Bab 14-Ungkap [1]
بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
"Selamat siang pemirsa, kembali lagi bersama saya Denda Pertiwi ..."
Ustaz Rifki membenamkan kacamata pada pangkal hidung. Siang-siang memang enaknya duduk, dan menonton berita siaran live ditemani secangkir teh juga beberapa camilan.
"... Sebuah mobil pick up menabrak indekos milik seorang gadis muda. Pelaku berinisial A, dan masih tidak diketahui apa motif pelaku sebenarnya, akan tetapi salah seorang warga berkomentar bahwa pelaku sengaja menabrakkan mobil tersebut. Kita akan terhubung dengan Vanka di lokasi kejadian. Halo, Vanka?"
"Halo, selamat siang Denda. Di sini pemirsa bisa melihat kerusakan pada indekos di tempat kejadian." Perempuan bernama Vanka tersebut menunjuk beberapa titik kerusakan di depan indekos, seperti jendela yang pecah sebelah, pintu rusak, puing-puing atap jatuh ke bawah, dan lain sebagainya. "Selanjutnya, kita akan melihat bagaimana kondisi di dalam indekos."
Ustaz Rifki merasa ada yang tidak beres. Semenjak Ashilla memilih pergi, perasaannya menjadi tidak keruan. Bahkan pria berkemeja putih itu mulai berhalusinasi, menganggap indekos yang ada di televisi milik salah satu putrinya—Ashilla.
Wartawan bernama Vanka itu menunjuk tempat korban jatuh tidak sadarkan diri yang sudah digambar dengan kapur oleh pihak kepolisian. Bercak darah yang belum dibersihkan pun disensor.
"Di samping saya sudah ada Bu Endang, selaku pemilik indekos. Ibu Endang, bagaimana perasaan Anda setelah melihat kejadian ini?"
Bu Endang pucat pasi ketika ditanya seperti itu. "Saya benar-benar terkejut, dan sempat tidak percaya. Apalagi―"
Secara tidak sopan Fara datang dan menghalangi pandangan Ustaz Rifki dari televisi, wajah cantiknya dihiasi kecemasan. "Mas, Ashilla dan Aisyah!"
Ustaz Rifki beranjak dari tempat duduknya. "Ada apa dengan mereka, Fara?"
"Me-mereka sekarang di rumah sakit."
Di sisi lain, suara dari televisi menginterupsi obrolan keduanya.
"Apakah Bu Endang tahu siapa yang menjadi korban tersebut?"
"Tahu, saya tahu! As-Ashilla, kalau tidak salah."
Seketika Ustaz Rifki pun jatuh pingsan. Fara yang panik menoleh ketika mendengar suara pintu dibuka, langsung saja ia meminta bantuan pada pria tersebut. "Sagar, tolong bantu saya!"
Ruangan yang didominasi oleh cat serba putih itu menyapa indra penglihat Aisyah, rasa pening seketika melanda dan membuatnya enggan untuk beranjak dari pembaringan. Namun dengan cepat otaknya pun bekerja, ia merasa sangat asing dengan tempat yang saat ini tengah dihuni olehnya.
Namun netra gadis itu seketika tercengang kala melihat sang ayah dan ibu sambungnya berjalan menuju ke arah brankar yang ia tempati. Rasa takut mulai menyusup, hal itu semakin diperparah dengan kepala yang berdenting pening, dengan kasar ia memukul-mukulnya.
"Alhamdulillah kamu sudah sadar, Aisyah." Sambutan hangat itu ia dapatkan dari sang ibu sambung, yang dengan lembut langsung mendaratkan tubuh di tepian ranjang.
"Ada yang sakit? Umi panggilkan dokter yah," tuturnya seraya mengalihkan tangan Aisyah agar berada dalam genggaman.
"Kenapa aku ada di sini?" tanyanya dengan suara tercekat, ia tak kuasa saat menjumpai sorot mata tajam milik sang ayah.
Fara tersenyum hangat dan semakin mengeratkan genggamannya. "Gak papa, jangan terlalu dipikirkan yah, Sayang. Lebih baik sekarang Aisyah istirahat, Umi panggilkan dokter sebentar," ujarnya saat sebelum beranjak dari tempat tidur.
Aisyah menggeleng kuat, dan semakin mempererat genggaman tangan sang ibu sambung. "Aisyah takut, Umi," cicitnya.
Dengan penuh kasih sayang Fara mengelus kepala sang anak tiri. "Gak papa, Aisyah harus diperiksa sama dokter, sebentar kok," ujarnya memberi pemahaman. Anggukan penuh ketidakrelaan itu Aisyah berikan.
Fara memberikan sunggingan terbaiknya, dan menepuk lembut bahu sang suami agar tak lepas kendali. Bisa semakin panjang jika Aisyah menerima banyak penghakiman, kondisinya masih belum sehat dengan benar.
Ustaz Rifki menghela napas. Banyak orang bertanya, kenapa beberapa rumah sakit jiwa dipenuhi pasien laki-laki? Satu hal yang harus kalian ketahui, perempuan lebih mudah menunjukkan sisi emosional mereka dibanding laki-laki. Seperti yang tengah Ustaz Rifki rasakan saat ini. Ia berusaha terlihat tegar, karena dia adalah kepala keluarga, juga seorang pria tua.
"Aisyah," Ustaz Rifki menjeda ucapannya, "Abi sadar masa itu membuat kamu trauma. Maafkan Abi dan mendiang Bunda. Jika kamu ingin melampiaskan kemarahanmu, datang pada Abi, lampiaskan semuanya, jangan saudara kembarmu, Nak. Dia tidak tahu apa-apa."
Kenapa lampu di dalam ruang persegi hanya satu? Karena setiap orang di dunia ini ingin diperhatikan lebih oleh orang yang mereka cintai, seperti satu keluarga. Akan sangat hangat, jika satu keluarga bersatu seperti lampu yang menyinari ruang rawat Aisyah.
"A-Aisyah gak inget apa-apa, Bi. Bukan Aisyah yang melakukan itu semua," sangkal sang putri.
"Abi sebenarnya gak mau omongin ini, tapi kamu sebagai saudaranya harus tahu." Ustaz Rifki tidak pernah tahu bahwa semenjak siuman Aisyah merasakan jantungnya seakan ditekan oleh benda berat, dia sudah tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres terhadap Ashilla. "Kondisi Ashilla kritis, dia dinyatakan koma oleh dokter," lanjut Ustaz Rifki dengan kepala tertunduk.
Air mata Aisyah menetes. Mata cokelat khas Asia itu tertutup secara perlahan, ia harus membuat keputusan apabila tidak ingin ada korban lain.
"A-Abi, apa Aisyah harus melakukan rehabilitas?"
Tangis Aisyah semakin deras saat kepala ayahnya mengangguk. Mungkin, semua ini takdir. Semua perbuatan akan dibayar, entah di dunia atau di akhirat.
Ashilla pernah melihat saudaranya berseru, "Umi jahat, Ashilla dibelikan dua rasa es krim, Aisyah hanya satu!" Es krim di jemari mungil milik gadis bergigi ompong itu sudah mulai meleleh. Memang tadi, di kedai Ashilla memesan dua rasa dan disatukan dalam satu cup, sedangkan Aisyah hanya memesan satu saja. Kesimpulan dari semua itu adalah ini bukan salah bundanya.
"Isyah, kamu yang pilih atu lasa, kan salah Bunda," bela Ashilla.
"Berarti ini salah kamu!" Aisyah mendorong bahu Ashilla hingga terjatuh. Kedua mata Ashilla berkaca-kaca, bukan karena sakit didorong seperti itu melainkan es krim miliknya yang tumpah ke lantai.
"I-Isyah jaat, Ila cuma mau kasih es klim itu ke Isyah!" Setelah itu isak tangis Ashilla semakin menjadi.
Aisyah? Ia tertegun mendengar niat Ashilla, namun emosi karena merasa orang tuanya pilih kasih tidak lantas membuat Aisyah merasa bersalah pada Ashilla.
"Aku gak butuh es krim dari kamu!"
Bunda meraih Ashilla ke gendongannya, lalu mengusap air mata sang putri. "Jangan nangis, Aisyah tidak bermaksud berbuat begitu sama Ashilla."
Hidung Aisyah kembang kempis melihat perhatian tersebut. Namun usapan pada puncak kepalanya membuat emosi Aisyah memudar entah ke mana. Sambil tersenyum sang bunda berkata, "Lain kali jangan diulangi ya, Sayang. Bunda sayang kalian berdua, jangan pernah merasa Bunda atau Abi pilih kasih."
Bunda menyamakan tinggi Aisyah, lalu menurunkan Ashilla dari gendongannya. Aisyah cukup terkejut mendapatkan kecupan pada pipi kanannya, sedangkan Ashilla malah meminta nambah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro