Bab 15-Ungkap [2]
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
Sagar berdiri mematung di depan kaca besar yang menampilkan Ashilla, tubuh lemah terbaringnya membuat lelaki itu iba, belum lagi terdapat banyak peralatan medis yang menempel di beberapa bagian tubuh Ashilla.
Tak pernah terbesit sedikit pun dalam benaknya jika perempuan yang selalu terlihat kuat, tegar, dan keras kepala itu bisa ambruk di ruang pesakitan. Bahkan ia sangat mengingat betul bagaimana usilnya Ashilla saat gadis tersebut akan pergi dari pesantren.
Senyum tipis sedikit terbingkai di kedua sudut bibir, seketika rasa rindu itu mulai menyusup dan menelisik ke dalam rongga dada. Namun dengan cepat ia pun melantunkan istigfar, guna menghilangkan perasaan yang tak patut untuk dimiliki.
Tepukan lembut yang berasal dari Ustaz Rifki cukup mengagetkan Sagar. Ia menoleh dan memasang senyum kikuk. "Kalau kamu memang berniat serius pada putri saya, saya akan memberikan kamu restu," tuturnya yang berhasil membuat jantung Sagar berdetak di ambang batas normal.
"Ma—maaf atas kelancangan saya, Ustaz," sahut Sagar menunduk dalam. Tak seharusnya ia melabuhkan hati pada putri pemilik pesantren tempatnya bekerja.
Ustaz Rifki tersenyum hangat lantas berucap, "Cinta itu fitrah, anugerah, dan saya tak berhak untuk melarangnya. Jika memang kamu benar-benar mencintai putri saya, jaga dan bimbing dia."
Sagar hanya mampu terdiam dengan pandangan tak percaya. Apa semudah itu mendapatkan restu dari seorang pemilik pesantren?
"Saya tidak akan sembarangan dalam memilihkan calon pendamping bagi putri-putri saya, jika saya sudah merasa cocok dan percaya maka saya akan dengan mudah memberi restu."
Penuturan yang dilayangkan Ustaz Rifki lagi-lagi membuat Sagar terpaku linglung. Apa mungkin benar bahwa Ashilla diciptakan untuk menjadi pendampingnya? Sosok penyempurna separuh agama, dan menjadi pelengkap guna membangun mahligai rumah tangga.
"Realisasi dari rasa cinta hanya dengan cara menikahi, bukan memacari. Putri saya butuh pemimpin yang bisa membawanya ke surga, bukan neraka."
Dengan ragu Sagar mengangguk lantas mengukir senyum tipis sebagai tanggapan. Ia setuju dengan apa yang sudah Ustaz Rifki tuturkan.
Pacaran adalah wujud dari ambisi dan napsu ingin memiliki, lain halnya dengan pernikahan. Wujud investasi dan juga ibadah yang Allah ridai.
Mungkin banyak yang menganggap bahwa pacaran itu biasa serta sudah menjadi budaya. Tapi sayang hal yang dianggap sepele itu bisa menjerumuskan penganutnya pada neraka.
Islam tidak mengenal kata pacaran, sekalipun beralibi dalam wujud pacaran syar'i karena sejatinya pacaran itu merusak diri dan hati. Tujuannya hanya satu, putus.
Putus dan mengakhiri kegiatan tak halal itu ke jenjang pernikahan, atau putus karena berakhirnya sebuah hubungan. Dua kemungkinan yang takkan pernah bisa terelakkan.
Dua minggu telah berlalu, masih tidak ada tanda-tanda bahwa Ashilla akan bangun dari tidur panjangnya. Terkadang Sagar menduga, apa yang Ashilla alami di antara dua alam sana sehingga sangat lama memilih untuk kembali?
Tentu saja Sagar menginginkan Ashilla memilih untuk bertahan hidup. Jemari pria itu terkepal di depan kaca pintu ruang rawat sang gadis rewel. "Kamu sudah buat saya hampir menelan dosa, dan ... jatuh, Ashilla. Tidakkah kamu mempertanggungjawabkan perbuatanmu?"
Selama dua minggu pula Aisyah menjalankan konsultasi ke salah satu psikiater ternama. Ustaz Rifki tidak ingin kehilangan Aisyah, meskipun putrinya sudah bertindak keterlaluan. Jiwa dalam tubuh pria tua itu memberontak, ia tidak akan tenang jika Aisyah direhabilitasi. Bisa saja kejadian buruk terjadi di luar pengawasannya.
"Siang, Aisyah?"
"Siang, dokter Fadil."
Aisyah digiring masuk ke dalam ruangan, lalu duduk di kursi yang telah disediakan. Kursi itu memanjang dengan kepala yang tidak begitu tegak, mirip dengan kursi-kursi santai di pantai, hanya saja yang ini beralaskan busa empuk.
"Sudah siap? Saya akan melakukan hipnoterapi ...." Aisyah tidak mendengar kelanjutannya, ia merasa cemas berlebihan. Sisi lain dalam tubuh gadis itu seakan ingin meluap keluar, lalu berseru tanda tidak terima.
"A-apa itu aman, Dok?"
Hipnoterapi adalah hipnosis yang digunakan untuk tujuan terapi. Hipnoterapi menerapkan teknik hipnotis untuk mendorong pikiran bawah sadar dan menemukan solusi masalah. Sama halnya dengan yang di alami oleh Aisyah; trauma. Gadis itu butuh solusi untuk memecahkan kepingan ingatan yang masih terpecah belah.
Selama Syah mengambil alih tubuhnya, Aisyah tidak pernah ingat apa yang sudah ia lakukan. Tentu saja itu membuat Aisyah takut, karena ia akan terbangun dalam keadaan tangan berlumur darah atau bahkan benda tajam. Namun bukan itu yang membuat dirinya trauma, melainkan kejadian di masa lalu.
Masa lalu, di mana Syah belum muncul.
Fadil mengangguk. Senyum sopan yang tersungging di bibirnya tidak pernah surut. "Saya di sini menjamin keselamatanmu, Aisyah. Tenang saja."
Aisyah menghela napas lega.
"Kita mulai ya ...."
Aisyah mengangguk.
"Abi, Ila mau unya ucing!" Gadis berkucir kuda dengan poni menutupi sebagian dahi itu mengentak kaki ke lantai, tanda bahwa permintaanya harus dituruti.
Sayang sekali, gadis kecil bernama Ashilla ini lebih banyak memakan gen dari sang ayah, jadilah aksi saling debat.
"Tidak boleh, Ashilla."
"Tapi Ila engen, Biii," rengek gadis itu.
"Sekali tidak boleh, tetap tidak boleh." Keputusan sang ayah mutlak, maka Ashilla pun mencoba bernegosiasi.
"Kalau gitu, Ila cali ucing jalanan aja."
"Ashilla ...."
"Ila gak pelihala, Bi, Ila main di tempat ucing na!" kesal Ashilla.
Sadar bahwa kekeraskepalaan sang putri menuruni dari gen miliknya, Ustaz Rifki pun mengangguk pasrah. "Tapi sama Aisyah, jangan sendirian," tatapan pria itu beralih menatap putri satunya, "Aisyah, tolong jaga saudarimu."
Dua gadis bertubuh mungil dengan tinggi setara, serta wajah serupa itu berjalan saling bergandengan, sesekali mereka saling melempar obrolan.
"Apa yang kamu lihat, Aisyah?" Fadil memerhatikan kerutan tepat di antara alis gadis itu.
"Ashilla, kucing―ja-jalanan."
Fadil mencatat setiap informasi yang Aisyah berikan. Di tangannya sudah ada note kecil beserta bolpoint hitam.
"Ila itu kucingnya!" tunjuk Aisyah saat netra bulatnya menemukan seekor kucing berbulu kuning bercampur putih di seberang jalan.
Ashilla sontak berjingkrak kesenangan, ia bersorak dan langsung berlari tanpa melihat kanan dan kiri. Sedangkan di sisi kanan terlihat sebuah motor yang melaju lumayan kencang.
"Ila!" Teriakan dari saudari kembarnya tak dihiraukan karena fokus gadis kecil itu hanya pada kucing ingatannya.
"Ashilla ... dia lari."
"Apa dia mengejar sesuatu?"
Aisyah mengangguk.
"Dia mengejar kucing jalanan."
"Kenapa dia mengejar kucing jalanan?"
Aisyah menggeleng keras. Keringat dingin sudah mulai berjatuhan, seakan menandakan bahwa adegan itu hampir mencapai puncak.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro