Bab 9-Sidang
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Aula yang berukuran cukup besar itu menjadi saksi bisu Ashilla diadili oleh beberapa tenaga pengajar pesantren, termasuk Ustaz Rifki di dalamnya. Tak ada sedikit pun rasa takut yang dirasakan oleh gadis itu, ia malah terlihat santai bahkan masih saja mengonsumsi biskuat cokelat kesukaannya. Ashilla memang benar-benar gadis aneh bin ajaib yang kelewat lempeng.
"Gue tuh gak bunuh tuh bocah, harus berapa kali sih gue bilang begitu. Gini-gini gue juga tahu dosa, mana mau gue dapet tiket express buat masuk ke neraka," katanya tegas namun tak meninggalkan ciri khas gadis tersebut.
"Ashilla!" tegur Ustazah Hanifah dengan diiringi gelengan. Ia tak habis pikir dengan salah satu anak dari pemilik pesantren di mana tempatnya bernaung sekarang.
Ashilla berdecak tak suka, dengan santai ia bertumpang kaki, menyandarkan tubuh di badan kursi dan mengambil biskuat cokelat yang berada dalam saku celananya. "Tanya aja tuh sama Aisyah. Ya kali gue capek-capek ngotorin tangan buat bunuh orang, kurang kerjaan banget!"
Merasa terpanggil, rasa gugup dan takut mulai menyelimuti Aisyah. Ia tak ingin menjadi tersangka dalam pembunuhan ini, terlebih memang bukan dirinya yang membunuh. Ia hanya tameng dari seseorang yang kini bersemayam tenang dalam tubuhnya.
"Aisyah," panggil Ustazah Hanifah lembut, dengan terpaksa gadis itu pun mendongak risau. Terlihat jelas dari tangannya yang sedari tadi memilin ujung jilbab dengan resah
"I-iya Us-tazah," sahut Aisyah tergagap-gagap.
Menyadari kegelisahan yang tengah Aisyah rasakan, Ustazah Hanifah pun berjalan untuk menghampiri Aisyah dan mendudukkan gadis itu di sisi Ashilla. Terlihat sangat jomplang, Ashilla yang masih bisa bersikap tenang, sedangkan Aisyah sudah dirundung kegelisahan.
"Jangan biarkan sisi lain dalam diri lo keluar di sini, kendalikan diri lo," desis Ashilla pelan namun terdengar sangat tegas di telinga Ashilla.
Bisa terjadi pertumpahan darah lagi jika sampai hal buruk itu terjadi. Masalah ini saja belum menemukan titik terang, dan akan semakin panjang jika melibatkannya. Sungguh sangat memuakkan.
Aisyah mencoba untuk merilekskan diri dengan cara berulang kali menarik napas panjang lantas mengembuskannya kasar.
"Apa benar kamu ada di tempat kejadian, Aisyah?" Pertanyaan itu dilayangkan Ustazah Hanifah, lembut namun sangat menusuk.
Gadis itu duduk dengan tak tenang, merotasi matanya pada sekeliling ruangan, dan jatuh pada sorot mata tajam milik Ashilla. Kontan, hal itu malah semakin membuat Aisyah dirundung kegamangan yang begitu mendalam.
"Be-be-nar, Ustazah."
Ustazah Hanifah menopang dagu dengan kedua tangan, seraya menatap Aisyah penuh intimidasi. "Apa benar," ia melirik Ashilla sejenak, "bahwa Ashilla adalah pelaku dari kejadian ini?"
Aisyah melirik Ashilla ragu-ragu, sementara Ashilla masih dalam mode 'bodo amat'. Mau dia keluar sebagai tersangka ataupun tidak, terserah saja. Toh, semua orang sudah memandangnya rendah. Bahkan Ashilla sangat yakin bahwa ia akan bebas apabila dijebloskan ke dalam penjara, sebab bukti yang mereka pegang tidak cukup kuat.
Namun, ada satu masalah di sini. Jika Aisyah berani menunjuk Ashilla sebagai tersangka, maka Aisyah akan dijadikan sebagai saksi untuk Ashilla masuk penjara. Bahaya. Jangan sampai gadis pendiam itu mengutarakan kebohongan, bisa runyam semuanya.
"S-saya ...."
"Ashilla, bagaimana hasil sidangnya?"
"Apa benar kamu melakukan hal itu ke Ais?"
"Ashilla, tidak bisakah kamu menjawab?!"
Gadis itu merasa malas sekali mendengar segala introgasi yang dilayangkan oleh teman-teman satu kamarnya, siapa lagi kalau bukan Caca, Murni, dan Hena. Rasanya telinga Ashilla sudah panas.
Selimut yang tengah Ashilla kenakan untuk menutup seluruh tubuhnya harus direbut paksa oleh Caca, dan disembunyikan di balik punggung perempuan tersebut. Dengan geram Ashilla bangkit dari duduknya, dan menatap penuh rasa tak suka pada mereka.
"Kalau gue yang beneran bunuh tuh bocah kenapa?" tanya Ashilla dengan penuh keseriusan.
"Gak mungkin!" sahut Caca. Gadis yang paling tidak menyukai Ashilla itu kembali berbicara, "walau saya tidak suka kamu, tapi saya tahu kalau kamu gak akan ngelakuin hal tersebut."
"Betul itu," balas Hena. Sedangkan Murni hanya mengangguk saja.
"Gue ketangkap tangan, bahkan udah diadili sama pengurus pesantren. Dan bodohnya kalian masih aja ngelak dan percaya gue gak bersalah? Sungguh sulit untuk dipercaya." Ashilla geleng-geleng dan berlagak memasang wajah penuh kesungguhan.
"Gue tahu di antara kalian sering kebangun pas gue kabur malem-malem―"
Perkataan Ashilla harus dihentikan paksa oleh ucapan salah satu di antara mereka. "Kamu sering lakuin itu, dan baru kali ini ada kasus!"
"Sangat tidak masuk logika, Ashilla."
Ashilla hanya mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban atas pernyataan Caca dan Hena.
"Allah udah atur semuanya, kalau emang jeruji besi itu akan jadi tempat tinggal gue sementara, maka gue akan tinggal di sana, tapi kalau bukan ya mungkin nasib baik sedang berada di pihak gue."
Ketiganya menatap Ashilla penuh rasa tak percaya, tak biasanya gadis itu bisa berkata bijak dan serius. Itu bukanlah Ashilla.
"Kamu pasti Aisyah, kan?"
Ashilla yang mendengar kalimat tanya tersebut tergelak bukan main, sepertinya mereka belum benar-benar bisa membedakan mana Ashilla dan mana Aisyah.
"Serah kalian ajalah, gue ngantuk mau tidur," sahutnya santai dan kembali merebahkan tubuh dengan tenang.
Jika memang hari ini adalah hari terakhir ia bisa tidur nyenyak di atas pembaringan, setidaknya itu sudah lebih dari cukup. Karena bisa saja besok atau lusa polisi akan menjemput dan menjebloskannya ke dalam penjara.
Ashilla sangat mengingat dengan betul bagaimana Aisyah malah merangkai kebohongan dan menuduhnya sebagai pelaku. Tak ada yang dapat Ashilla lakukan selain diam dan menerima setiap tuduhan yang datang.
Saudari kandungannya saja begitu tega berbuat hal yang membuat nasibnya terombang-ambing, apalagi orang lain yang tak memiliki hubungan apa-apa dengannya. Sedangkan sang ayah pun tak bisa berbuat banyak, penuturan yang Aisyah lontarkan cukup kuat tak terbantahkan.
"Bagaimana hasilnya?"
"Dari pengamatanku, dia berkata jujur. Dia tidak bersalah."
"Aku juga berpikir begitu, akan tetapi―"
"Harus ada yang dikorbankan, agar kasus ini selesai."
Wanita paruh baya itu mengangguk dengan berat hati. Sedangkan pria di seberangnya, yang notabenenya adalah seorang pengacara, hanya bisa menghela napas. Pikiran mereka ada pada satu frekuensi, yaitu mengasihani gadis yang baru tumbuh dewasa harus dikorbankan untuk kasus kematian santriwati.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro