bersinggungan, bersipandang lekat-lekat, dan hanya Tuhan yang tahu apa yang ada dalam pikiran mereka berdua. Adu pandang di antara mereka terhenti saat aku berdeham. Lily menyilangkan tungkai dan mengaduk kopinya dengan gerakan elegan dan tertata.

"Kamu ada acara malam ini, Bi?" Nala mengangkat kepalanya untuk memandangku.

"Aku... mau keluar." Kutelan jawaban signifikan ke dalam perutku. Ia pasti tak senang bila aku diajak pergi Bhisma lagi. Aku tidak ingin ada pertikaian di antara mereka. Sebab aku tahu Nala sangat membenci Bhisma. Pertikaiannya dengan Bhisma aku yakini lebih gila daripada bila ia beradu dengan teman baiknya, Dipantara. "Mau bahas persiapan acara buat akhir Januari nanti."

Sebelah alis Nala melengkung tak suka. Cangkir yang semula ia angkat diletakkan lagi. "Sama Bhisma?"

Bahuku terkedik. "Yang lain ikut juga kok."

Ia menatapku selama beberapa detik tanpa kata. Di luar ekspektasi, ia mengangguk dan menyandarkan punggung pada sandaran kursi. "Ya itu hak kamu sih. Kan aku bukan siapa-siapa kamu." Senyumnya tersungging setengah hati. Ia melepasku pergi bersama Bhisma? Meskipun sedikit aneh, aku tak memberikan balasan lagi selain anggukan.

"Jadi nanti kamu sibuk? Wah, aku sendirian dong." Bibir Lily tercebik ke bawah, memberengut.

"Jam sebelas, kita ke M One Night Club. Mau?"

Lily bertepuk tangan setuju. "Yap!" Ia menoleh ke arahku. "Dia nggak ikut?"

Klub malam? Ia bercanda? Aku menggeleng menolak ajakannya. Tatapan mataku menghakimi Nala di tempat. Sudah berulang kali aku mengatakan padanya untuk lebih menghargai kesehatannya dan ia mengingkari? Aku ingin membuka mulut memintanya tak pergi, namun kuurungkan niatku, alih-alih meneguk milkshake stroberi yang kupesan tanpa jeda. Menghabiskannya sampai tandas.

"Nirbita kan sibuk sama orang lain. Lagipula, night club is not her best friend."

Dahiku mengernyit menampakkan garis-garis keras. "Aku menghargai hidupku kok. Klub malam itu nggak sehat."

"Kata anak pramuka."

Kutendang kakinya sampai ia memekik. "Kalau nggak ada lagi yang mau diperbincangkan, mending aku balik aja deh."

"Ya udah aku anterin," tawar Nala seraya beranjak.

Aku menggeleng. Ransel kecil yang kubawa aku sandang di salah satu bahu. Aku melenggang cepat melintasi meja-meja lain, menuju kasir untuk membayar pesananku sebelum ia mengomel lagi. Mengabaikan pandangannya dari kejauhan, aku melesat keluar mencari taksi. Beruntung aku tak menunggu terlampau lama, sebab sebuah taksi langsung berhenti di depanku begitu kulambaikan tangan. Sebelum lenyap di balik pintunya, aku menoleh ke belakang, melihatnya mengamatiku dari balik jendela kaca, di samping Lily yang melambai ke arahku.

Niatku untuk bertemu Lily seharusnya tak berakhir seperti ini. Aku meyakini diriku ia bersedia mendengarkan keluh kesahku, sebagai 'teman perempuan'. Bagaimana juga aku membutuhkan teman perempuan yang bisa kuajak berbagi. Tetapi melihat caranya menatap Nala saja sudah membuatku urung menceritakan permasalahanku. Khawatir bila hal tersebut justru menjadi bumerang. Siapa sangka, Lily justru menyukainya?

Arrghh! Lalu aku harus bergaul dengan siapa?? Aku tak mungkin bercerita pada Dipantara, mengatakan: "Hey, sebetulnya aku bimbang. Aku tak ingin kalian bertengkar. Tapi anehnya, aku selalu dibakar cemburu bila melihatnya bersama perempuan lain. Bagaimana menurutmu?". Itu sungguh tidak lucu.

Mungkin benar bahwa hanya Bunda yang mampu menjadi ibu sekaligus teman untukku berbagi. Aku menghembuskan napas panjang, membiarkan pikiranku tenang selama perjalanan pulang.

*

William Cassavetes dengan biolanya selalu menemaniku di restoran ini. Restoran favorit Bhisma yang kerap ia kunjungi bersama keluarga dan teman-teman terdekatnya. Ia berulang kali mencuri pandangan dan memberikan senyum kecil yang membuatku rikuh. Kerongkonganku terasa kering dan serak. Aku meneguk minumanku sebentar dan memainkan sendokku di atas piring.

Seharusnya aku tak berdusta pada Nala. Mendustainya entah mengapa membuatku merasa tak enak hati. Kegelisahan seolah terbentang menyelimutiku sampai membuatku terbelenggu, tak bergerak nyaman. Aku mengulum bibir, menatap kosong pada makanan yang tak terjamah.

"Kamu mikirin apa sih?"

"Nggak apa." Aku menyengir.

"Oh ya, aku mau tanya sama kamu lupa mulu." Ia mengusap mulutnya dengan tisu dan menatapku lurus-lurus. "Kamu ada hubungan apa sama... Nala Anarki?"

Kedua alisku terangkat. "Temen."

"Aku kok nggak ngerasa begitu ya." Ia meraih gelasnya dan menyesap minumannya sebentar. "Kamu tahu kan kenalanku di organisasi-organisasi mahasiswa banyak? Hampir semua teman-temanku di berbagai organisasi mahasiswa mengenal dia." Tentu saja. Aktivis mana yang tak mengenalnya? Aku rasa, mahasiswa manapun tidak patut disebut aktivis bila belum mendengar namanya. "Aku sarankan kamu jangan banyak bergaul sama dia ya." Senyum manis madunya tampak lagi.

"Kenapa?"

"Ya masa kamu nggak tahu? Aku khawatir sama kamu. Dia itu nggak baik. Suka bikin onar, sering berurusan sama polisi, sering bolos, sering kena detensi dekan, suka keluar-masuk klub malam, temen-temennya juga nggak bener semua."

Aku mengernyit. "Kok kamu bilang gitu?"

"Aku cuma khawatir sama kamu, Nirbita. Dia itu nggak bener. Aku cemas kamu diapa-apain sama dia." Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. "Banyak cowok baik-baik yang pantas mendapatkan kamu. Dan pantas kamu dapatkan. Kamu pantas mendapatkan orang yang baik, Bi." Ia mengubah raut wajahnya memelas. "Aku minta maaf pernah bersikap kasar sama kamu. Aku bener-bener menyesal. Waktu itu, aku sungguh nggak ada niatan buat mempermalukan kamu di depan tamu-tamu Om Seno. Ya... kalau kamu ada di posisiku, kamu pasti paham."

Di samping, William Cassavetes berhenti menggesek dawai biola tuanya. Ia mencondongkan badan ke samping telingaku untuk berbisik,

"Dia memang terlihat sangat menyesal, Miss. Barangkali kau mau memaafkannya." Lantas biolanya kembali dimainkan dengan nada larat, seperti biasa, memainkan Chopin seperti menggumuli kesenduan. Mungkin semasa ia hidup, ia sering dibuat sakit hati oleh seorang perempuan.

"Aku nggak marah. Aku cuma kecewa," kataku pada akhirnya.

Ia menggenggam tanganku lebih kuat. "Bi, di depan teman-teman, aku selalu memuji ide-ide brilianmu. Aku juga sering memujimu di depan dosen. Kamu nggak tahu, kan?"

Ah masa? Aku mengulum bibir dan menggigitnya, memberinya kesempatan untuk melanjutkan.

"Itu semua bentuk rasa sukaku sama kamu. Cuma... aku nggak tahu harus mulai dari mana, kamu susah untuk didekati. Aku bahkan nggak tahu yang mana temen dekat kamu—padahal aku pengen cari tahu banyak tentang kamu. Kamu itu introvert." Ia mengambil jeda untuk membuang napas panjang. Tangannya masih berada di genggamanku. "Waktu Nala muncul dan bawa kamu pergi dari pesta itu, aku sangat menyesal dan ngerasa bersalah sama kamu. Aku pengen minta maaf, tapi nggak punya kesempatan. Kamu jarang muncul di kampus dan susah dicari. Aku kira... kamu dan dia pacaran atau semacamnya. Aku takut buat mendekat." Ia menepuk tanganku, menggenggamnya sangat kuat. "Beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Memperbaiki persepsimu tentang aku."

Aku berkedip beberapa kali untuk memikirkan beberapa hal. Wajahnya memelas dan terlihat tulus meminta maaf padaku. Kulirik tanganku yang tetap berada di genggamannya.

"Bagaimana caranya aku ngasih kamu kesempatan?"

"Cuma satu." Ia mengelus punggung tanganku. "Aku mau kamu jadi pacar aku."

Nyaris saja aku tersedak cairan lambungku mendengar permintaannya.

*****

Maman bilang untuk mengambil hati dosen pembimbing agar proses menyelesaikan skripsi berjalan lancar dan cepat, aku harus 'menyogoknya', anggaplah sebagai tanda terima kasih karena bersedia membantuku. Maka, aku datang ke rumah Pak Gatot membawa bingkisan berupa sekotak besar berisi kue tiramishu yang kubeli di toko sebelum bertandang ke rumahnya, memenuhi ajakan makan malamnya. Awalnya aku menyeletuk akan menghadiahkannya sebotol wine Burgundy milik Mara, namun Maman malah memukulku, memanggilku anak kurang ajar.

Apa salahnya kuhadiahi wine Burgundy? Itu wine mahal.

Aku meninggalkan Mara di rumah bersama Maman saat itu. Selain menemani Maman dan membantunya di rumah, juga kuberikan kewenangan padanya untuk mengambil motorku daripada tak terpakai di garasi.

Pintu rumah dibuka oleh seseorang. Sebuah kumis melintang menyambutku lebih dulu, dilanjutkan kacamata gantung yang tampak mengkilat ditempa sinar lampu teras. Pak Gatot menyunggingkan senyum lebar melihatku memenuhi undangan makan malamnya.

"Ah, Nala! Dari tadi saya tungguin kamu. Ayo masuk. Ini apa toh?" Telunjuknya teracung menunjuk kotak yang kubawa.

"Tiramishu. Saya yakin Bapak suka." Aku menyodorkan kotak tersebut padanya.

"Saya sih ndak suka. Takut diabet. Tapi keponakan saya pasti suka! Yok yok, masuk saja."

Ya elah, Pak. Aku datang kemari untuk 'menyogok' Anda, bukan keponakan Anda. Ia mempersilakan aku masuk ke dalam rumah dan bergabung di meja makan dengan anggota keluarga lengkap yang sedari tadi berharap untuk bertemu denganku. Pak Gatot meletakkan sekotak kue yang kubawa tadi di atas pantri. Di meja tersebut terdapat Bu Gatot yang menyambutku dengan sapaan senang. Ia mencium kedua pipiku dan memintaku segera duduk.

Abaikan basa-basi pemilik rumah. Aku lebih tertarik bertatap muka dengan dua orang di meja tersebut yang ikut mengamatiku, seolah aku adalah makhluk testral yang hendak melakukan invasi di bumi. Seorang pemuda, sebaya denganku, menatapku lurus-lurus. Wajahnya berkarakter tegas dengan mata memicing. Di sebelahnya, seorang gadis sebayaku yang berwajah mirip dengannya, menelisikku dengan saksama.

"Ini loh yang Om ceritakan pada kalian. Anak didik Om. Anaknya pinter. Nilai-nilainya selalu bagus. Om jadi keinget Didit, anak Om yang lagi kuliah di Australia. Ya, Bu?" Pak Gatot membuka percakapan di meja makan yang terasa aneh dan canggung. "Nak Nala, ini keponakan-keponakan Bapak. Yang itu, namanya Ergo." Ia menunjuk keponakan laki-lakinya yang masih enggan memberikan senyum ramah untukku. Lagipula peduli setan apa sambutannya untukku di meja ini. "Dan di sebelahnya itu, saudari kembarnya. Naffine."

Si perempuan, Naffine, setidaknya menyempatkan diri memberiku senyum. Kalau kukatakan padamu bahwa gadis ini amat sangat cantik dengan rambut ikal kecoklatan, mata bundar, dan bibir tipis menggoda, tampaknya kau tak akan senang. Namun, aku tak bisa berbohong dengan mengatakan sebaliknya. Aku paling benci kalau sudah dipertemukan dengan perempuan model begini. Pasti menggoda iman.

"Mereka ini sejak kecil dibesarkan di München, Jerman. Ke Indonesia ya kalau ada waktu senggang."

"Yuk makan. Udah dingin tuh nasinya," Bu Gatot menawarkan.

Entah ini hanya perasaanku atau aku seperti pernah melihat Ergo sebelumnya. Aku mengamatinya mencoba mengingat di mana kiranya kami bertemu. Selama menggali ingatan itu, Pak Gatot berceloteh membangga-banggakan Naffine. Gadis itu terlihat sangat terganggu dengan ulah pamannya. Ia berdeham pendek.

"Om, makan dulu." Gadis itu meraih gelas air putihnya. "Aku ke sini buat liburan loh." Ia melirikku seraya meneguk minumnya, seperti memahami ke mana arah pembicaraan pamannya.

"Loh ya nggak apa. Mamamu pasti seneng kalau pulang-pulang kamu malah bawa calon mantu buat dia." Pak Gatot tertawa berderai-derai bersama istrinya. Aku tersenyum menahan diri tak memutar mata di hadapannya.

Naffine tersenyum miring. "Om tahu sendiri kalau aku nggak bakal mau dikenalin sama patriarki manapun. Aku nggak bakal mau jatuh di tangan kaum patriarki. Zaman sekarang cowok tuh sama aja. Bakal susah ngasih kebebasan buat cewek." Gadis itu tersenyum sekali lagi. Padaku. Brengsek benar senyum mencemoohnya. Aku hanya mencebikkan bibir. Lagipula siapa yang mau mengawinimu, hah? Maaf, aku lebih suka perempuan Jawa daripada peranakan—untuk dinikahi, camkan.

"Ayu Utami dulu juga anggepannya begitu," aku menyeletuk. "Hati-hati ngejilat ludah sendiri."

Gadis tersebut mengerutkan dahi. "Si Ibu dari Bilang Fu? Aku nggak sama seperti dia."

Oh, ia baca literatur juga. Mengesankan bila seorang anak yang dibesarkan di Jerman juga melirik literatur Indonesia. Sembari mencicipi masakan Bu Gatot, aku balas ia dengan senyum hiperbolis.

"Kalau benar dia sepintar yang Om bilang," ia melanjutkan, "nggak mungkin dong dia selalu kena masalah sama aparat?"

Praktis aku tersedak. Bu Gatot memperingatkan keponakannya agar berkata sopan padaku. Matanya membesar dan mulutnya komat-kamit. Di samping saudari kembarnya, Ergo menahan diri tak tertawa.

"Aku baca kok tentang kamu. Banyak malah. Sejak Om nggak berhenti cerita tentang kamu, aku penasaran untuk cari tahu." Ia menyelesaikan makannya, mengambil air minum dan meraih sebutir apel merah.

"Sori, otak seseorang nggak bisa diukur berdasarkan perilaku," aku membela diri. "Aku yakin kamu pernah dengar ada sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa intelegensi seseorang berasal dari genetik. Nggak ada ngaruhnya dengan perilaku."

Naffine menggigit apel di genggamannya. "Itu faktor internal. Faktor eksternal? Percuma dong pinter di otak tapi nggak di perilaku?" Kedua alisnya melengkung meminta pembenaran dariku. Seberdosa itukah aku di matanya?

"Dari mana kamu baca tentang aku?"

"Artikel berita, tentu saja."

Giliran aku yang tertawa. "Lucu juga ya kalau ada seseorang yang mudah menjustifikasi orang lain hanya dari artikel berita?"

"Aku bisa baca karakter kamu tanpa baca artikel kok." Ia menelengkan kepalanya ke satu sisi, mengamatiku tak berkedip. Tanpa melanjutkan ucapannya, ia mengubah posisi duduknya lebih tegak seraya mengamati apel di tangannya. Bocah ini memang perlu diberi pelajaran.

"Ya aku juga bisa baca karakter kamu. Kamu perempuan yang susah memaafkan kesalahan orang lain." Aku menghentikan laju bibirku di depan tepi gelas yang kugenggam. "Susah memberikan kepercayaan pada orang lain. Dan menyimpan ketakutan."

Raut wajah yang ditampilkannya membuatku puas. "Ngawur." Lantas ia tertawa. Ah, dia harusnya tahu kalau aku bisa membedakan tawa lepas dan tawa putus asa.

"Yah, Pak," aku menatap Pak Gatot. "Saya nggak pernah mau dikenalin sama cewek yang skeptis sama cowok hanya karena pernah disakiti, tapi pura-pura jadi penganut aliran feminisme." Dan kuberikan senyuman kecil pada Naffine. Di sebelah, Ergo ikut memicingkan mata.

Aku menelan kalimat sarkastis yang kulempar untuknya bersamaan dengan minumanku. Sebelah alisku terangkat beberapa kali. Naffine melengos, lantas memundurkan kursi dan melenggang gusar meninggalkan meja makan.

Sudah kukatakan, hipotesisku tak pernah melenceng.

Baik Pak Gatot maupun istrinya hanya saling pandang, tak mampu berkata apapun.

*

"Maaf kalau sikap keponakan saya membuat kamu kesal." Pak Gatot membuang napas panjang, mengantarku sampai ke depan rumah usai membahas beberapa hal di ruangan kerjanya.

Untung saja aku pernah menghadapi sikap menyebalkan perempuan yang lebih dari keponakannya. Aku membalasnya dengan senyuman, meskipun sejujurnya hatiku bergeruduk.

"Ya itulah, anaknya susah kalau didekatkan sama laki-laki," lanjutnya.

"Nggak juga kok, Pak. Buktinya dia sangat dekat sama kakak laki-lakinya, kan?"

"Kok bisa menyimpulkan mereka sangat dekat? Kan jarang loh saudara bisa akur dan dekat."

"Ya... kalau nggak dekat, ngapain repot-repot nemenin kembarannya ke sini? Seumuran mereka harusnya punya destinasi liburan berbeda. Hubungan saudara kembar berbeda dengan hubungan saudara biasa."

Sekali lagi Pak Gatot menepuk pundakku. Ia meminta maaf atas nama keponakan perempuannya. Sebelum aku pamit pergi, aku sempat menengok ke dalam rumahnya, mendapati Ergo berdiri melipat tangan di depan dada, lantas melengos pergi. Aku yakin pernah melihat wajahnya.

Aku berpamitan. Melintasi jalan setapak yang menyeberangi kebun rumah luas, aku merasakan tatapan seseorang menyerang tengkukku. Menoleh ke belakang, kulihat Naffine berdiri di balkonnya, mengalihkan perhatian menuju langit petang tak berbintang yang diselimuti awan mendung.

Ponselku bergetar lagi. Pesan dan panggilan Mara sedari tadi tak mendapatkan perhatianku. Ia memberi pesan bahwa ia sudah sampai dan menungguku. Segera kukemudikan mobil dalam kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumah ini, meluncur ke jalanan basah dengan rintik hujan menyertai sepanjang malam ini.

*

Mataku menjelajahi seantero tempat remang-remang dengan hingar bingar musik, mencari-cari eksistensi Mara. Rambutnya yang dikuncir kuda terhentak-hentak mengikuti gerakan tariannya di lantai dansa. Begitu melihatku, ia melambaikan tangan, lantas menerobos kerumunan menuju lounge area, menghempaskan badannya di atas sofa.

Aku memosisikan diri di sebelahnya, merentangkan tangan di pundaknya, mengendus lehernya dan berbisik,

"Buat kamu." Seraya menggenggam tangannya memberikan sesuatu, seperti melakukan transaksi gelap yang dilakukan oleh dua mafia.

Ia menoleh sedetik, lalu melirik tangannya yang kulepaskan. Ada senyum miring terukir di bibirnya. Bersamaan terdengarnya suara gemerincing lembut seseorang menghampiri kami, Mara memasukkan benda yang baru kuberikan padanya ke dalam saku hot pantsnya.

"Who's that chick?" Lily menunjuk Mara dengan dagunya.

Kepala Mara tengadah untuk membalas pandangan tanya Lily. Bibirnya mengerucut miring ketika ia menelisik gadis tersebut dari puncak kepala hingga ujung kaki.

"Ini Asmara Rindu."

"Oh. Aku ingat pernah melihat fotomu." Ia duduk menyilangkan tungkai di depan kami. "Kamu lebih cantik aslinya ya."

Mara mencebikkan bibir. "I know. Bahkan nggak cuma cowok, cewek pun banyak yang doyan." Ia menggigit ibu jarinya dengan gerakan menggoda.

Lily menyimpan senyum kecil dan langsung menghapusnya. Raut wajahnya berubah monoton. Ia menjentikkan jari memesan minuman pada waitress untuk kami.

"Jadi, Lily. Selain bertemu Nirbita, apa yang kamu lakukan di sini?" aku menanyakan pertanyaan serupa yang tadi sore kulempar padanya.

"Loh kok ditanyakan lagi? Kan udah aku jawab."

"Selain itu."

Ia mengerutkan hidung dan membuang napas pendek. "Aku nyari sesuatu sih."

"Nyari apa? Just curiousity." Giliran Mara yang memberinya pertanyaan. Ia tak berhenti bergerak dengan bergeser ke kanan, kiri, condong ke depan, dan akhirnya menyandarkan kepalanya di atas bahuku.

"Ah, cuma buku kok. Soalnya aku susah nemu buku ini."

"Buku yang mana? Barangkali aku bisa bantu?"

Waitress kembali ke meja kami dengan tiga botol scotch yang dijejer di atas meja. Lily memberinya tip seraya mengucapkan terima kasih. Kini diamatinya aku lurus-lurus dengan tangan yang sibuk membuka tutup botol.

"Pertanyaan pada Sang Malaikat. Kumpulan cerpen Padang Bulan. Kalau kubaca dari review kritikus Indonesia, cerpen-cerpen di sana bagus loh. Makanya aku penasaran." Ia menenggak scotch tersebut dan menyelipkan senyum lebar.

Ya, kau mencari buku tersebut di tempat Padang Bulan berada. Seharusnya gadis ini bisa mendapatkannya langsung dari Nirbita tanpa susah-susah mencarinya.

"Aku bantu kamu mencarinya." Aku meraih dua botol scotch di depanku, mengangsurkannya pada Mara dan untukku sendiri. Berdua, kami menubrukkan botol masing-masing tanda bersulang, lantas menenggaknya satu kali.

Di tempat duduknya, Lily memerhatikan gerak-gerik kami sambil memain-mainkan rambutnya. Matanya tak berjarak sedikit pun untuk berjauhan, seakan tak ada hal yang menarik di tempat ini selain mengamati kami—entah aku, entah Mara, atau justru kami berdua. Mara menggelayutkan tangannya di leherku dan duduk di atas pangkuanku. Kedua tangannya merengkuh wajahku, memintaku memandang ke arahnya.

"Pourquoi tu ne me voyez pas? (kenapa kamu tidak melihatku)?"

"Tu es toujours dans mon coeur (kamu selalu di hatiku)."

"Mais tu amènera une autre fille (tapi kamu membawa gadis lain)." Ia menoleh ke arah Lily yang mendengarkan percakapan kami sembari mengulum senyumnya. Ia menenggak scotchnya sekali lagi.

"Ne soyez pas jaloux (jangan cemburu)." Aku menyingkirkan rambut yang membingkai wajah jelitanya. Ia menyeringai licik, langsung menyerangku dengan ciuman tak berkesudahan. Bibirnya melumatku seperti seorang tuna wisma kelaparan. Ia menarik tanganku kemudian, melambai pada Lily memintanya mengikuti kami di lantai dansa, menggumul di antara jubelan pengunjung.

Gadis itu mengamati sejenak, berpikir, lantas tak ingin menunggu terlalu lama dengan segala pikirannya menggerakkan kaki jenjangnya menghampiri kami. Aku menarik pinggang Mara, memintanya maju lebih dekat padaku hingga bisa kubisikkan sesuatu yang membuat senyumnya merekah lebar sambil menggigit ibu jari.

Sampai di tempat kami, Lily merangsek menggelayutkan tangannya di leherku, membuat fokusku pecah dari Mara menuju ke arahnya. Aku selalu berkata jujur bahwa ia memiliki senyum malaikat yang memikat. Kakinya berjinjit agar sampai di samping telingaku untuk berbisik,

"Let's have threesome."

Sebelah alis Mara melenggkung diikuti gerakan bibirnya yang mengerucut ke samping. Ia menggerakkan sepasang alisnya ke atas berkali-kali, menyetujui ajakannya. Kucing betina di musim kawin seperti Mara mana mungkin menolak ajakan macam itu.

"Kapan? Di mana?" aku berbisik di depan bibirnya.

"Jangan sekarang. Sekarang waktunya berpesta." Ia menelengkan kepalanya ke sisi seperti sebuah isyarat. Tatapan matanya yang tajam menyerupai cakram dilayangkan untukku, seraya melimbai di antara pengunjung, menoleh ke arahku. Sekali lagi, ia mengedikkan kepalanya memberi isyarat.

Kupandang Mara kemudian. "Jangan kemana-mana."

Mara memutar bola mata kecewa. "I won't." Lalu berjalan dengan gerakan melompat-lompat kecil kembali ke lounge area. Bersamaan lenyapnya ia di belakang sana, aku melihat Lily berbelok. Sekali lagi, memberiku instruksi untuk menyepi di koridor gelap yang hanya diterangi cahaya biru yang muram. Bersamanya.

*

"Dandelion berlayar sejauh mungkin menyeberangi samudra untuk meninggalkan Kerub. Ia mencoba mencari dan mengejar Klandestin, mengikuti angin yang menerbangkan dedaunan kering, seperti sebuah petunjuk di sepanjang perjalanannya..." Aku mendengar Dipantara membaca sepenggal cerita dari bab selanjutnya di sebuah situs beralamat padangbulan.com, yang diposting siapa lagi kalau bukan oleh Nirbita?

Tak begitu kupedulikan gumamannya memuji betapa indah jalinan kata yang digunakannya. Aku memandang dinding kelabu di depanku tanpa minat, selain berdecak kesal mendengarnya berceloteh.

"Aku nggak yakin Nirbita melewatkan situs ini. Dia suka dongeng, kan?"

Kuhujami ia dengan tatapan ketus. "Ya." Aku telah menamatkan bab terakhir yang baru dipostingnya pekan lalu. Ia membuka kembali semua akun Padang Bulan tanpa mengkhawatirkan teror yang diberikan anonimnya. Ia bilang teror-teror itu tak lagi datang, membuatnya sedikit bernapas lega, kendati tak pernah melepaskan sikap defensifnya saat berinteraksi dengan orang lain yang mengapresiasi situsnya.

Di tempat ini kami tengah menunggu orang yang sama. Tante Lintang berujar pada kami bahwa untuk mengisi kekosongan di hari libur, Nirbita memutuskan untuk magang di sebuah kantor berita yang terlihat dari balik jendela, tempatku menunggunya bersama Dipa di jam istirahat.

"Kenapa dia belum juga keluar?" Dipa menilik jam dinding di kafe ini.

Aku ikut-ikutan melirik jam dinding sekaligus ponselku yang sepi: tidak ada balasan apapun darinya. Aku mulai bosan di sini. Orang-orang melemparkan tatapan skeptis pada kami dan itu amat sangat mengganggu. Pandangan macam itu membuatku menerka bahwa orang-orang di sekitar kami menyimpan tuduhan buruk. Misalnya, aku dan Dipa adalah pasangan homoseksual.

"Ck, ngapain sih kamu ikutan nunggu di sini. Kita jadi dikira homo sama orang-orang." Aku menendang kakinya.

Ia terbahak merespon kekesalanku. "Lah, kalau homo mah begini." Lalu menggenggam tanganku. Praktis saja kutepis tangannya dan menjaga jarak dengan bergeser lebih ke pinggir. Tawa Dipa berderai.

"Heran ya, baru aja kemarin lagi asik-asiknya bercumbu sama dua cewek, sekarang kok mau deketin cewek lain?"

Kalimatnya sukses membuatku melontarkan pandangan lekat nan tajam. "Ngikutin?"

"Nggak juga. Nirbita bilang kamu janjian sama... siapalah namanya." Dengan entengnya ia berkata demikian, ditambah menyeruput secangkir kopi yang dipesannya. "Jangan maruk-maruk. Masa tiga cewek mau kamu embat sendiri."

Aku memutar mata, membuang napas pendek. "You know nothing, Bro." Menjelaskan pada Dipa bukanlah pilihan yang bijak dan baik. Meskipun bila ia memahami posisiku sekarang, aku khawatir ia memanfaatkan situasi tersebut untuk kepentingannya sendiri.

Ia menyimpan senyum miring keparatnya. "Aku tahu kamu sedang menyembunyikan banyak hal."

"Dan itu bukan urusanmu."

Kedua tangannya terangkat di udara. Ia mengalah dengan mendiamkan aku yang terus-menerus mengawasi seberang jalan menunggu Nirbita keluar. Aku blingsatan berdiri dari tempat duduk melihatnya keluar seraya celingukan di pinggir jalan. Dipantara tak bergerak, membiarkan aku mendahuluinya menghampiri gadis tersebut. Tidak seperti sebelumnya, ia tak kaget melihat kemunculanku, tampaknya sudah terbiasa melihatku tiba-tiba muncul di depannya.

"Aku dengar dari Tante Lintang kamu magang di sini," kataku tanpa basa-basi.

Nirbita tersenyum sekilas. Ia menyipitkan mata ke seberang jalan, mendapati Dipa melambaikan tangan di balik jendela kaca. "Mimpi apa kamu jalan sama Dipa?"

"Nggak seneng kita akur?"

Matanya menyipit curiga. "Aneh aja."

"Aku mau ajak kamu makan siang."

"Oh, nggak usah." Sekali lagi, senyumnya diumbar. "Sebentar lagi ada yang jemput."

Si cecunguk Bhisma, siapa lagi. Akurasi jawabanku tepat ketika kulihat sebuah mobil yang sangat kuhapal milik siapa berhenti di depan kami. Dari dalam, Bhisma muncul, memberikan seringai padaku sebagai ejekan awalnya. Kami sempat beradu tatapan beberapa detik sebelum ia membukakan pintu untuk Nirbita yang menoleh ke arahku.

"Aku pergi dulu ya." Ia melesak masuk ke dalam.

Bhisma lagi-lagi menyeringai. "Udah, berhenti sampai di sini. Jangan deketin pacar orang lagi." Ia menepuk pundakku berkali-kali tanpa melenyapkan seringai ejekannya. Ia memutari kap dan lenyap di balik pintunya yang telah ditutup. Lantas dilajukannya mobil itu menjauhiku. Semakin lama semakin mengecil dan hilang ditelan kelokan.

Gadis itu menjatuhkan pilihan pada orang lain. Bukan padaku, maupun teman baikku, tapi orang lain yang pernah menyakitinya. Tak kusangka, responku justru hanya tawa pendek.

Ah ya. Dunia keparat macam apa yang kutempati saat ini.

*

Uthuk uthuk uthuk, cabal ea. Aku malah seneng menantimu patah hati sepatah-patahnya loh yang *tepuk-tepuk ranjang*

BTW, Ergo dan Naffine nggak bakal cuma numpang lewat loh...

Wah tak kusangka 100k views. Thanks loves!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro