Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

File 12 - Discrimen

Aksara terbangun dalam keadaan terkejut telah dikerumuni anak-anak. Ia berjengit bangkit. Sebelum berlari ketakutan, saya menghampirinya. Tangan terkibas di udara sebagai pertanda agar anak-anak ini menyingkir dan tak membuatnya semakin ketakutan—atau kebingungan. Melihat wajahnya yang pucat pasi, saya tersenyum kecil.

"Kenapa kamu sekaget ini?" tanya saya sembari duduk di tepi bale-bale dan mengangsurkan air minum.

Gadis itu memegang kepala dan menatap saya makin bingung. "Di mana aku?"

"Salah satu tempat yang saya temukan waktu mencari objek untuk fotografi."

Ia menerima air minum dan meneguk sedikit. "Aku tanya di mana?" Dengusannya terdengar sebal.

"Akan aku beri tahu nanti. Tapi jangan diberitakan di surat kabar. Ini adalah salah satu tempat yang jarang diketahui orang. Saya tidak mau tempat ini terekspos."

Bibirnya mencebik. Ia sepakat mengikuti saya pergi. Meletakkan gelas plastik yang berada di genggaman ke atas bale-bale, kami beranjak berdiri. Kami bergegas melangkah meninggalkan bale-bale di teras gubuk kecil ketika senja tak memberi jarak pada langit yang mulai oranye.

"Ini nggak terlalu gelap? Gimana kalau kita tersesat?"

"Tenang saja, Sara. Saya hapal jalanan di tempat ini. Ponsel saya pun punya senter. Jangan panik."

Ia tertawa kecil. Langkah kaki kami makin dipercepat, mendaki bebatuan yang membuat Sara berulang lagi mengaduh saat kakinya tergelincir. Saya memegangi tangannya dan membantunya berjalan melewati bebatuan. Hingga akhirnya kami tiba di suatu tempat yang lebih rimbun. Sara spontan berhenti.

"Kenapa aku harus percaya sama kamu?" tanyanya untuk kesekian kali. "Apa jaminannya kamu nggak berbuat jahat di tengah hutan? Ini tengah hutan!"

Aku tergelak melihat raut wajahnya. Ia mengernyit tak senang. "Kalau saya punya niat buruk sama kamu, saya bisa melakukannya jauh-jauh hari. Sekarang terserah. Kamu mau tetap ikut atau kembali lagi. Kalau kamu tahu jalan kembali, silakan."

Sara mendesah pendek. Saya melangkah mendahului. Di belakang, terdengar suara langkah kakinya yang mulai mengekor.

Di balik rimbunan semak-semak, terdengar bunyi binatang yang mulai bersahut-sahutan pertanda malam akan jatuh. Secara spontan, Sara mencengkeram bahu saya. Sikapnya membuat saya menggeleng dan tertawa kecil.

"Jika kamu tidak percaya dengan saya, kamu tidak akan mengikuti saya sampai sejauh ini, kan?"

Ia terkekeh. "Aku cuma pengen cepat-cepat balik dan pulang. Di sini gelap, ngeri, dan bikin gatal. Aku—" Ucapannya terpotong. Tangannya yang semula berada di lengan saya dilepas. Ekspresi yang ia tampilkan saat ini sama seperti yang saya bayangkan. Ia terperangah takjub. Matanya berbinar seperti gemintang di langit kelam. "Apa ini?"

"Sudah saya katakan sebelumnya kan, Sara? Saya akan buat kamu mempercayai dunia dongeng lagi. Dan inilah salah satu dunia dongeng yang saya temukan."

Bibir Sara terkatup rapat. Perlahan, ia mendekati tepi danau kecil dengan perahu yang terapung di dekat selasar. Langkahnya dipercepat menyusuri selasar, lalu berbalik badan. Tangannya bergerak menunjuk pepohonan rindang dengan buah-buahan yang baru saja tumbuh, beberapa petak kebun bunga warna-warni di seberang, dan danau dengan air jernihnya.

"Seperti di dalam buku cerita."

Saya mengangguk sepakat. "Tempat ini salah satu inspirasi terbesar saya."

"Tapi ini bukan negeri dongeng. Negeri dongeng nggak akan lengkap tanpa peri, kan?"

"Kamu mau melihat peri, Sara?"

"How come?"

"Kita tunggu saja. Nanti mereka akan datang." Saya mengajaknya duduk di ujung selasar untuk menikmati matahari yang tenggelam di balik rimbun pohon. Lampu-lampu yang digantung di beberapa pohon menyala redup. "Dulu tempat ini lebih gelap dan mengerikan. Saya dan anak-anak desa tadi yang mengubahnya."

"Anak-anak yang mukanya coreng-moreng?"

Saya mengangguk, sedangkan ia tertawa kecil. Kami berdiam diri selama beberapa saat seraya mendengarkan bunyi binatang malam yang makin lama makin nyaring. Menengok jam, saya menghitung dalam hati.

"Dua tahun lalu, saya berkunjung ke desa ini untuk projek fotografi bersama teman-teman saya. Mereka hanya mengambil objek pedesaan. Sedangkan saya nekad menjelajahi wilayah ini. Dan... ya... akhirnya saya menemukan tempat ini."

"Tempat yang menjadi salah satu inspirasi kamu," katanya. Bola matanya yang semula melirik ke arah saya berganti menuju ke depan, tepat ketika seekor kunang-kunang terbang mendekat. Tangannya sontak terulur. "Hey, kunang-kunang."

"Peri hutan. Sudah saya katakan, ada peri di sini."

"Peri hutan?" Tawanya meledak.

"Di buku dongeng, di mana peri tinggal?"

"Tempat yang sepi dan jarang dijamah manusia."

Saya menjentikkan jari. Ia mendesah panjang, menyengir membenarkan ucapan ngelantur saya. Tak hanya seekor, beberapa ekor kunang-kunang mulai meramaikan danau dengan pendar cahayanya. Sara mengamati keadaan di sekitarnya dengan takjub. Tentu saja pemandangan seperti ini tak pernah ia lihat di kota metropolitan yang padat penduduk, gedung, dan kendaraan seperti Surabaya.

"Terakhir kali aku melihat kunang-kunang saat aku masih kecil," katanya, sebelum menoleh memandang saya lagi. "Kenapa kamu lebih suka menyebut kunang-kunang sebagai peri? Bukannya terlalu kekanakan?"

"Apakah dongeng hanya boleh dinikmati anak-anak?" tanya saya. Ia tertawa hingga membungkuk. Sudut bibir saya terangkat sedikit. "Dunia sudah terlalu kacau. Kita butuh dongeng untuk melepaskan diri dari realita yang membuat muak."

Mengangguk, ia kembali mengamati pemandangan di depannya. Tangannya terulur lagi, memberi tempat seekor kunang-kunang untuk hinggap di telunjuknya.

"Kamu membuat saya mempercayai dongeng lagi," bisiknya lirih.

*****

Sejujurnya, aku tak suka bermain kasar pada perempuan. Meski ia seberengsek dan sesinting Calla Lily. Namun Mara menekanku dan memaksaku melakukan ini. Ia bilang, Lily sengaja mengambil keuntungan dari situasi pelik antara aku dengan Nirbita.

Beberapa waktu selanjutnya, Lily yang duduk dengan tubuh terikat mengangkat badan. Aku membuka tirai, membiarkan pemandangan kota yang gemerlapan terekspos. Berbalik badan, Lily memandang sekeliling, lalu beralih menuju ke arahku. Ia tertawa pendek.

"What the hell?"

Kuambil satu kursi dan duduk di depannya. "Aku nggak akan melepaskan kamu sampai kamu menjawab semua pertanyaanku."

"Emangnya, apa yang bakal kamu lakuin kalau aku nggak mau jawab, huh?"

Dari arah belakang, tiba-tiba saja keberadaan Mara mengejutkanku. Ia melayangkan pukulan telak pada wajah Lily hingga membuat gadis itu terjengkang ke belakang dan mendesis.

"Bitch."

Mara menarik rambutnya kasar. "Woman to woman, Darling. Aku bisa bermain lebih kasar, bisa juga sangat lembut. Tergantung kamu aja."

Lily tertawa panjang sampai tubuhnya bergetar. Mara menyentak rambutnya dan memilin bibir kesal. Sebelum tangannya melayang lagi, aku menarik lengannya, memintanya rileks.

"Arum sayang, aku cuma pengen tahu, apa yang sebenarnya kamu rencanakan? Kenapa kamu menginginkan perpisahan antara aku dengan Nirbita?"

"Bukankah jawabannya udah ada?" Gadis itu merendahkan nadanya beberapa oktaf sehingga membuat suaranya mirip desahan dipanjang-panjangkan. Tubuhnya condong ke depan sehingga wajah kami hanya berjarak beberapa senti. "She's the one and only my true love."

"Dia bikin aku habis kesabaran." Mara memukul keras wajah Lily. Sudut bibirnya memar dan mengucurkan darah. Lengah dan tak bertenaga, ikatan pada tubuhnya dilepas. Tangannya yang terikat ditarik kasar oleh Mara. Tubuhnya diseret menuju kamar mandi. Bathupnya diisi air sampai penuh. Aku mengamati di ambang pintu. Mara menarik rambut Lily. "What game are you playing?"

"It's not DOTA. Not even Mario Bros. You look so upset. What makes you upset, Babe? My pretty-annoying face?"

"Shut the fuck up." Kepala Lily ditenggelamkan Mara ke dalam bathup.

"Kita nggak perlu melakukan itu, Mara," kataku.

Memandangku, Mara memutar bola mata. Ia menyudahi aksinya dan membiarkan Lily mengambil napas. Alih-alih kapok, gadis gila itu justru menggumam dan tertawa.

"Fiuh. Tolong nanti tambahkan sabun. Kebetulan aku suka mandi tengah malam. Nanti kita join bertiga kayak dulu. That moment was so... fun." Ia menyeringai. Badannya didorong Mara hingga jatuh terduduk di sebelah bathup.

Meredakan emosinya, Mara memilih keluar untuk merokok. Tinggal aku dan Lily di kamar mandi. Aku berjongkok di depannya. Rambutnya kusut masai dan basah. Maskara luntur di bawah matanya. Dagunya kutarik ke atas.

"Entah kenapa aku nggak percaya dengan jawaban tadi."

Ia tersenyum miring. Tangannya yang masih terikat diangkat. Telunjuknya menyentuh dadaku. "Aku nggak bohong. Mungkin, jawaban tadi hanyalah salah satu dari sejuta jawaban lain."

Dagunya kucengkeram. "Arum, aku nggak tahu apa yang kamu lakukan sehingga Nirbita percaya kalau surat wasiat Papanya itu asli. Yang aku percayai adalah, kamu memalsukan surat itu. Karena kamu tahu kelemahan dia adalah orang-orang yang paling dia cintai. Kamu membuatnya percaya kalau Tirta adalah utusan Papanya untuk menyelamatkannya dari bahaya yang mengintai. Kamu membuatnya percaya kalau melalui Kertabhumi Girinderawardana, dia aman, sesuai dengan harapan Papanya."

Mendengar hipotesisku, ia malah terkekeh panjang. Aku melepas cengkeramanku pada dagunya dan membiarkan ia membalas, meski dengan dusta atau kejujuran.

"This is why I adore you so much." Ia memamerkan giginya, menyengir lebar. "Bukankah di penjara aku udah jelasin semuanya? Rencana memalsukan kematiannya dan mengubah kehidupannya drastis." Mulutnya terbuka hiperbolis. "Oh, aku lupa bagian pemalsuan surat itu." Ia tertawa.

"Obsesimu udah di batas kewajaran. Aneh. Katakan sejujurnya, selain obsesi, apa yang membuat kamu berambisi menyembunyikannya? Dan apa motif kamu memancingku pulang ke sini sampai-sampai menjadikan ibuku umpan?"

"Seharusnya kamu berterima kasih. Kalau kamu nggak pulang ke sini, sahabatmu yang kurang ajar dan nggak tahu diri itu pasti udah mati gara-gara mantan pacarmu."

"Lindu Bhanurasmi?"

"Emang kamu punya mantan berapa?" Bola matanya terputar.

Tebakanku benar. Ia tahu bahwa aku sedang dimata-matai. Akibatnya, Mara dan pasukan tersisa Ramses terkena imbas. Aku tak bisa membayangkan apa saja yang akan dilakukan Anura—dengan ancaman Edo—bila masih berada di dekatku. Tapi untuk apa Lily melakukannya kalau ia membenci aku dan Mara?

"Kenapa kamu sengaja menjauhkan Nirbita dariku?"

"Bukankah kamu senang kalau dia berada di tangan yang tepat? Nggak ada sejarahnya keluarga Girinderawardana kena ancaman pembunuhan atau serangan. Keluarga mereka sangat ditakuti. Sekali lagi, ucapkan terima kasih." Ia menyeringai.

Badanku condong ke depan. Mata kami bersirobok. "Apakah rencana kamu ada hubungannya dengan ibu kamu?"

Sudut mata Lily berkedut tegang. Raut wajahnya berubah drastis. "Hubungan apa?"

"Come on, Babe. Jangan kamu kira aku buta informasi. Selama di Prancis, aku menggali info tentang ibu kamu. Satu hal yang selalu jadi pertanyaanku sejak membaca bagian ucapan terima kasih di bukunya, dia menyebut bintang Jawa. Ada alasan lain baginya menyebut nama Lintang Kemukus selama bertahun-tahun, kecuali kalau dia punya relasi dekat dengan Lintang Kemukus alias bintang Jawa yang dianggap seperti saudara sendiri, hah? Motif kamu sekarang pasti nggak jauh dari ibu kamu dan relasinya dengan Lintang Kemukus, ibu Nirbita."

Sudut bibirnya terangkat culas. "Bisa bawa aku keluar dari sini? Dingin banget, tahu. Aku butuh tempat yang lebih nyaman buat menceritakan semuanya." Bibirnya mencebik.

Aku mendengus. Kuangkat ia dari ubin dingin dan menggendongnya keluar. Ia mengamatiku tanpa menghapus senyum lebarnya. Hal itu sangat menggangguku.

"Stop smiling. You scare me so much."

Tanpa melenyapkan senyumnya, ia memutar kepala. Tubuhnya kujatuhkan di ranjang. Detik itu pula kausku ditarik sehingga membuatku terjebak menindih tubuhnya. Diciumnya bibirku. Aku menahan dadanya dan bangkit berdiri, sementara suara tawanya menggelegak. Berengsek.

"This evil slut needs to stop. Bunuh aja kenapa, sih." Membuang puntung rokok di balkon, Mara kembali dengan wajah muak. Ia menarik kedua tangan Lily dan berganti mengikatnya pada kepala ranjang.

Lily mengamati tangannya, lalu beralih memandang Mara dan aku. "Apa kalian mau menjadikan aku submisif seperti di film Fifty Shades of Grey? Aku lebih suka jadi dominan, by the way. Ah, tolong jangan cambuk aku terlalu keras. Aku rapuh."

Mara menoleh ke arahku. "Aku pengen bunuh dia."

"Kita masih butuh dia hidup-hidup buat buka mulut." Aku duduk di tepi ranjang. "Lanjutkan yang tadi."

"Bisa kamu usir cewek ini keluar? Mukanya nggak nyantai." Dagunya dikedik ke arah Mara.

"Mara tetap di sini."

"Kalau begitu aku nggak mau buka mulut." Bibir Lily terkatup rapat. Hal itu memancing emosi Mara. Sebelum tangan Mara melayang memukulnya membabi buta, bel dibunyikan satu kali.

"Oh, sepertinya pangeranku datang untuk menyelamatkan putrinya yang disekap, diikat, dan disiksa seorang lelaki yang baru ditinggal kekasihnya dan temannya yang punya masalah kontrol diri."

Aku menghela napas panjang. Ponsel Lily berdering di atas nakas. Aku meraih dan mengangsurkan padanya. Detik bersamaan, Mara mengeluarkan pisau lipat dan mendekatkan ujungnya yang lancip ke leher Lily.

"Usir dia," perintahku.

Ia menggeleng. Ujung pisau lipat yang ditodong Mara menusuk sedikit pangkal leher Lily sampai mengucurkan darah, membuat gadis itu mengerang perlahan. "Okay, okay, I'll do it!"

Kudekatkan ponsel padanya dan menekan tombol loudspeaker. Mataku mendelik. Ia mengembuskan napas panjang dan membuka mulut, "Hai. Ada apa?"

"Aku di depan. Kenapa pintunya belum kamu buka? Apa aku buka sendiri?"

"Jangan. Aku sedang ada masalah—" Mara menggores kulitnya. "—dengan suasana hati. Sayang, kembalilah besok." Ia menelan ludah. "Saat matahari terik. Besok kita berpesta sampai larut oke? Discrimen." Ia mengakhirinya dengan senyum lebar. Segera, kuputus sambungan.

"Apa yang kamu katakan di akhir pembicaraan?" Mara mengarahkan ujung pisau di depan mata Lily.

"Apa? Ucapan selamat tinggal yang manis dalam bahasa Latin. Ya... kayak bye, darling. Atau I love you so much. Semacam itulah." Ia menjauhkan wajah dari pisau lipat Mara yang teracung di depannya. "Kamu nggak pernah ngucapin perpisahan dengan kata khusus ke pacarmu? Au revoir? Ah! Aku lupa kalau kamu ninggalin pacarmu demi misi sok sosial, politis dan heroik geng Ramses. Poor you." Lily melebarkan senyum padaku. "You two are definition of friendship goals."

Bola mata Mara terputar kesal. Tangannya sudah gatal ingin mengarahkan pisau di genggamannya ke arah mata Lily. "Stop talking, bitch. You hurt my ear. God, damn it. I swear to God will cut your fucking tounge."

"Tolong jauhkan pisau itu. Nanti kena mataku." Lily mengernyit.

"Pisau itu akan menancap di bola mata kamu kalau kamu mengulur waktu menjelaskan motif di balik perbuatan kamu ini. Ayo, lanjutkan," kataku mulai kehabisan kesabaran.

"Jadi begini..."

Belum sempat melemparkan kalimat selanjutnya, suara erangan Mara memecah perhatianku. Ia terjerembab menekan belakang lehernya. Di dekatnya, Tirta berdiri mengepalkan tangan.

"What the hell are you doing?" tanyanya murka.

"Seharusnya aku yang bilang begitu," balasku.

Ia menerjang untuk memberikan tendangan padaku. Aku menangkis serangannya. Sialnya, beberapa teknik bela diri yang dipelajarinya lebih baik dan terlatih. Ah, jangan remehkan kemampuan orang yang belajar di akademi kemiliteran, Nala. Kekuatannya jauh lebih besar dan terlatih. Aku kualahan menghadapinya. Mara bangkit dan menarik kerah jaket Tirta sebelum wajahku kena bogeman. Giliran mereka yang terlibat perkelahian. Tangan Mara ditelikung hingga membuat pisau di genggamannya jatuh. Tirta mengambil pisau itu dengan sigap. Sebelum terkena sabetan, Mara bergeser, sehingga benda tajam tersebut memangkas beberapa helai rambutnya.

"Not my hair!" Dahinya dibenturkan pada Tirta hingga membuatnya terhuyung.

Dari belakang, aku memiting lehernya. Pisau di tangannya terjatuh. Belum sempat dipungut Mara, Lily—yang entah bagaimana bisa melepaskan ikatan tangannya—menarik rambut Mara dan mendorong tubuhnya sampai pipinya menempel dinding.

"I'll cut you later, Darling." Ia mencium pipi Mara sebelum membenturkan dahinya pada tembok dan berlari kabur.

Di saat bersamaan, Tirta membelot dengan menyikut rusukku sekuat tenaga. Aku membungkuk kesakitan. Ia berlari mengikuti Lily meninggalkan apartemen.

"Merde." Aku mendesis menahan sakit.

Sementara di dekat ranjang, Mara bangkit seraya menekan dahinya yang memar.

"Lain kali jangan larang aku membunuh dia!" teriaknya kesal.

Aku duduk di sebelah Mara, mengatur napas. Bocah-bocah tengik. Pasangan sinting! Kalau bertemu lagi, akan kuikat dan kukunci keduanya di dalam tabung sebelum kutenggelamkan di laut Jawa.

*****

Hujan turun rintik-rintik membasahi tanah Surabaya. Seakan langit tahu mendung hatiku hari ini. Jemariku menempel pada kaca, merasakan dingin yang ngilu. Bola mataku bergerak ke atas, menuju langit kemerahan yang enggan menghentikan tangisnya. Aku tak bisa menangis sekarang. Kubiarkan langit yang mewakili.

Dari belakang, pundakku diusap. Aku melihat pantulan Bhumi dari kaca jendela. Ia tersenyum dan mengelus rambutku.

"Kamu suka memandangi hujan?" tanyanya.

"Ya," bisikku. "Sebab cinta adalah hujan yang tak pernah bertanya di mana akan dijatuhkan. Ia tak pernah mengeluh sakit setelah jatuh berkali-kali dan kembali lagi dengan suka cita. Karena hujan membawa kebahagiaan bagi petani. Begitu pula dengan cinta. Ia membawa kebahagiaan bagi manusia."

"Manis dan puitis. Kenapa kamu nggak pernah menunjukkan bakat kamu menulis kata-kata puitis, Sayang?" Ia memelukku dari belakang. "Aku ingin kamu menulis dan membaca puisi untukku."

"Aku nggak bisa nulis puisi."

"Yang tadi?"

"Hanya bisikan dari hati." Aku mengusap telapak tangannya. Memang, aku tak bisa menulis puisi. Tidak bila tiada seseorang yang benar-benar aku cintai di dekatku. Kulepas pelukan Bhumi dan berbalik badan. Kulihat kedua matanya yang ditumbuhi secercah harapan. Aku tak tega menghancurkan harapan itu setelah semua hal yang dilakukannya. Semua hal yang ia berikan.

Tapi kamu tega menghancurkan harapan di sepasang mata yang lain. Setelah semua hal yang dilakukannya. Semua hal yang ia berikan.

Aku menundukkan kepala, tak ingin tenggelam dalam perasaan bersalah yang lebih menyakitkan.

"Kamu tahu latar belakangku?"

"Kalau nggak tahu, mana mungkin aku melangkah sampai sejauh ini, Sayang. Aku tahu segala hal tentang kamu. Semuanya."

"Termasuk masa lalu dan masalahku?"

"Semuanya," ulangnya. "Bahkan aku bisa mencari orang yang sebelum ini berhasrat membunuhmu. Aku bisa menemukan dan menghabisinya."

"Nggak perlu." Aku tak mau ambil risiko lagi. Cukup. "Aku yakin mereka nggak akan datang dan menyakitiku. Meskipun bila mereka tahu kalau aku masih hidup, mereka tetap nggak berani mendekat. Itu yang kamu katakan. Semuanya berakhir di sini. Kamu yang bilang kalau orang mana pun nggak akan bisa berbuat jahat pada setiap anggota keluargamu." Dengan begini, aku yakin pula mereka tak berani mengambil langkah menyakiti keluargaku. Maksudku, Bunda. Bunda tak ada sangkut pautnya dengan kepentingan mereka. Yang mereka inginkan hanyalah aku.

Daguku ditarik Bhumi. Mataku dipaksa bersipapas dengan matanya.

"Aku akan menjamin kehidupanmu dan keluargamu baik-baik saja. Anak buahku menjaga rumah ibumu dua puluh empat jam dari kejauhan."

"Tirta melarangku bertemu ibuku," kataku pada akhirnya. "Dia pengen aku melupakan semuanya dan memulai hidup baru. Aku nggak bisa. Aku bisa melepaskan yang lain, tapi jangan keluargaku."

"Tirta melarang kamu? Hmm..." Bhumi menyipitkan mata. "Aku nggak pernah menyuruh dia melarang pertemuan kalian. Kukira, kamu yang nggak mau bertemu lagi dengan ibumu. Tirta bergerak sesuai perintahku, Sayang. Kenapa kamu harus takut dan baru bilang sekarang? Kamu lebih penting dari segalanya." Pipiku diusap lembut. "Kita akan bertemu ibu kamu."

Bibirku mengembangkan senyum merekah. "Apa nggak terlalu mencolok? Kalau mereka tahu kunjungan itu bagaimana?"

"Aku yang urus. Apa pun akan kulakukan demi melihat kamu tersenyum. Lihat, selama bersamaku, kamu jarang sekali menampakkan senyum ini." Ia mengusap bibirku perlahan, sebelum memagutnya.

Baru beberapa detik, suara derit pintu dan sapaan seseorang memutus kontak.

"Bos, aku perlu bicara."

Bhumi berbalik. "Bisakah lain kali kamu mengetuk pintu secara sopan, Tirta?"

"Maaf." Tirta mengangkat tangan.

"Setelah menghilang tanpa kabar sejak kemarin, sekarang kamu tiba-tiba muncul dengan wajah babak belur..." Nadanya berubah. Aku ikut mengubah ekspresi menjadi kalut. Ia tidak bermasalah dengan Nala lagi, kan? "Kita bicarakan di kantorku."

Bhumi melenggang pergi bersama Tirta. Ia menutup pintu kamarku. Aku meraih ponsel dan mencari kontak Nala. Ah, sial. Baru kuingat nomornya sudah kuhapus! Kuketuk dahi berkali-kali, memaki diri sendiri. Semua akun media sosialku pun sudah kunonaktifkan. Aku mengerang perlahan. Betapa bodohnya aku setelah mencampakkannya, sekarang malah mencemaskan keadaannya? Kulempar ponsel ke atas ranjang dan merebahkan badan.

"Jangan lakukan itu," kataku pada diri sendiri seperti orang gila. "Jangan. Pokoknya jangan. Teguh dengan prinsip." Aku memejamkan mata. Mungkin dengan begini, kekalutanku lenyap. Aku akan tertidur dan melupakan perasaan ini.

Beberapa detik selanjutnya, mataku terbuka. Seperti kesetanan, aku mengambil ponsel lagi. Apakah aman mengaktifkan akunku yang lama? Cuma sebentar kok. Boleh, kan? Boleh dong. Aku berjanji hanya sebentar sekadar bertanya keadaannya. Itu saja.

Mengabaikan cibiran dalam kepala, aku membuka akun lama dan mulai mengirimkan pesan. Kutunggu sampai lima menit. Jika ia tak kunjung membuka, akan kunonaktifkan lagi akun ini.

Hampir lima menit. Aku mendesah putus asa.

*****

"Tolong beri aku shisha satu, bir satu, sop buntut satu, pancake dengan toping keju satu, spageti bolognese satu, dan... oh! Onion ring, satu."

"Cantik-cantik nafsu makannya gede juga," dengus si pelayan laki-laki.

"Kamu nggak ngerti apa yang baru aja aku alami, bung." Telunjuk Mara teracung pada dahinya yang ditempel kain kasa dan plester. "Kemarin ada orang gila yang benturin dahiku. Sakitnya nggak separah waktu kena tembakan atau tusukan sih. Tapi memar dan benjolnya bikin jelek penampilan. Ngerti nggak, sih? I have bad weekend!"

Si pelayan memutar mata. "Ini aja?"

Mara menendang kakiku, menyadarkanku dari lamunan. Ia mendorong buku menu. Tanpa membukanya, aku mengacungkan tangan dan menyebutkan pesanan.

"Espresso."

"Seriously? Jangan sok alim." Mara meninggikan nada. Aku tak menanggapi protesnya. Telunjuknya teracung lagi. "Birnya tambah satu lagi ya."

Buku menu ditarik kembali oleh si pelayan yang lantas melenggang pergi. Mara memain-mainkan rambutnya dan menggerakkan badan mengikuti irama musik yang terputar. Dipandangnya aku selama beberapa saat, lalu menendang kakiku untuk kesekian kali.

"Earth to Anarki! Jangan kebiasaan ngelamun ah."

"Bukan sembarang ngelamun, tahu. Aku lagi mikir."

"Kalau gitu, jangan kebiasaan mikir. Ninggal kuliah aja sok mikir."

Shisha menjadi satu-satunya pesanan Mara yang datang lebih dulu. Dengan penuh semangat, Mara mulai meracik sebelum menikmatinya. Dua bir pesanannya datang menyusul. Ia mendorong satu bir untukku. Aku tak menjamahnya.

"Menurut kamu, apa motif dia melakukan ini? Kalau kita menarik Mutiara Aucoin ke dalam lingkaran ini. Selama bertahun-tahun wanita itu menyebut nama Lintang Kemukus."

Mara mengembuskan asap sekaligus berpikir. "Dendam?"

Aku menggeleng. Espresso pesananku datang. Kuketuk jemari di atas meja, belum menjamah espresso itu pula. "Nggak ada seorang sahabat yang menyimpan dendam sampai bertahun-tahun. Aku malah menganggap sebutan nama itu untuk hal lain. Rasa bersalah, mungkin?"

Mara mendesah panjang. Ia membuka tutup birnya dan meneguk sekali. Kulihat layar ponselku berkedip, pertanda sebuah pesan masuk ke dalam Messenger. Aku berjengit kaget.

Nirbita Arunika: call me stupid. aku cuma pengen tahu keadaan kamu. Tirta datang dalam keadaan babak belur. apa kalian bertengkar?

"Siapa?" Mara bertanya penasaran.

"Nirbita."

"Is that chick crazy, moron, or something? Sini." Ponselku direbut.

"Kamu mau apa?"

Ia tersenyum hiperbolis menunjukkan layar ponselku. Aku terperanjat.

"The fuck, Mara?! Kenapa kamu ngeblokir dia?!"

"She's getting so annoying. Aku nggak mau dia mempermainkan hati kamu seenak jidat. Dia nggak ngerti repotnya aku ngurusin kamu tiap mabuk. Udahlah." Ponselku dilempar. Aku menangkap sigap dan memandanginya selama beberapa detik. Tatapan tajam Mara mendorongku mengantongi ponsel tanpa memedulikan pesan tersebut.

Pesanan Mara satu per satu datang. Matanya berbinar senang. Ia menyantap hidangan di piring berbeda secara acak. Mataku berlabuh ke satu arah. Di dekat sebatang pohon besar, seseorang berdiri dengan wajah tertutupi tudung. Gesturnya tampak seperti mengajakku mengikutinya. Aku memandang Mara sebentar.

"Kamu lihat orang di luar sana?" bisikku.

Mara mengalihkan perhatian menuju tempat yang kutunjuk. Matanya menyipit curiga. "Kenapa tuh orang?"

"Aku akan cek."

Tanganku ditahan. Kedikan kepalanya tak memberiku pilihan lain kecuali mengajaknya serta. Mara mengeluarkan uang dari dompet dan meninggalkannya di atas meja.

Berdua, kami melenggang keluar menerjang rintik hujan menghampiri orang bertudung tadi. Ia berbelok ke tikungan, di gang lebar. Belum-belum Mara sudah memasang sikap defensif dengan mengeluarkan pistol yang ia sembunyikan di balik kaus. Sosok tersebut memasuki sebuah mobil jeep. Aku maju lebih dulu, sedangkan Mara di belakang dengan pistolnya.

"Masuk," seseorang memerintahkan dari dalam. Mengintip dari balik kaca jendela, sebagian wajah tampak dari balik tudung. Aku mendesah pendek dan memberi kode pada Mara tak ada yang perlu dicemaskan.

Kami memasuki mobil. Barulah tudung dilepaskan, menampilkan wajah Ramses yang spontan membuat Mara tertawa pendek dan memutar mata.

"Aku meninggalkan makananku untuk pertemuan rahasia super bodoh ini lagi?" sengalnya. "Aku nyaris dibunuh. Lalu kalian menuduhku berkhianat dan membuangku kemari."

Di jok belakang, Nawang berdeham, membungkam mulut Mara yang mengerucut kesal.

"Keadaan makin tidak aman," Ramses membuka suara. "Beberapa anggotaku dibantai. Kami nggak bisa nomaden lagi."

"Apa lagi yang kalian mau dariku?" Aku mendesah. "Hidupku sudah kacau, oke?"

"Begini ya jawaban anak politik yang hobi demo di jalan?" Nawang menyeletuk. Menancap langsung kena jantung. Aku menoleh ke belakang. Tatapannya sungguh kurang ajar.

"Begini ya, Nona Cantik nan Seksi tapi Galak. Aku nggak mau kejadian buruk menimpa keluargaku. Cukup kehilangan seseorang yang sebentar lagi dinikahi konglomerat yang punya pengaruh besar dan ditakuti mafia. Aku masih punya keluarga."

"Pengecut."

"Apa?"

"Cukup." Ramses mengetuk jok. "Anarki, sebelumnya aku minta maaf sudah melibatkan kamu ke dalam masalah ini. Tapi tanpa bantuan kamu, kita nggak bisa jalan."

"Kenapa kalian bergantung denganku?"

"Karena kamu dan cewek ini pernah berhubungan dengan Edo Mikael Notonegoro," Nawang menyela dengan nada tinggi. "Kalian yang lebih tahu taktik berperangnya."

"Aku nggak pernah berhubungan sama Edo, oke? Itu yang pertama," ralatku. "Yang kedua, bisakah kamu berhenti berteriak di kupingku, Nawang?"

Ramses mengambil alih pembicaraan. Aku lebih suka bila ia yang membuka mulut daripada tunangannya yang bisa bikin gendang telinga jebol. Dari dalam kotak kayu, Ramses mengeluarkan sebutir peluru dan menunjukkannya padaku serta Mara.

"Ini adalah peluru dari senjata api antek-antek mereka dan masih dalam penyelidikan. Sejauh ini kami memantau dan membaca situasi. Ingat pesta ketika mereka merapatkan soal mutiara yang dijual ilegal?"

"Ya..."

"Ada pertemuan serupa, kali ini dengan tujuan berbeda."

Aku memandangnya tak mengerti. Mara yang menggosok kuku mengangkat bahu, sama-sama tak paham.

"Maksudnya... kita akan diumpankan kayak dulu?"

"Ah, tenang saja. Kami mengajak kerja sama satu orang lagi."

"Siapa?"

Ramses mengecek jam tangan. "Sebentar lagi dia bergabung."

Selang beberapa menit ia mengatakan kalimat tersebut, pintu mobil dibuka seseorang. Ia duduk di sebelah sopir, kemudian menoleh dengan cengiran lebar dan berujar,

"You guys look so chewy."

Baik aku maupun Mara saling melemparkan tatapan serupa. Apa yang ada di kepala Ramses sampai nekad mengajak kerja sama orang gila macam Calla Lily?

*****

Discrimen ini artinya 'bahaya' dari bahasa Latin. Ini kode Lily buat Tirta bhakkk

Jadi, laptop saya lagi butuh direinstall karena error. Ini aja kebetulan pinjam temen :'D

Maafkan saya yang sudah lama tak update hahahahaha. Kalau ada pinjaman lagi, bakal cepet update kok...

Bersiaplah hujan air mata dan menangis darah untuk bab selanjutnya. Oh ya, saya lagi pengen matiin karakter nih di sini. Seru kali ya kalau banyak yang mati. Siapa yang pantas dimatiin nih? xD

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro