Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 8 | Kelanjutan

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Ustaz Rifki merenggangkan badan, bersiap untuk duduk di sofa dengan nyaman guna menyandarkan punggung yang sudah mulai rapuh. Namun, baru saja mendapatkan posisi wenak terdengar suara ketukan pintu, dengan segera ia berjalan dan membukakan akses masuk.

Di sana terlihat seorang santri dengan balutan koko cokelat, sarung bercorak kotak-kotak, dan jangan lupakan peci hitam yang bertengger apik di kepala. Sangat mencerminkan anak pesantren bukan?

"Wa'alaikumussalam, masuk Nak!"

Santri tersebut pun mengikuti titah yang Ustaz Rifki berikan, lantas mencium telapak tangan sang ustaz dengan khidmat penuh rasa hormat. "Ada apa datang kemari?" tanya Ustaz Rifki saat setelah keduanya terduduk di sofa yang tersedia di ruang tamu.

"Saya hanya mau mengabarkan bahwa ada santri yang tengah dirawat di Rumah Sakit Mekar Suri. Lokasinya cukup dekat dari sini, Ustaz, hanya 14 kilometer."

"Sebentar, kenapa kamu baru mengabarkan?"

"Saya disuruh Ustazah Hanifah, yang berjaga semalam."

"Memangnya santriwati itu kenapa?" Ustaz Rifki menenangkan jantungnya yang sudah mulai berdetak kencang, seakan sudah bisa menebak jawaban yang akan dilontarkan oleh salah satu santrinya.

"Saya kurang tahu, Ustaz. Hanya saja, kata Ustazah Hanifah, santriwati tersebut ditemukan di koridor dekat kamar 309 dalam keadaan seluruh pakaiannya berlumur darah."

Ketika menyebut 'darah', santri itu pun memelankan suara. Ia merasa tak enak hati jika mengucapkan hal tersebut pada Ustaz Rifki.

"Innalillahi wa innalillahi roji'un. Lalu, bagaimana kondisinya sekarang?"

"Bisa dikatakan kurang baik, Ustaz."

Ustaz Rifki terdiam. Di kepalanya hanya ada satu nama yang ia yakini mampu menjawab pertanyaan itu; Ashilla.

Dengan kaki gemetar hebat Ustaz Rifki berjalan ke ruangan tempat di mana salah satu santrinya berada. Gemuruh dalam dada sudah saling memberontak hebat, terlebih jika hal buruk menimpa anak didiknya tersebut.

Baru saja tangannya bergerak untuk membuka handle pintu, namun gerakan itu terhenti karena ada seseorang yang sudah lebih dulu membukanya dari arah dalam. Di sana, Ustazah Hanifah mematung, terkejut. Bahkan deru napasnya saja sudah memburu dengan begitu cepat.

"Us—taz Rifki," katanya terbata dengan kepala menunduk menatap lantai.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Ustaz Rifki tanpa mau memusingkan perilaku Ustazah Hanifah yang masih terlihat shock dan salah tingkah.

Ustazah Hanifah sedikit melipir, memberikan Ustaz Rifki space untuk bisa memasuki ruangan tersebut. Dan betapa terkejutnya Ustaz Rifki, saat melihat santrinya kembali tumbang tak bernyawa.

Tubuh kaku dengan wajah pucat pasi itu sudah tertutupi kain putih. Tubuh lelaki paruh baya itu rasanya sudah lemas seperti jelly. Lagi, lagi, dan lagi. Korban semakin berjatuhan, dan kian hari kian bertambah banyak jumlahnya.

"Urus administrasi dan juga segera hubungi keluarganya," titah Ustaz Rifki pada Ustazah Hanifah yang masih terlihat kurang fokus.

Untuk yang ke sekian detik barulah kesadaran ustazah muda itu pun kembali naik ke permukaan. "Ba—baik Ustaz." Setelahnya ia pun bergegas untuk melaksanakan instruksi yang telah Ustaz Rifki berikan.

"Sebentar, Ustaz!"

Ustaz Rifki menghela napas, dalam keadaan genting seperti ini saja, kaum perempuan masih saja merepotkan. Tidak bisakah berbicara langsung pada intinya saja? Sungguh sangat membuang-buang waktu saja.

"Ya, ada apa?"

"Ada hal penting yang saya lupakan, tentang pelaku yang telah melukai Ais."

Punggung Ustaz Rifki menegak. "Kamu tahu pelakunya?"

Ustazah Hanifah mengangguk dengan pasti. Kata-kata yang Ais ucapkan malam itu masih membekas dalam ingatan.

Malam hari setelah Ashilla membawa Aisyah pergi, Ais―korban―mencoba menyeret tubuhnya untuk keluar gudang dan meminta bantuan. Bukan hanya untuk dirinya, melainkan untuk Ashilla pula.

Ais menyeret tubuhnya di koridor seraya berteriak dengan napas yang sudah mulai tersengal-senggal, "T-tolong!"

Rasanya sebuah pedang sudah mulai bermain-main di kerongkongan. Mungkin malam ini, Malaikat Izroil akan berkunjung, namun ia harap tidak untuk saat ini. Ada satu nyawa yang harus ia tolong, Ashilla.

Tak berapa lama datanglah seorang wanita paruh baya bernama Hanifah atau yang biasanya dipanggil Ustazah Hanifah.

"U-Usta-zah, tolong sa-ya."

Ustazah Hanifah mendekat dengan jantung dan perut yang sudah mulai mual tak ketulungan. Belum lagi kondisi malam yang sudah larut, sangat membuat bulu kuduk meremang tanpa dapat dicegah. Sekuat tenaga ia meredam segala rasa takut yang kian menggeroti, dan bergerak menghampiri sang santri.

"Kamu masih kuat menunggu? Saya akan minta bantuan untuk membawamu ke rumah sakit."

"Ja-jangan tinggalkan saya!"

"Saya tidak akan meninggalkan kamu."

Ketika Ustazah Hanifah hendak menyanggah bahu Ais, gadis itu malah menarik ujung gamisnya, dan hal itu suskes membuat Ustazah Hanifah menggigil karena rasa takut. "Kenapa kamu menarik gamis saya?"

"A-Ashilla."

"Ashilla? Kenapa kamu menyebut namanya, apa dia yang melakukan ini sama kamu?"

Ais berusaha untuk membuka mulut, akan tetapi gagal karena kesadarannya lebih dulu menghilang. Ustazah Hanifah pun memilih untuk menghubungi seseorang.

"Kamu tenang saja, saya akan meminta Ustaz Rifki untuk mengadili Ashilla."

Sekelebat bayangan itu seketika menghilang dengan rasa geram yang sudah sangat membuncah dalam dada. Ia akan memperjuangkan hak santrinya, sekalipun harus beradu debat dengan pemilik pesantren. Mau bagaimanapun keadilan harus ditegakkan.

"Ashilla. Ashilla pelakunya, Ustaz."

Ustaz Rifki menyentuh dada kiri. Ia benar-benar terkejut mendengar fakta tersebut. Netranya sejenak terpejam rapat, menghilangkan segala asumsi yang sudah mulai membayangi. "Tidak mungkin Ashilla berbuat seperti itu, pasti ada kesalahpahaman di sini. Lagi pula Ais belum menjelaskan semuanya."

Ustazah Hanifah merasa bahwa Ustaz Rifki tidak berperilaku adil sebab status Ashilla yang merupakan anak kandungnya. "Saya tahu bahwa Ashilla anak Ustaz, tetapi bukan berarti dia tidak berhak untuk diadili."

Ustaz Rifki merasa tidak suka akan kata-kata yang baru saja Ustazah Hanifah lontarkan. Ia pun menghela napas kembali untuk menenangkan diri. "Karena dia anak saya, saya tahu dia tidak akan melakukan hal tersebut. Kecuali ...."

"Ke-kecuali apa, Ustaz?"

Ustaz Rifki beristigfar dalam hati. Hampir saja ia membocorkan sebuah rahasia besar pada Ustazah Hanifah. "Tidak."

Di sisi lain, Ashilla masih nyaman tertidur di atas matras, hingga salah seorang petugas membuka kunci pintunya.

"Astagfirullah! Siapa di sana?"

Ashilla menutup telinga dengan sarung. Tidak lupa untuk berbalik posisi menghadap tembok. "Berisik!"

"Saya kira jurig, tahu-tahunya orang. Bangun, kamu ini santriwati, tapi kok males!"

Ashilla merasakan sarung di tubuhnya ditarik kuat. Dengan cemberut gadis itu kembali membalik posisi menghadap pelaku. "Masih pagi."

"Eh―Shilla? Kok, kamu di sini?"

Ashilla menguap.

"Gue emang di sini. Ada apaan, sih?"

"Itu, di luar banyak yang nyariin kamu."

"Gue? Ngapain nyariin gue?"

Sosok itu terdiam. Matanya sesekali melirik Ashilla dengan ragu. "Kasus, ada siswi yang meninggal pagi tadi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro