Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11-Gosip (Digosok Makin Sip)

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Di kediaman Ustaz Rifki sudah duduk berkumpul istri serta dua anak kembarnya. Yang satu tengah asik memakan biskuat cokelat dalam stoples, sedangkan yang satunya terlihat berkawan geming dengan rasa takut yang menghantui.

"Aisyah bisa jelaskan pada Abi?" tagih Ustaz Rifki lembut namun akan rasa tegas, ia tak pernah mendidik anaknya untuk menjadi seorang pendusta. Terlebih lagi Aisyah sangat amat penurut, tidak pernah berbuat hal gila seperti Ashilla. Tapi sekarang?

"Udahlah, Yah lupain aja, yang penting kan masalahnya udah kelar," ujar Ashilla santai, ia bertumpang kaki dan menyandar nyaman dengan mulut yang tak pernah bosan mengunyah.

"Yang sopan, Ashilla! Turunkan kaki kamu," titahnya yang lantas Ashilla balas dengan dengkusan kasar tak suka. Ia sangat anti diperintah ini dan itu. Hidupnya tak ingin dikekang oleh banyak aturan dan perintah.

"Ma-afin Aisyah, Abi," ungkapnya dengan suara rendah, hampir serupa dengan bisikan.

Keadaan mendesak dan tak ada cara lain selain berbohong, itulah yang mendasari Aisyah tidak berkata apa adanya.

"Santai aja, lo gak usah minta maaf. Selow, stok maaf gue banyak," ucap Ashilla dengan kerlingan mata. Ia tak suka dengan situasi tegang, terlalu kaku, tak asik.

"Pergi ke kamar, Ashilla!"

Ashilla meletakkan stoples di meja dengan kasar. "Ayah kenapa sih ribet banget. Yang udah ya udah, gak usah diperpanjang lagi," katanya kesal.

Ia tak ingin membuat sisi lain Aisyah keluar, dan ia pun merasa akan lebih baik jika tak usah lagi membahas siapa yang salah dan siapa yang benar. Tak ada gunanya sama sekali.

"Ashilla—"

"Permisi Ustaz, Umi, ini minuman dan makanan yang tadi Umi minta." Perkataan Ustaz Rifki mengambang di udara karena suara salah seorang santriwati.

"Terima kasih," ucap Fara.

Ustaz Rifki hanya mengangguk saja sebagai bentuk kesopanan. Ketika santriwati itu sudah mencapai ambang pintu, mulutnya kembali berbicara. "Ashilla, Aisyah, saya tidak pernah mengajarkan anak saya untuk menjadi seorang pendusta. Apalagi kamu Aisyah, kenapa kamu tega menuduh saudarimu sendiri?"

Aisyah mengusap telapak tangan secara berulang-ulang, tanda ia sedang gugup. Perasaannya sangat sensitif, ia tidak bisa dibentak ataupun diomeli seperti ini.

Ashilla yang sudah kembali mengambil stoples biskuat cokelat langsung terdiam sejenak kala mendengar nada tak santai dari ayahnya. "Ayah?" Gadis itu meletakkan stoples di meja, lalu berjalan mendekati sang ayah. Kedua tangan gadis itu meraih telapak tangan Ustaz Rifki dengan lembut penuh kehati-hatian. "Coba berdiri dulu," lanjut Ashilla.

Ustaz Rifki menghela napas kasar, namun ia tetap menuruti usulan salah satu putri kembarnya. Ashilla tahu bahwa ayahnya sedang dalam keadaan emosi, akan tidak baik jika berkelanjutan. Dengan sayang, gadis itu mengusap ibu jari Ustaz Rifki.

"Lihat, Yah, jariku mungil bangat kalau pegang tangan Ayah." Lalu Ashilla membalas tatapan Ustaz Rifki, ditambah senyum dengan lesung pipit yang terlihat begitu manis. "Sama seperti perasaan Aisyah, saudariku—atau bahkan aku, cukup rapuh. Bahkan seekor anak kucing pun akan lari, jika ia mendengar suara yang keras."

Ustaz Rifki langsung beristigfar. Ia sadar bahwa dirinya sudah terbawa emosi dan perasaan kecewa yang cukup besar, sehingga lupa akan satu hal; perempuan memiliki hati yang lembut. Apalagi Aisyah yang sedari kecil memang memiliki perasaan sensitif.

"Maafkan Ayah, Ashilla."

Ashilla memeluk ayahnya, kemudian menepuk pelan punggung pelukable itu. "Bukan ke Ashilla, Yah."

Pandangan Ustaz Rifki mengarah pada Aisyah, yang masih tertunduk. "Aisyah?" Gadis itu pun mengangkat wajahnya. "Maafin Abi, ya, Nak."

Aisyah terpaku. Ustaz Rifki mengucapkan kalimat maaf sambil tersenyum tulus. Hatinya terketuk, hingga air mata menetes. "Ma-afin Aisyah juga, Abi."

Jika di kediaman Ustaz Rifki tengah bersukacita karena terbebasnya Ashilla dari segala tuduhan, lain halnya di salah satu kamar santriwati yang terlihat heboh serta riuh.

"Hei ... pada tahu gak tadi aku denger kalau yang bunuh itu bukan Ashilla, tapi Aisyah," oceh seorang perempuan berkerudung merah, santriwati yang tadi mengantarkan minum serta makanan ke kediaman Ustaz Rifki.

"Gosip kamu. Mana ada kaya gitu, Aisyah kan anaknya baik banget, lempeng, gak banyak ulah kaya Ashilla. Salah denger pasti," sahut yang lainnya, terlihat ia tengah sibuk melipat pakaian.

"Ish, gak percayaan banget sih jadi orang. Tanyain tuh sama si Kasih, tadi kan dia nemenin aku ke rumahnya Ustaz Rifki," ujar si kerudung merah, bernama Zaenab.

"Iya bener kok, aku denger sendiri malah, kan, tadi kita nguping. Bahkan Ustaz Rifki marahin Aisyah karena dia berani bohong dan nuduh Ashilla," imbuhnya semakin menjadi.

"Tuh kan, bener, kabar dari aku mah gak usah diragukan lagi pasti valid, no hoak," cetus Zaenab begitu jemawa.

"Gosip terus kalian mah, gak baik tahu. Itu sama aja kaya kalian makan bangkai saudara kalian sendiri," peringat Juwita yang sedari tadi hanya menyimak saja. Ia merasa panas telinga mendengar dan melihat tiga teman sekamarnya yang begitu gemar berghibah.

Pantas saja neraka banyak dihuni oleh kaum hawa, karena mereka tak mampu menjaga lisannya. Jika perkataan itu memang benar jatuhnya akan menjadi ghibah, dan jika perkataan itu salah jatuhnya akan menjadi fitnah. Bukankah fitnah lebih kejam dari pembunuhan? Dan bukankah pula jika berghibah tidak dibenarkan dan merupakan perbuatan tercela.

Astagfirullah, semoga ia tak termasuk ke dalam golongan teman-temannya itu. Meskipun hanya sekadar mendengar dan tidak ikut bergabung, tetap saja ia merasa berdosa jika tidak mengingatkan. Dan untuk perihal diterima atau tidaknya, terserah saja. Toh ia sudah menyampaikan kewajibannya, saling mengingatkan dalam kebaikan.

"Alah jangan sok bener deh, paling juga kamu curi-curi denger dan nanti akan kamu sebar ke santri lain kan? Udah ketebak akal bulus kamu," ujar Kasih tak terima.

"Terserah kalian saja, seharusnya kalian tidak mengumbar aib orang lain. Gak baik tahu, gimana kalau Allah bongkar aib kalian? Mau gitu kalian dijadiin bahan ghibah satu pesantren."

Setelah mengatakan kalimat itu, Juwita dengan segera keluar dari kamar. Bisa habis kesabaran jika ia terus memaksakan diri tetap di sana. Bisa jadi juga ia akan ikut ketularan dosanya. Nauduzbilah.

Aisyah mengusap lehernya tidak nyaman. Entah ada apa dengan para santriwati, mereka tampak asyik berbisik bukannya memerhatikan dirinya yang tengah mengajar.

"Kalian sudah paham?" tanya Aisyah seraya menunjuk kalimat 'BILANGAN BULAT' di papan tulis.

Salah satu anak mengangkat tangan, namanya Azmi, kelas 6 SD. "Ustazah, saya ingin bertanya."

"Ya, Azmi, silakan."

Azmi tampak ragu, terlihat dari bola matanya yang melihat ke segala arah kecuali Aisyah. "Saya mendengar gosip bahwa U-Ustazah telah berbohong," ujar anak berumur 12 tahun tersebut.

Aisyah tentu saja terkejut mendengar hal tersebut, akan tetapi ia berusaha menutupi. "Kamu dengar dari mana, Azmi? Tidak boleh menuduh orang seperti itu," sahut Aisyah.

"I-itu."

"Semua orang di pesantren hampir semuanya tahu, Ustazah. Maukah Ustazah menjelaskan pada kami faktanya?" Gadis lainnya tampak tidak sabaran, ia duduk persis di sebelah Azmi.

"Ustazah―"

Syukurlah, pikir Aisyah kala ia mendengar bel tanda jam pelajaran telah usai. "Ustazah rasa pelajaran hari ini cukup, jangan lupa belajar ya. Assalamu'alaikum?" Setelah itu Aisyah pergi keluar ruangan dengan terburu-buru.

Sepanjang jalan kepalanya hanya menunduk dan memegang kuat buku yang ia pegang di dada, kecemasan dalam diri semakin menyeruak dengan begitu hebat. Bahkan akal sehatnya mungkin sudah sedikit terganggu karena marah dan kesal.

Tanpa ampun dan belas kasihan Aisyah langsung melempar stoples biskuat cokelat milik Ashilla, padahal gadis itu tengah asik menonton kartun di televisi dengan ditemani camilan kesukaannya.

"Lo apa-apaan sih? Ganggu gue aja!" Dengan sedikit kesal Ashilla memungut biskuat cokelat yang sudah berserakan di lantai, stoples itu baru diisi penuh oleh ayahnya, mungkin baru ia makan beberapa buah saja. Tapi yang Aisyah lakukan malah membantingnya, hal itu sangat melukai Ashilla.

"Kamu yang apa-apaan, Ashilla! Mulut kamu gak bisa dijaga. Gak bisa jaga rahasia!" tegas Aisyah, bahkan telunjuk perempuan itu menunjuk sadis tepat di kedua bola mata saudari kembarnya.

Dengan penuh emosi Ashilla menjauhkan tangan Aisyah. "Lo bisa gak sih tenang dikit jadi orang? Kalau tubuh lo dikuasi sama manusia keparat itu gimana?!"

Aisyah berdecih penuh rasa tak suka. "Kamu yang bikin gosip itu?"

"Gosip apaan sih. Gak jelas banget lo! Datang-datang nuduh gue sembarangan. Mulut lo kontrol dikit napa!" kata Ashilla ikut tersulut emosi.

"Ashilla, kamu kan, sudah janji ini rahasia kita berdua!" tutur Aisyah membuat Ashilla sedikit bingung tak mengerti.

"Satu pesantren ghibahin aku gara-gara kamu yang kasih tahu soal kasus pembunuhan itu!"

Emosi Ashilla langsung memuncak pada skala tertinggi. "Kurang ajar! Siapa yang berani nyari ribut sama gue. Gue gorok juga leher mereka semua, sekalian gue potong lidahnya juga!"

Ia langsung bergerak cepat keluar rumah dengan tangan sibuk menyingsingkan lengan kemeja yang tengah ia gunakan.

Aisyah langsung sadar bahwa Ashilla bukanlah pelaku utama dari gosip itu, ia pun segera menahan lengan saudarinya. "Jadi, bukan kamu yang ngelakuin itu?"

Ashilla menepis kasar tangan Aisyah, masih kesal karena biskuat kesayangannya harus mencium lantai. "Udah gue bilang, gue gak tahu! Awas, gue mau basmi itu virus," jawab Ashilla tanpa ragu.

Langkah Ashilla menelusuri koridor asrama khusus perempuan. Di sana, beberapa anak ada yang berkelompok membicarakan sesuatu. Telinga Ashilla rasanya panas mendengar cuitan mereka, akhirnya gadis itu memilih untuk bertanya.

"Kalian dapat berita begitu dari mana?"

"K-Kak Shilla?!"

"A-anu, Kak."

"Anu-anu, cepetan jawab!" kesal Ashilla.

"Z-Zaenab, Kak. Dia bilang kalau kakak dituduh sama Aisyah, apa itu benar?" Memang tidak tahu diri, masih saja menyelipkan kalimat ingin tahu, pikir Ashilla.

"Kalian panggil gue kakak, kenapa ke Aisyah enggak? Satu lagi, gue hitung satu sampai sepuluh, kalau di antara kalian gak ada yang panggil Zaenab suruh ngadep gue, kalau enggak gua bakalan hukum kalian semua." Ashilla merasakan kepuasan tersendiri ketika melihat wajah pias nan cemas mereka.

"Sepuluh!"

Bagaikan segerombolan semut yang ditetesi air, mereka serempak berlarian menuju ke arah yang sama; kamar Zaenab.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro