❝ tri
"Tooru? Kamu sama [name] berantem?"
"Enggak kok." Surai brunette ia acak pelan, pertanyaan dari sang Ibu mengawali pagi harinya dengan membawa kebingungan. "Emangnya kelihatan begitu?"
Sang Ibu melanjutkan kegiatan memotongi bumbu makanan, mata coklatnya memicing diam-diam. "Ibu udah lama nggak ketemu [name], takutnya kalian lagi berantem aja."
Tooru tertawa ringan, "Kami baik-baik aja."
"Bener?" Nada tanya terdengar ragu sekaligus kecewa. "Perasaan Ibu nggak enak, Tooru. Coba ingat-ingat, ada kejadian apa gitu diantara kalian?"
Ruang makan yang sepi membuat suara Nyoya Oikawa serasa menggema. Tooru mengusap dagu. Kalau dipikir-pikir, gadis itu belum membalas pesannya semenjak kejadian di koridor kemarin. Hajime Iwaizumi juga terlihat lebih membenci Tooru daripada biasanya, namun si kakak sulung tak mengatakan apa-apa.
"Kemarin [name] dateng ke kelas, ngobrol sebentar. Setelahnya ada Kay, dan mereka juga ngobrol sebentar."
»»--⍟--««
"[name]-san," Seorang perempuan mendekati saat [name] membolak-balik naskah yang belum sepenuhnya jadi.
"Ya?"
"Itu... aku kayaknya nggak bisa deh ngambil peran utama."
Si gadis bermarga Iwaizumi menatap bingung, "Kenapa?"
"Soalnya, bukan aku banget."
[name] bergumam pelan. Ya, cewek ini kalem. Sementara tokoh utama pada pentas bulan depan digambarkan manusia yang sebaliknya. Ganjen. Suka tebar pesona.
"Yang dapet peran cowoknya siapa?"
Gadis bernama Natsu itu menunjuk malu, seorang laki-laki yang juga diketahui mengikuti ikut Klub Voli. Matsukawa Issei.
Peran Mattsun disini menjadi cowok kalem. Dingin. Sulit terpengaruh karena hal-hal kecil. Lagi-lagi berkebalikan dengan kenyataan, sulit memang.
Tetiba [name] tertawa keras, "Bakal banget anjir."
"Ih, [name]!"
"Maaf maaf," Gadis itu menyudahi tawa. "Abis Kak Matsukawa kayak bapak-bapak, terus kamu badannya sama muka mirip anak kecil. Jadi, ya."
"Serem kan?" Natsu menatap horror, "[name] aja ya yang jadi tokoh utama?"
"Mana bisa," Sang Iwaizumi menyangkal cepat, "Aku udah nulis naskah. Capek kalau harus ikut main."
Menolak ketika sekiranya memang enggan dan tidak dalam kapasitas untuk membantu. [name] sudah fasih dengan tindak tanduk mencintai diri sendiri. Atau, setidaknya itu yang diajarkan Oikawa Tooru.
Dari kejauhan, Matsukawa berjalan mendekat. Tatapannya memancarkan sorot aneh, sungguhan aneh ditambah senyum miring yang dicetak pada air muka.
"Hay."
"Kak," [name] mulai cengengesan. "Biasa aja ekspresinya."
"Ya ini udah biasa," Matsukawa melengkungkan bibir ke bawah. "Emang bentukan muka aku kayak gini, [name]."
"Enggak ah, senyumnya aneh!"
"Sembarangan!"
"[name], n-nanti aku bilang sama ketua klub deh. K-kamu gantiin aku ya?"
Dengan berkata begitu, Natsu berjalan pergi. Langkahnya cepat sampai-sampai [name] tak sempat mengatakan apa-apa.
"Tuh, anak orang sampe ketakutan."
Matsukawa mendecih, "Jadi kamu yang jadi peran utama?"
"Hooh," [name] memasang ekspresi kesal, namun kemudian terlihat senyum bangga yang ada pada wajahnya. "Aku udah lama enggak main langsung. Kak Matsukawa, mohon bantuannya."
"Matsun!"
Kedua manusia yang tengah bercengkrama itu menengok, mendapati Oikawa dan Hajime tengah berjalan mendekati panggung aula. [name] langsung mengubah air muka, "Kak Matsukawa hari ini ada latihan voli?"
"Gak." Jawab si kakel singkat, "Gak tau itu dua tuyul ngapain kesini."
Kekehan kecil berhasil lolos tepat sesaat sebelum Oikawa sampai di hadapan keduanya. "Lagi ngapain?"
"Sendirinya ngapain kesini? Ganggu pemandangan aja."
"Kasar banget," Oikawa memasang wajah bete. "Iwa-chan juga kesini, kenapa aku aja yang dihina?"
"Ye, Iwaizumi jelas mau datengin adeknya. Lah situ ngapain?" Matsukawa memasang senyum miring yang sebelumnya [name] sebut mirip bapak-bapak sesaat setelah menyelesaikan ucapan.
"Aku juga kan mau-"
"Kak Hajime mau pulang sekarang?" Celetuk [name] saat diliriknya sang Kakak sudah menenteng tas sekolahnya. "Mau duluan aja?"
Oikawa mengerjap, hampir keceplosan soal dirinya yang juga hendak menemui [name]. Tentu saja aula Seijoh sedang ramai-ramainya, mengingat banyak siswa diluar klub teater yang ikut menyaksikan persiapan dari hari ke hari. Kali ini pun tak jauh berbeda.
"Aku ada rapat ketua eskul," Bohong Hajime. "Kamu pulang sama makhluk ini aja ya?"
[name] sempat mengernyit, lalu paham sendiri setelah beberapa detik. Sepertinya Oikawa butuh berbicara dengannya, sampai-sampai Hajime harus berbohong segala. Jarang sekali, hebat juga Oikawa bisa meyakinkan si kakak untuk membantu kemauannya.
"Ya." Jawab [name] singkat.
Hajime melirik Oikawa malas, "Jagain."
"Oke!"
"Nih," Tetiba Matsukawa menyodorkan sebuah peluit.
"Apa ini Kak?"
"Peluit anti perkosa. Tiup aja yang kenceng kalau Oikawa ngapa-ngapain."
"Matsun!"
[]
Beberapa menit kemudian, [name] berjalan mendekati Oikawa yang tengah terduduk kursi tengah. Obrolan kecil yang tercipta antara dirinya dengan pelatih dan ketua klub mengenai pergantian pemeran tak memakan waktu lama, senyuman yang Oikawa lemparkan dibalas anggukan singkat.
"Kak Oikawa? Mau pulang bareng?"
Tak ada angin tak ada tornado, langkah [name] dipotong dengan tidak elitnya oleh salah satu senior anggota klub teater. Gadis itu sampai sedikt terhuyung ke belakang, untung saja ada ujung kursi yang dijadikan pegangan. Sontak Oikawa langsung berdiri, yang kemudian malah disalah pahami.
"Eh? Kok langsung berdiri? Beneran mau pulang bareng aku?"
Cowok itu memaksakan senyum, melirik [name] sekilas untuk memastikan kekasihnya baik-baik saja. "Ah, maaf. Aku harus anter [name]-chan pulang. Iwa-chan lagi sibuk soalnya."
Si Kakak Kelas melirik [name] dengan ujung mata, "Yaudah kita pulang bertiga?"
"Err..." Oikawa kelimpungan, niat berbicara empat mata bisa-bisa tak terlaksana hanya karena ajakan penggemar yang tak bisa ia tolak begitu saja. "Itu...."
"Gimana?" Cewek itu bahkan nggak melirik [name], boro-boro minta persetujuan karena menyela rencana mereka untuk pulang berdua.
"Nggak bisa." Jawab [name] dingin, "Kak Oikawa sama aku masih harus jemput Takeru."
"Terus masalahnya dimana?"
"Masalahnya, Takeru nggak suka berbaur sama orang asing."
"Emang [name] sedekat apa sih sama keluarga Oikawa?"
"Aku-"
"Wah, maaf. Udah sore." Oikawa menepuk bahu si kakak kelas, melemparkan senyum yang membuat siapapun terpesona. "[name] bakal kena marah kalau pulang terlalu larut, lain kali saja ya?"
"Eeh, Oikawa!"
"Bye bye~"
Lengan [name] ditarik pelan, berjalan menuju pintu keluar menghindari panggilan dari perempuan yang ditinggalkan di belakang.
[name] menghentikan langkah, saat keadaan mereka agak jauh dari gedung aula, perempuan itu melepaskan pegangan Oikawa. "Lain kali?"
Lihat? Betapa mudahnya [name] menunjukan perasaan aslinya saat sedang bersama Oikawa saja.
"Enggak, enggak akan. Aku nggak akan jalan sama perempuan lain selain kamu dan Ibu. Janji." Kata Oikawa buru-buru setelah mendapati suara bergetar yang dikeluarkan [name].
Tatapan [name] berubah lembut, kendati perasaannya masih diselimuti kabut. Gadis itu selalu percaya dengan perkataan kekasihnya. Karena pada akhirnya, Oikawa Tooru adalah seserang yang berjuang kelas membantu menutup luka yang gadis itu dapatlan dari masa lalu.
Keduanya berjalan bersisian sampai Oikawa merangkul bahu kecilnya pelan.
"Too-"
"Hai," Sapa Oikawa pada kumpulan gadis di gerbang sekolah. "[name]-chan lagi nggak enak badan, makannya harus aku jaga supaya nggak makin diserang kuman."
Penjelasan nggak penting yang mengandung dusta sepenuhnya. [name] bertingkah gelisah.
Sebenarnya gadis itu ingin sekali balas memeluk badan hangat Oikawa seperti yang mereka biasa lakukan saat sedang berdua, menggosok-gosokan kening pada ketiak yang wanginya selalu [name] suka. Berbagi kehangatan tanpa khawatir mendapat celaan dari orang-orang, tertawa keras saat salah satu kerap iseng menggelitiki yang lainnya.
"Si [name] itu," Kata seorang gadis di sebuah kerumunan yang keduanya lalui, "Adeknya Iwaizumi? Yang anak teater?"
"Iya, yang itu."
"Oh, pantes. Jago banget munafiknya."
Panas. Panas. Panas.
Lagu gigi menggema di kepala [name], helaan nafas dibuang tajam. Sabar. Dirinya berbatin.
Pusing. Pusing. Pusing.
"Nggak usah didenger," Pelukan pada bahu diikuti usapan pelan dari telapak besar. "Pokoknya kalau lagi bareng sama aku, jangan denger dan lihat orang lain. Fokus ke aku. Anggep mereka monyet aja."
Sebenarnya, [name] itu seperti punya tiga mode; di muka umum, depan oikawa, dan saat sedang sendiri.
Benar, perbedaan paling kentara terlihat saat dirinya sedang bersama sang pacar. Niat ingin biasa saja malah terlihat pencitraan, sok kalem. Kalau [name] dan Oikawa bertingkah selayaknya pasangan, dikatai perebut laki orang.
Orang-orang itu maunya apa sih?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro