Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 13-Sisi Gelap Aisyah

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Kabar Ashilla pergi dari pesantren tersebar luas, bahkan ada yang menyebutnya berita ter-hot saat ini. Berbeda dengan Aisyah yang cemas, ada rasa khawatir akan tetapi ada pula rasa puas yang menghinggapi dalam diri.

Kemarin, Aisyah berhasil mencegah Ashilla agar tidak pergi dari pesantren. Nyatanya, Ashilla hanya menginap satu hari di kamarnya, tidak lebih. Gadis itu memilih untuk pergi di pagi hari, tanpa pamit pada siapa pun, bahkan Ustaz Rifki yang awalnya merasa lega mendadak pening.

Ashilla telah berhasil membuat mereka kelimpungan.

Aisyah tanpa Ashilla dengan keadaan belum stabil seperti ini, hanya bisa bergetar takut. Sisi lain dari dirinya bisa saja menguasai tubuhnya dalam sekejap.

Ia benar-benar membuntuhkan Ashilla.

'Pstt, Aisyah.'

Aisyah berjengit kaget. Ia merasa ada seseorang tengah berbisik di pikirannya. Bola mata bulat cokelat itu tidak henti melirik keadaan sekitar.

'Aisyah ....'

Aisyah menutup kedua telinga, sudah lama suara-suara itu menghantui hidupnya. Langkah kaki Aisyah terhenti tepat di depan cermin, yang letaknya dekat dengan pintu keluar. Tubuhnya semakin bergetar ketika melihat pantulan dirinya sedang melambaikan tangan di sana, padahal Aisyah sangat yakin ia tidak melakukan hal tersebut.

'Hai, Aisyah.'

Suara serak kelam dengan pandangan mata setajam elang mengarah pada Aisyah melalui cermin. Aisyah menggeleng, tangannya semakin erat menutup telinga.

"PERGI!!"

Aisyah terus berteriak tanpa henti, ia sudah kehilangan kendali diri. Tangannya yang semula menutup telinga, kini sudah beralih mencengkram tepian meja. Ia murka, muak saat melihat pantulan dirinya di cermin.

Ia menggeleng frustrasi beberapa kali, wajah perempuan itu seketika berubah merah padam, tak ketinggalan kedua netranya pun menyala dengan begitu tajam, sampai pada akhirnya senyum mengerikan itu hadir begitu saja.

Teriakan gadis itu semakin menggema dan tak lama dari itu kedua tungkainya berjalan tergesa ke arah luar, matanya berlarian ke sana-kemari dan sampai pada akhirnya ia menemukan sebuah pick up yang tengah dipanaskan oleh salah satu pengurus pesantren.

"Ada apa Aisyah?" tanyanya penuh heran kebingungan. Ia tak pernah menjumpai air muka Aisyah yang tak biasa itu.

Wajah merah padam, dengan mata tajam, dan pandangan yang begitu menusuk, jangan lupakan juga kepalan erat kedua tangannya.

"Boleh aku ikut ke pasar, Paman?" Dengan sekuat tenaga Aisyah meredam gejolak dalam dada dan bersikap layaknya 'Aisyah' yang penuh akan kelembutan serta sopan santun.

Lelaki paruh baya yang dipanggil paman itu mengangguk dengan senyum terpatri indah di bibir. Tak ingin membuang banyak waktu lagi ia segera naik ke kursi penumpang. Senyum miring sudah mulai menghiasi kala bayangan sang saudari kembar sudah menari-nari dalam pikiran.

Sepanjang perjalanan Mang Asep, salah satu pengurus pesantren, mencuri pandang ke arah Aisyah. Bukan pandangan kagum, melainkan penasaran. Seharusnya ia meminta izin pada Ustaz Rifki terlebih dahulu, bukan malah langsung meng'iya'kan permintaan Aisyah.

Suasana di dalam pick up hening, hingga sampai pada tempat tujuan; pasar. "Paman ke dalam dulu ambil pesanan untuk stok bahan makanan di pesantren, kamu mau ikut atau tidak?"

Aisyah tetap diam dengan pandangan lurus ke depan, tidak menghiraukan Mang Asep. Sadar pertanyaannya diabaikan, Mang Asep pun mengangkat kedua bahu lalu berjalan masuk ke dalam pasar. Saat itulah satu sudut bibir Aisyah terangkat―ah mungkin kita bisa panggil dia Syah, sisi lain Aisyah.

Gadis itu pindah ke kursi kemudi, senyumnya semakin lebar menyadari bahwa Mang Asep telah ceroboh meninggalkan kunci mobil. Tanpa pikir panjang lagi ia segera melajukan kendaraan beroda empat dengan bak terbuka di belakangnya melenggang di atas aspal.

Senyum penuh kebencian itu semakin menyeruak dan begitu enggan untuk pergi, bahkan sesekali bersiul serta tertawa seperti orang kesetanan. Mungkin jika ada yang melihatnya, akan mengira bahwa gadis itu memiliki kelainan jiwa.

"Ashilla!" desisnya tajam dan menusuk.

Ia memacu kendaraan beroda empat tersebut dengan kecepatan tinggi, dan bergerak tak tentu arah mencari seseorang yang sudah sejak lama ingin dilenyapkan. Tawa menggelar semakin menguar kala ia sudah menemukan jejak sang mangsa berlari ke mana.

Sebuah indekos yang terletak di pelosok kota, dengan hunian bertingkat dan banyak dihuni oleh para perantau itu menjadi tujuannya kini. Ia sudah sangat tak sabar ingin mempertemukan sang saudari kembar pada ajal kematian.

Sagar baru saja ingin memasuki pesantren, sebelumnya ia izin untuk membeli sesuatu di luar. Namun langkah kakinya terhenti ketika berpapasan dengan Ashilla.

"Astagfirullah, Ashilla!" Sagar menutup mata dengan kelima jarinya. "Kamu ngapain gak pake penutup kepala, mau ke mana kamu?"

Ashilla mendengkus. "Gak usah sok peduli deh, lo!" balas Ashilla sengit.

"Saya peduli karena kamu anak Ustaz Rifki, beliau pasti cemas sekarang."

Ashilla berhenti tepat di samping Sagar, sepertinya mengerjai ustaz muda itu cukup menyenangkan. "Kalau karena Ayah, lo gak bisa nahan gue. Tapi." Ashilla meniup leher Sagar hingga pria itu bergidik dan melangkah menjauhi Ashilla. "Tapi, kalau lo mau lamar gue depan Ayah, beda lagi ceritanya," lanjut Ashilla.

Sagar refleks menurunkan lima jarinya, namun kembali ia angkat saat wajah Ashilla berjarak cukup dekat dengannya. "Ashilla, lamaran tidak cukup disiapkan hanya sehari."

Kini, Ashilla yang dibuat terkejut. Gadis itu mengeratkan genggamannya pada tali tas. "K-kalau gitu, gue pergi!"

Ashilla menggigit bantal saat mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. "Sialan! Jantung gue dangdutan gara-gara ustaz muda."

Ya. Sekarang Ashilla lebih suka memanggil Sagar begitu, karena nama pria itu sangat memengaruhi denyut jantungnya.

Tak ingin terlalu hanyut dengan perasaan aneh yang menghinggapi dalam diri, ia pun beranjak dan berniat untuk sekadar mencuci mata yang sudah lama tak dimanjakan.

"Gue pergi jalan-jalan aja kali ya, bosen di kosan mulu." Ashilla pun bergegas ke arah kamar mandi yang letaknya bersebelahan dengan dapur, hal yang sudah biasa ia lakukan—membuang hajat. Alasannya hanya satu; takut tidak menemukan kamar mandi di perjalanan nanti.

Namun ia dibuat terperanjat saat mendengar bunyi klakson yang begitu memekakkan telinga. Dalam hati ia mengumpat tak terkendali, dengan segera gadis itu pun berjalan ke arah luar. Melempar gayung yang sudah mulai terisi air kembali pada bak, ia sudah menyiapkan beragam sumpah serapah pada orang tak beretika itu.

Tin!
Tin!
Tin!

"Dasar manusia kurang ker—" 

Belum sempurna kalimat itu terangkai tubuhnya sudah terpelanting ke sudut tembok, darah segar sudah sangat membanjiri lantai dan mencuat ke mana-mana. Matanya sedikit terbuka, tapi tak lama dari itu kembali tertutup dengan rapat.


Hai ... Hai ... Ketemu lagi kita🙈
Apa kabarnya nih? Semoga suka dengan kelanjutan kisah ini. Adakah yang menunggu bab berikutnya?🤔

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro