Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 7-Sisi Lain

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

"Syah, cukup!"

Beberapa kali mata Ashilla menatap cemas ke arah belakang, lebih tepatnya pada sang korban. Gadis itu meringis melihat banyaknya darah yang merembes keluar.

"Permainan belum berakhir, Shilla!"

"Shit!" Ashilla sudah tidak tahan untuk mengumpat. Dengan tergesa ia menarik pergelangan tangan gadis itu, dan menyeretnya keluar gudang menuju toilet. Namun belum sampai ke tempat tujuan, bahunya terkena tusukan benda perak tersebut.

"Shit! Jangan tusuk bahu gue, bego!" Ashilla beralih memegang bahunya yang terluka, sedangkan Syah hanya bisa menyeringai.

"Sakitnya hanya sebentar, saudaraku."

Sebentar, ndasmu! Ingin sekali Ashilla meneriaki Syah seperti itu namun urung dilakukan karena otaknya masih jalan, dan ada hal yang jauh lebih penting dari hanya sekadar mengumpat.

"Berikan pisau itu padaku!"

Syah mengangkat tinggi-tinggi pisau di tangannya. "Hap! Tidak bisa. Si bodoh itu yang menyuruh kamu melakukannya, 'kan?"

Ashilla terdiam. Rasa sakit yang menerjang bahunya membuat ia sedikit kurang fokus.

"Harusnya yang hidup hanya aku, bukan kamu ataupun Aisyah!" Syah menatap Ashilla penuh kebencian. Ada gejolak panas naik ke permukaan; rasa ingin membunuh.

"Lo bicara kaya hidup aja, lo cuma yang kedua!"

"Persetan!" Syah maju kembali dengan pisau yang siap untuk ia tusukan pada perut Ashilla.

Ashilla dengan sigap mundur ke belakang, tetapi Syah tidak berhenti sampai di situ. Ia terus mengejar Ashilla, walaupun beberapa kali serangannya meleset.

"Stop it!" Ashilla terjebak. Tubuhnya terhimpit antara dinding dan Syah. Dengan sangat terpaksa Ashilla menghalau serangan Syah dengan tangan kosong.

Syah mengangkat kepalanya, merasa menang. Posisi tangan Ashilla yang memegang bagian tajam pisau membuat Syah menarik sudut bibirnya semakin lebar. Pisau itu ia gesekan, hingga darah mengalir dari celah-celah telapak tangan Ashilla.

Ashilla menahan ringisannya sebisa mungkin. Kaki gadis itu bergerak menendang perut Syah, kemudian merebut pisau tersebut. Syah merasakan sikunya terluka akibat bergesekan dengan ubin.

"Keluar lo!"

"Tidak akan!" sahut Syah sambil tersenyum miring.

Ashilla mengacungkan pisau di tangannya. Tampak darah yang belum mengering menurun dan berakhir terjatuh ke lantai. "Keluar!"

"Bunuh saja aku, Shilla, ayo!"

Ashilla memejamkan netra. Ia harus bisa menahan segala gejolak emosi dalam diri. Gadis itu berjongkok tepat di depan Syah, masih dengan pisau yang teracung tepat di depan mata. Niatnya hanya mengancam Syah, agar 'dia' bisa mengambil alih kesadaran kembali. Namun, suara seseorang berhasil menghentikan aksinya.

"Ashilla, apa yang kamu lakukan?!"

Sontak kepala Ashilla tertoleh, dan tanpa sadar pisau yang berada dalam genggamannya turun ke lantai begitu saja. Napas perempuan itu memburu dengan begitu cepat, bahkan rasa sakit yang kini menghimpit tak lagi dihiraukan. Fokusnya hanya pada sosok lelaki yang tengah mematung dengan rahang mengencang kuat.

"Pergi lo!" usir Ashilla tanpa ampun. Ini sungguh sangat di luar dugaan, ada seseorang yang menangkap basah dirinya, dan yang lebih parah lagi orang itu adalah Sagar.

Lelaki itu tak menghiraukan perkataan Ashilla dan malah memilih untuk mendekat ke arah Aisyah yang masih terbaring tak berdaya. Mata yang sedari tadi menyala tajam membunuh itu seakan sirna, dan digantikan dengan mata sendu penuh rasa sesal. Deru napas Aisyah pun bergerak dengan tempo cepat tak terkendali.

"Jangan deket-deket! Cari mati lo namanya!" cegah Ashilla yang dengan terpaksa mencekal lengan baju koko putih yang tengah Sagar gunakan, bahkan darah yang belum mengering itu sudah membekas di sana.

"Lepas, Ashilla!" Netra Sagar menyorot tajam, syarat akan ketidaksukaan. Ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja dilihatnya. Ashilla ingin membunuh Aisyah, saudari kembarnya sendiri. Itu adalah perbuatan keji tak manusiawi.

"Akan saya laporkan perbuatan kamu pada Ustaz Rifki," ujar Sagar penuh ketegasan.

Kedua bola mata Ashilla membelalak tak percaya. Kacau. Ini sangat kacau. Jika sampai sang ayah mengetahui hal ini, bisa kambuh penyakit jantungnya, dan Ashilla tak ingin hal buruk itu terjadi. Ia takkan membiarkan Sagar ikut campur akan urusan keluarganya.

Tanpa kata Ashilla langsung menarik paksa Aisyah yang masih terlihat linglung tak mengerti, walaupun bahu dan juga tangannya terluka, tapi tak sedikit pun membatasi gerak Ashilla. Hanya sebatas ringisan, namun selebihnya tak terlalu dihiraukan. Tangguh dan kebal akan rasa sakit, begitulah Ashilla.

Sagar menghadang jalan Ashilla, dan secara spontan membuat gadis itu menghela napas berat. Ia sangat tak berselera jika harus beradu debat dengan Sagar, ada hal yang jauh lebih penting untuk ia urusi.

"Minggir lo!"

Sagar menggeleng tegas, ia takkan membiarkan Ashilla melakukan tindak kriminal pada Aisyah. Tapi netranya melotot seketika, saat mendapati bahu Ashilla yang terdapat noda merah, matanya terus memonitor dan jatuh pada tangan Ashilla yang menampakkan bercak darah.

Otaknya bekerja sangat lambat, menerka-nerka segala argumen yang ada. Ashilla yang memegang pisau, bahkan sudah bersiap untuk meluncurkan benda tajam itu pada Aisyah, tapi yang terluka parah justru Ashilla. Kenapa bisa?

"Pergi!"

"Ashilla―"

"Pergi, gue bilang!"

Ashilla menggigit perban untuk merobek bagian yang tidak diperlukan. Gadis itu dengan terampil membungkus luka, baik di bagian telapak tangan ataupun bahu. Setelah selesai, kini, Ashilla menatap sosok di hadapannya. Sosok itu menatap lurus pada luka yang sudah terbalut oleh perban, Ashilla pun menyembunyikan tangan di balik punggung.

"Hm, makasih. Kalau lo gak ambilin ini," sambil mengangkat perban, "mungkin, sarung Ayah yang jadi imbasnya."

Sagar mengangguk. Bukan hanya alat kesehatan saja yang Sagar berikan, kunci UKS pun ia curi secara diam-diam dari penjaga untuk tempat Ashilla beristirahat sejenak.

Lalu, di mana Aisyah?

Gadis itu sudah aman, berada dalam kamar di rumah sang ayah. Awalnya, Sagar tidak mau membantu Ashilla―karena Ashilla lebih dulu menyuruh pria itu agar tidak ikut campur—Namun, setelah dipaksa ia pun mau dengan syarat Ashilla harus menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Saya mau menagih janji kamu."

"Besok, 'kan, bisa. Sekarang ini, udah malam," sahut Ashilla sambil bersiap berbaring di matras.

Sagar menggeram tak terima. "Salah satu ciri dari orang munafik itu, jika berbicara dia ing—"

"Dakwah aja terus sampai sukses! Kagak bakal mempan." Ashilla menyahutinya dengan nada sebal dan juga putaran bola mata malas.

"Asal lo tahu juga kalau Allah itu senantiasa bersama dengan orang-orang yang sabar. Dan lo gak masuk dalam daftar," imbuhnya dengan diiringi senyum miring penuh kemenangan.

Mulut Sagar akan menyela, namun dengan cepat diambil alih oleh Ashilla. "Jadikan sabar dan salat sebagai penolongmu."

Rasanya Sagar ingin menyumpal mulut Ashilla dengan lakban. Bisa-bisanya gadis itu membuat ia mati kutu, tak bisa sedikit pun mengeluarkan sanggahan. Karena apa yang dikatakan Ashilla memang suatu kebenaran, kegamangan tengah menghimpitnya.

Sebelum keluar, Sagar mengelus dadanya sejenak. Alangkah baiknya, ia menuruti ucapan Ashilla. Bisa saja ada penjaga atau bahkan setan yang menghasut dia untuk berbuat sesuatu terhadap gadis itu.

"Jika disuruh memilih kamu atau Aisyah untuk kujadikan istri, tentu kamu tidak akan kupersunting, Ashilla."

Sagar tidak tahu bahwa ucapannya barusan telah menggores hati Ashilla. Gadis itu mengepalkan tangan dengan mata terpejam. Bahkan ia lupa, entah, ke mana rasa sakit bekas tusukan pisau malam itu.

Namun ada satu hal pula yang Ashilla lupakan; Sagar tidak menyatakan bahwa ia akan mempersuting Aisyah. Pria itu hanya menyatakan tidak akan mempersunting Ashilla, sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro