File 20 - Berkeledar (a)
Edo Mikael Notonegoro.
Domino.
Aku menelan ludah. Ia adalah orang yang selalu membayangi langkah Mara. Kini, aku berhadapan langsung dengannya.
Seorang diri.
"We've never officially met," kataku.
"Secara teknis ya? Aku sering mendengar cerita tentang kamu, Sayang." Lelaki itu berjalan menghampiriku. Mata kami bertemu cukup lama. Ada gurat luka di pipinya. Ia tampak seperti seorang petarung dengan carut-carut di tangannya yang dilipat di depan badan. Senyum miring melengkung di bibirnya. "You're so pretty. Just like your mother."
"Do you know her?" Dahiku mengernyit. Aku mengedip beberapa kali saat tangannya terulur, lantas menyentuh pipiku. Spontan, aku menghindar dengan memandang ke samping. Bulu kudukku meremang tiba-tiba.
Pertanyaanku tak terjawab. Edo sengaja meninggalkan aku dengan segala pertanyaan menggantung. Siapa ia sebenarnya? Dengan banyaknya asumsi di kepala yang berjalan bagai kereta api tanpa ujung, aku hanya diam. Menunggu yang selanjutnya terjadi.
Edo berusaha meraih rambutku, tapi dengan segera kutepis.
"Please, don't touch me."
"Wow. Inikah hasil didikan anak marsekal itu?" Mulut Edo terbuka. "Aku yakin kamu hidup dengan baik. Hm?"
Aku memandangnya. "Kamu memata-matai kehidupanku?" Nadaku bagaikan peluru berdesing di udara. "What do you want?"
"Yang kuinginkan? Sebenarnya cuma satu. Hanya saja... susah sekali terpenuhi."
"Aku datang ke sini bukan untuk basa-basi. Aku datang ke sini untuk mencari tahu, kenapa kamu menerorku?"
Edo menanggapi pertanyaanku dengan ekspresi berlebih. Ia mengatupkan telapak tangan pada bibir yang menganga. "You're so brave. Kamu tidak mengenalku dengan baik? Atau... Anarki belum pernah cerita soal Domino? Orang yang sangat legendaris di kalangan pembunuh dan mata-mata bayaran?"
Membalas pertanyaan narsistiknya, aku menyeringai. "Aku nggak perlu tahu dan peduli dengan kisahmu."
"Mau aku kenalkan dulu sama salah satu anakku, Nirbita? Atau aku panggil Anafora, ya? Nama pemberian Bhumi juga cantik." Bibir lelaki itu mencebik. Ia bertepuk tangan beberapa kali, memanggil seseorang untuk turun dan menyambutku. "Darling, please, come to me."
Mataku membulat lebar begitu melihat seorang perempuan berambut sebahu yang menuruni anak tangga, cukup pelan, dengan tangan menyusuri pinggirannya. Aku menatapnya dengan sorot mata tak menyangka.
"Kalian sepertinya sudah saling kenal?" Nada Edo terdengar hiperbolis. "Ini salah satu anakku."
"Anura," bisikku. Nadaku tersekat di kerongkongan.
*****
"Calla Lily?"
Mendengar namaku disebut, aku praktis mengabaikan pemandangan laut dengan menoleh ke belakang. Sebelah alisku menyatu mendapati Bhumi berdiri diekori beberapa bodyguard-nya. Bibirku mengerucut ke samping.
"How's your little heart?" Senyumku terukir miring. Lelaki malang. Ditinggal perempuan yang disuka menikah dengan orang lain. Seharusnya aku tak terlalu jahat dengan memperkenalkan Nirbita padanya. Ah... untuk apa menyesali. Toh, aku pun sama saja dengannya.
Bhumi mendekat dan berhenti di sampingku. Kami sama-sama memakukan perhatian pada laut lepas. Angin berembus menerbangkan anak rambutku. Menari-nari bagai ombak kecil di tepi pantai.
"It hurts me so damn much. Tapi, ada yang lebih penting daripada menangisi seorang perempuan."
"I'm sorry." Aku mengusap kukuku dan mencebikkan bibir. "But, the war is not over."
"Hm. Seenggaknya, aku berterima kasih sama kamu." Bhumi memandangku. Senyum melintas di bibir manisnya. "Sudah memberiku banyak sekali informasi yang bisa aku gunakan untuk menyerang lawan politik keluargaku."
Aku terkekeh. Pria tetaplah pria. Aku sebetulnya tak peduli dengan rencana busuknya. Menyerang pejabat naungan Edo Mikael Notonegoro melalui informasi krusial yang kusimpan selama menjadi antek-antek mafia berengsek itu. Aku menggigit bibir bawah, menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Kuhela napas panjang. "Perjalananku sepertinya hanya berhenti di sini."
"Kenapa? Do you want to retire?"
"Tugasku hampir selesai." Pandanganku berayun pada sosok perempuan di tepi pantai. "Sebentar lagi semuanya akan berakhir.
*****
Mara mendesah panjang begitu menyelesaikan laporan pada polisi di dalam. Sepanjang itu pula, aku masih mengutak-atik ponsel, berharap mendapatkan pencerahan. Tanganku terasa kaku. Udara malam yang dingin menusuk bagai jarum pemintal.
"Merde."
"Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaannya cuma dari informasi polisi." Mara mengembuskan napas. Ia merapatkan mantel sambil celingukan ke kanan-kiri. Ucapannya tak masuk ke telingaku. Aku berulang kali mengumpat.
Kami masih tertahan di depan gedung kepolisian. Selang beberapa saat, ada telepon masuk yang spontan kujawab, tak mengacuhkan nomor pengirimnya.
"Qui êtes vous?"
Aku memandang Mara yang menungguku dengan kedua mata membulat saking penasaran. Melihat reaksiku yang tak biasa, Mara mengangkat kedua tangan. Aku mendengar instruksi dari seseorang di seberang sambungan sana dengan baik dan tenang.
"Qui êtes vous?" aku bertanya sekali lagi. Sebab, orang itu tak kunjung menjawab pertanyaanku.
Yang ia beri tahu hanyalah informasi bahwa ia melihat dan menguntit Nirbita di metro dalam perjalanan menuju tempat yang cukup jauh.
"Je suis juste un homme ordinaire qui t'a vu devant la Bibliothèque (aku hanya orang biasa yang melihatmu di depan perpustakaan)."
Lalu, sambungan terputus. Tak ada waktu bagiku mencari tahu atau sekadar memikirkan orang ini. Aku memandang Mara.
"It's a suicide mission, Mara."
"Ada apa?"
"Dia menemui Edo."
*****
"Sudah berapa lama kamu di sini?" pertanyaan itu dilempar Anura.
Aku hanya menatapnya dari balik tatapan runcingku. Ia membuka kelambu, membiarkan matahari masuk ke kamar yang kutempati semalam ini. Hidupku seperti berada di atas hujaman tombak runcing yang berjejer. Bibirku enggan membuka sekadar menjawab pertanyaannya. Sejak pertemuan kami kemarin, aku seakan dihantam batu. Kami tak banyak bicara. Padahal, aku punya kesempatan untuk menanyakan segala hal padanya.
Anura mendesah panjang. "Aku tanya, sudah lama kamu di Prancis?"
"Penting, ya?" Pada akhirnya, aku bisa membalas pertanyaannya.
Perempuan itu memutar badan, menghadap ke arahku. Matanya tampak mengawasi ke atas. Seakan ada yang selalu memantau setiap gerak-gerik kami.
"Bukannya kamu yang lebih tahu?" lanjutku.
"Bukan aku yang ngirim pesan ancaman itu ke kamu. I swear." Anura menunjukkan kedua jarinya membentuk huruf V. "Kamu datang sama dia? Itu berarti... dua bulan?" Anura mendesah panjang, tampak memikirkan sesuatu.
Ia berlalu pergi, masuk ke dalam kamar mandi.
"Aku menyiapkan air buatmu. Kamu suka aromaterapi apa? Boleh bantu milih?"
Aku tak memedulikannya. Yang kulakukan hanya memandang lurus ke kaca.
"Please...."
Muak mendengar ucapan memelasnya, aku menoleh ke belakang. Bibir Anura bergerak-gerak membentuk kalimat: Ke sini. Memutar bola mata ke atas, aku masuk ke kamar mandi dan menutupnya.
Kurasa, ia hanya ingin mengobrol tanpa diawasi oleh CCTV di sudut kamar ini.
"Kalian sudah ke perpustakaan, kan?" tanyanya tiba-tiba.
Sebelah alisku terangkat. Aku ingat, Nala mengajakku ke perpustakaan terbesar di Paris. Sebagai jawaban, aku mengangguk pelan.
Anura mengembuskan napas lega. Ia mengusap wajah, sedikit frustrasi. "Kita nggak bisa ngobrol lama di sini."
"Apa yang kamu rencanakan?" tanyaku, langsung ke sasaran.
"I just want to help you. I don't have other choice. Aku mengirim pesan padanya lewat buku Camus. Ada sesuatu yang harus kalian tahu."
"What's that?" Dahiku mengernyit.
Pintu kamar diketuk. Anura membuka pintu kamar mandi dan berlari membuka pintu kamar. Ada pelayan yang mengantarkan sarapan ke kamar. Melangkah ke luar kamar mandi, kulihat seorang perempuan berambut pirang yang kemarin menyambutku. Anura memerintahkannya meninggalkan sarapan itu ke atas nakas. Kudengar perempuan pirang itu mengatakan sesuatu pada Anura, lalu berpamitan pergi.
Kupandang makanan di atas nakas.
"Sepertinya, aku dibutuhkan. Aku akan kembali." Anura meninggalkanku dan mengunci pintu dari luar.
Aku duduk di pinggir ranjang. Kubenamkan wajah ke tangan. Pikiranku berkecamuk. Kepalaku pusing. Aku hanya ingin berhenti. Rasanya, menangis pun tak akan mengubah keadaan. Begitu mengangkat kepala, aku menatap makanan di atas nakas. Tiba-tiba saja perutku jadi mual. Tampaknya, aku terlalu tertekan dengan keadaan ini.
Aroma croissant di nakas terlalu menyengat di penciumanku. Aku tak tahan. Belum pernah aku merasakan hal ini. Perutku seakan mendapatkan hantaman. Hingga, tanpa sadar aku berlari ke kamar mandi sekadar memuntahkan sesuatu.
*****
Subhanallah, aku lama sekali update. Iya tahu. Jangan memaki ibu peri yang baik hati ini ya :)
Bentar lagi cerita ini tamat kok ehehe :)
Siap menghadapi endingnya kan ya ehehe :)
Sini sungkem dulu, komen, kalo ga besok aku dor salah satu tokoh kesayangan kalian :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro