Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2-Teori Bulan & Pintu

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Sudah seminggu Ashilla mendekam di pesantren yang dikelola oleh sang ayah. Ia cukup bosan, hingga terkadang mengganggu kegiatan belajar mengajar di sana. Bukan hanya satu atau dua orang guru, melainkan sudah ada sembilan korban. Sejak saat itu, Ustaz Rifki dibuat bingung dengan keluhan para guru. Ashilla sungguh biang kerok sejati.

Jannah adalah salah satu korban Ashilla. Untung saja, Ashilla mengacau pada saat jam praktik perkenalan bahasa inggris. Jika sebelumnya mereka semua menggunakan bahasa Inggris, kini, mereka kembali menggunakan bahasa Indonesia. Jannah sedikit khawatir, para siswinya gagal dalam ujian praktik nanti.

"Jadi, kamu suka sama si A tapi si A udah punya yang lain?"

Lihat, Ashilla memulai ajang curhat di kelas bahasa inggris! Sungguh, luar biasa. Jannah hanya bisa bersandar di tembok dekat papan tulis, menunggu Ashilla menyelesaikan 'ajarannya'.

Siswi itu gelagapan. "Teman saya, Kak Shilla!"

Ashilla mengangguk sedangkan Jannah mengusap wajah kasar. Jika Ashilla sudah berkunjung, maka jangan harap kelas akan tenang.

"Bu Jannah guru bahasa inggris, 'kan?'

Jannah mengangguk.

Ashilla menunjuk siswi tersebut menggunakan spidol. "Kamu maju!"

Siswi itu tampak ketakutan.

"Mau maju atau saya yang majuin?" Jannah menghela napas lega. Untung saja Ashilla tidak menggunakan kosakata gaul di kelasnya. Bisa gawat kalau ada anak yang mengikuti tingkah gadis itu, satu saja sudah buat pusing.

Siswi itu maju.

"Ikuti instruksi saya, kamu tulis yang saya ucapkan di papan tulis." Ashilla menyerahkan spidol ke tangan siswi itu, dan menyuruhnya mendekati papan tulis.

"Bulan."

Dia pun menulis 'Bulan'.

"Pintu."

Dia juga menulis 'Pintu'.

Ashilla beralih menatap para siswi yang lain. "Ini saran saya bagi kalian yang mencoba mendekati santri di pesantren. Saya pamit, terima kasih!"

Tidak hanya siswi yang ditunjuk Ashilla yang merasa bingung, yang lainnya pun sama, termasuk Jannah. Sampai ada salah satu anak pintar yang duduk di depan mengartikan maksud Ashilla.

"Bulan bahasa Inggrisnya moon, pintu bahasa Inggrisnya door."

Spidol itu jatuh ke lantai.

"MUNDUR?!"

Jannah segera berlari ke ambang pintu, menoleh ke arah Ashilla pergi dan tersenyum tipis. "Dasar, bocah itu!"

"Ayah heran sama kamu, kenapa para santriwati pada nurut setelah dinasihati sama kamu, sedangkan guru saja tidak didengarkan."

Ashilla hanya mengangguk. Ia masih menikmati biskuat cokelat kesukaannya. Baru saja kemarin, Ashilla menasihati para santriwati di kelas Jannah, hari ini mereka tidak lagi membuat masalah dengan diam-diam berpacaran atau PDKT dengan para santri lain.

Ustaz Rifki duduk di sebelah Ashilla, dan mengelus puncak kepalanya. "Gimana hari-hari kamu tinggal di asrama?"

"Biasa aja, gak buruk dan gak baik-baik amat."

Ustaz Rifki tertawa kecil. Inilah yang ia sukai dari Ashilla; jujur dan apa adanya. Pribadi ini berbanding terbalik dengan Aisyah yang lebih suka merasa tidak enak mengungkapkan pendapat, serta suka mengalah.

"Kamu suka sekali ya, sama biskuat cokelat?"

Ashilla menelan biskuat di mulutnya lebih dulu sebelum menjawab, "Lebih suka sama Ayah, kok, tenang aja."

Lagi. Ustaz Rifki tertawa. "Kamu ini ada-ada aja!"

"Ayah, boleh, kan, dibawa ke asrama? Males bolak-balik rumah-asrama."

"Tidak boleh."

Ashilla memasang tampang melas. "Yahhh, kenapa?"

"Kalau biskuat ini gak Ayah simpan di sini, kamu pasti gak bakal berkunjung."

Ashilla memutar bola mata malas. "Tahu aja."

Ustaz Rifki baru akan menyahuti perkataan Ashilla, namun tukang kebun rumahnya masuk dengan terburu-buru.

"U-Ustaz!"

"Kamu duduk dulu, tarik napas, baru jelaskan ke saya dengan benar."

Tukang kebun itu mengikuti instruksi Ustaz Rifki. Sedangkan Ashilla hanya melirik sekilas, dan kembali hanyut memakan biskuat cokelat.

"Zeya, Ustaz, Zeya!"

"Ada apalagi dengan Zeya?"

Ashilla dapat melihat mata ayahnya bergerak ke kiri dan kanan, tampak khawatir. Lagi. Ia memilih tidak peduli, lalu melanjutkan melahap satu biskuat.

"Zeya mau loncat dari gedung asrama, Ustaz!"

Ustaz Rifki berdiri. Kedua mata cokelat itu melirik ke arah Ashilla, seakan menginstruksikan untuk ikut. Ashilla memasukkan beberapa biskuat ke dalam kantong celana, menutup toples, kemudian melambai seraya bergumam, "Dadah biskuat!"

"Ayo, kita segera ke sana!"

Sudah banyak orang berkumpul di bawah, hanya menyaksikan Zeya yang berdiri di atas pembatas gedung asrama lantai empat.

Beberapa teman bahkan para guru di sana terlihat berusaha membujuk Zeya, namun gadis itu mengancam akan meloncat ke bawah jika sampai salah satu dari mereka mendekat.

"Zeya, jangan lakukan hal ini, Nak!" seru Ustaz Rifki.

Ashilla merogoh saku celana, dengan santai ia memakan snack favorit-nya tanpa berniat ikut membujuk.

"ZEYAAA!"

Ashilla tersedak. Bukan karena Zeya yang sudah melangkahkan satu kaki lebih dekat pada ujung pembatas, melainkan teriakan cempreng di sekelilingnya. Bahkan Aisyah pun ikut meramaikan.

"Aisyah, kamu ambil kasur atau benda apa untuk jaga-jaga, dan Ashilla―" Ustaz Rifki hendak menyuruh Ashilla untuk membantu Aisyah mengambil kasur, tetapi gadis itu menghilang. Panik. Ustaz Rifki melihat sekeliling. Ia takut anak nakalnya memanfaatkan situasi untuk kabur.

"Loncat aja lo dari sana, nanggung amat!"

"Ashilla!" seru Aisyah tertahan.

Ustaz Rifki segera melihat ke atas. Di sana ada Ashilla yang sudah maju mendekati Zeya, gadis itu bahkan masih sesekali memakan biskuat.

"Jangan dekat-dekat!"

Ashilla berdecak. "Gue mau lewat keles, lo tuh, yang bikin jalan padet!"

Zeya terdiam.

Ashilla melangkah lebih dekat, jarak dirinya dengan Zeya hanya terpaut setengah meter. Gadis itu dengan santai menyender pada pembatas, lalu melirik ke bawah. "Perkiraan gue sih, kalau lo lompat ke bawah jaraknya cuma sepuluh meter. Lompat aja, paling pala lo yang somplak. Terus dibawa ke er-es, kalau selamat, ya, paling ilang satu bagianlah."

Zeya mengikuti arah pandangan Ashilla. Badannya sedikit bergetar saat bayangan dirinya yang dibawa ke rumah sakit, dan masih selamat. Ia hanya akan menyusahkan semua orang.

Zeya mencengkram kedua lengannya, dan menggeleng. "Pergi, jangan dekat-dekat atau aku bakal loncat!"

Ashilla mengangkat bahu tidak peduli. "Loncat tinggal loncat. Emangnya lo siapa sampai perlu gue peduliin? Presiden juga bukan."

Zeya menunduk. Ashilla malah semakin mengoyak luka dalam hati. Namun, pernyataan Ashilla berikutnya membuat Zeya menatap gadis itu terkejut.

"Ah, I see. Lo korban bullying di sini."

"B-bagaimana kamu ...."

"Mudah banget ditebak." Ashilla kembali melirik raut wajah cemas di bawah sana. "Masih mau loncat atau," tangannya kembali merogoh saku celana, "mau biskuat cokelat favorit gue?"

"A-aku." Saat Zeya lengah, Ashilla segera menarik lengan gadis itu dan menguncinya dalam pelukan.

Zeya terkejut, dan memberontak. Namun, tepukan pada punggung yang diberikan Ashilla mampu menenangkannya. Perlahan, Zeya tidak lagi berontak.

"Gue emang gak bisa jadi teman atau sahabat lo, tapi gue bisa ngasih hukuman setimpal buat orang-orang yang udah buli lo."

Zeya mulai menangis, ia terisak di pelukan Ashilla. Sementara yang lain merasa lega. Saat seorang Ustazah mendekat, berniat membawa Zeya kembali ke kamar, Ashilla mengacungkan sebelah tangannya, agar tidak mendekat.

"Zeya, umur lo itu di bawah gue, jadi lo adik gue. Karena lo adik yang nakal, lo harus diberikan hukuman," bisik Ashilla setelah Zeya sedikit tenang.

"A-adik?"

"Ya, adik." Ashilla merenggangkan pelukan, lalu tangannya beralih menangkup wajah Zeya. "Eum, apa lo tahu warung di dekat sini yang jual biskuat cokelat? Biskuat gue tinggal satu."

Ashilla mengacungkan satu biskuat di tangan kanannya, yang tadi hendak ia berikan pada Zeya. Ah, Ashilla tidak rela!

Orang-orang di sekitar hanya bisa menggeleng heran. Satu lagi hal unik yang mereka ketahui, Ashilla senang makan biskuit cokelat, bahkan di saat situasi genting seperti tadi.

Zeya tersenyum tipis. "Makasih, Kak Shilla."

Ashilla terkekeh. "Mau ikut gue? Sumpek, mendadak jadi artis gini."

Zeya menunduk malu. Ia sadar sudah membuat keributan. "A-aku ...."

"Dah, ayo!"

Ustaz Rifki di bawah sana tersenyum lembut. Bahkan matanya tidak lepas melihat ke mana Ashilla membawa pergi Zeya.

...dan semua itu disaksikan oleh Aisyah.


Warning!!!

Adegan di atas ini jangan coba2 untuk ditiru, khusus bagian penanganan orang yang hendak akan melakukan bunuh diri.

Biar malam minggunya gak kelabu mending kita bertemu dengan si kembar, Aisyah dan Ashilla aja. Ada yang kangen mereka gak nih?

Apa ada yang nunggu kelanjutannya?

Writer
Khia_fa & idrianiiin

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro