
16 - Jurus Pertama
"Sial, bukan Lowo Duri yang mengambil umpannya," geram Sruni. Dia mengawasi bagaimana rombongan kelelawar itu melintas siang hari dan menyisakan hanya tulang belulang ayam itu saja.
Maruli dari sisi yang lain mengirim kode ke Agni. Agni mengirim kode ke Sruni. Si Bongkok tidak mengalami kepala berdenyut. Mereka semua masih menutupi tubuh mereka dengan kain gelap.
"Bagaimana ini, Sruni?" seru Bima.
Sruni menyuruhnya diam dari jauh. Karena itu salah satu yang dapat mengundang Lowo Duri, dia terpikirkan cara lain. "Lowo Duri!" seru Sruni. Dia sambil memberi aba-aba ke yang lain agar ikutan berisik.
Maka yang lain ikutan berisik. Maruli enggan mengeluarkan suaranya kencang-kencang. Agni mendendangkan syair campur-campur. Bima berteriak mengutuk dan menjelek-jelekkan Lowo Duri. Bara menyanyikan dengan nada sumbang kutukan dan ejekan dari Bima.
Hasilnya hanyalah serombongan kelelawar biasa yang terbang rendah di sekitar langit mereka. Si Bongkok mengamati. Dia juga sambil mengingat bagaimana tadi malam Lowo Duri muncul. Si Bongkok bersuit, memanggil Sruni, ketika Sruni menoleh dia memberi kode untuk melihat waktu.
"Tarik mundur!" seru Sruni. Maka masing-masing pendekar mundur dan berkumpul ke mulut pintu masuk ke bawah tanah.
"Ada apa, Sruni?" tanya Bima.
"Kita beraksi ketika agak gelap," kata Sruni.
Dari pintu masuk bawah tanah, muncul Ranto dan Rintis membawakan dua ekor ayam disembelih lagi. segera Sruni membungkus dua ekor ayam itu menggunakan kain hitam.
Rombongan kelelawar sudah tidak kelihatan di langit. Mereka menunggu matahari terbenam. Dari titik mereka berdiri, langit di ujung barat cukup terlihat menarik. Semburat hijau yang diterpa sinar matahari menampakkan keindahan. Meski dalam situasi penuh wabah seperti sekarang, langit di sana masih menawarkan kekaguman.
Sambil menunggu mereka mengisi perut mereka. Ranto dan Rintis membawakan bongkahan roti yang baru dipanggang. Si Bongkok mengambil minuman rasa buah dari kereta mereka.
"Oke, sekarang waktunya beraksi lagi," kata Sruni, menuntaskan istirahat mereka.
"Oke," jawab Agni dan Maruli serentak. Bara menyiuli mereka. Agni memberi isyarat bogem ke Bara. Maruli cengar-cengir saja.
Kini si Bongkok diutus mengikuti Agni dari belakang. Mereka kembali ke posisi tadi. Mereka lempar dua ekor ayam. Menanti. Agni melihat si Bongkok belum juga sakit kepalanya.
Bima mengoceh keras. Menambah umpan. Tapi rombongan kelelawar tidak muncul juga, apalagi Lowo Duri.
Sruni berpikir keras. Dia kepikiran cara yang berbahaya. Insting para pendekar cukup tajam. Dia akhirnya maju, keluar dari tempat perlindungannya sambil membuang jubah hitam pelindung.
"Sruni, apa yang kau lakukan?" seru Agni.
Sruni berdiri di dekat bangkai ayam. Tangannya bersiap memegang tali berujungkan duri. Dia mengundang temannya yang lain untuk bergabung. Bima dan Bara tak ragu, mereka berdua langsung bergabung, membuang jubah hitam pelindung. Akhirnya disusul oleh Agni dan Maruli, si Bongkok ikut dari belakang.
"Argghh!" si Bongkok berlutut.
"Ini dia. Bersiap semuanya," seru Sruni.
Dari arah pintu desa, langit yang sudah menggelap tambah gelap lagi karena rombongan kelelawar yang mengikuti Lowo Duri. Lima pendekar memutar-mutar tali berbandul duri.
Lowo Duri kian dekat, dia terbang rendah. Sementara itu si Bongkok kesakitan di tanah, dia menggelepar-gelepar sampai menindihi bangkai ayam. Lowo Duri semakin dekat.
"Sekarang!" seru Sruni. Mereka lompat serentak saat Lowo Duri mulai memuntahkan duri-durinya. Lima pendekar lompat naik ke atas atap rumah di lima posisi. Segera mereka tak menyiakan kesempatan, melempar duri ke arah Lowo Duri. Ketika dirasa sudah menancap mereka lompat turun dan menarik dan menggulung tali mereka.
Rombongan kelelawar kocar-kacir marah dan menyerang mereka dengan sabetan sayap. Para pendekar bertahan. Lowo Duri kalang kabut menembakkan duri-durinya. Para pendekar susah payah menghindari.
"Keparat!" Bima terkena sayatan duri. Dia langsung mengentakkan talinya dengan kuat sampai Lowo Duri jatuh ke tanah. Segera para pendekar menindihi sayap Lowo Duri yang membentang sepanjang tiga meter.
Sruni melemparkan pisau ke arah si Bongkok. Si Bongkok masih menderita karena guncangan kepala. Dia melihat pisau tergeletak di sampingnya. Dia menoleh ke arah Sruni. Sruni mengangguk.
Si Bongkok menahan sakit, terguncang, mengambil pisau itu dan bergerak tertatih-tatih. Dia menembus gelombang rombongan kelelawar yang menghalangi jalannya. Ketika dekat lagi ke Lowo Duri, dia lompat sebisanya dan menancapkan pisau itu ke dada Lowo Duri, lalu dia tarik ke bawah membedah perut.
Empasan energi mementalkan mereka berenam. Itu diiringi oleh lengkingan tajam yang menyakitkan telinga. Duri-duri berkelebatan menancap ke dinding-dinding rumah. Mereka berenam merunduk melindungi diri.
Lalu angin topan kecil muncul di titik Lowo Duri kelojotan setelah dibedah memuncratkan organ dalamnya. Ketika semuanya berakhir, para pendekar mendongak, melihat ada cahaya berputar-putar di titik Lowo Duri yang kini sudah lenyap.
Mereka bangkit, mendekati cahaya itu. Para pendekar mempersilakan Sruni untuk mengambil sesuatu di balik cahaya itu. Sruni terpukau, dia hati-hati menjulurkan tangannya menembus lapisan cahaya. Dia menemukan sebuah gulungan. Saat tangannya menyentuh gulungan, cahaya pembungkus hilang.
"Inikah jurus pertama itu?" tanya Bima.
Sruni mengangguk sambil menitikkan air mata bangga.
Bara senang, dia tos dengan Bima. Maruli tepuk tangan. Agni mendekat ke Sruni. Sementara itu si Bongkok sudah hilang sakit di kepalanya. Pelan-pelan memosisikan dirinya duduk.
Dari pintu bawah tanah, Ranto dan Rintis yang sudah mengabari warga lain kalau para pendekar berhasil membunuh Lowo Duri, warga desa berbondong keluar. Mereka sorak sorai gembira. Wanja keluar belakangan. Terpukau melihat suasana desa di petang hari yang mestinya gelap, kini kelihatan jauh lebih terang dan hangat.
"Jati!" seru Sruni.
Agni menyeret si Bongkok untuk gabung ke lingkaran mereka.
Sruni menyerahkan gulungan itu ke Bongkok. Bima dan Bara yang tadinya kelihatan antusias, kini menatap tajam campur sinis. Si Bongkok takut-takut menerima gulungan itu, dia lirik sana sini ragu.
"Kau bisa, Jati," Sruni memberi semangat.
Si Bongkok membuka ikatan pada gulungan itu. Dia menggelarnya. Para pendekar tidak bisa melihat apa-apa selain perkamen kosong tak ada tulisannya. Sementara itu si Bongkok terpukau, membelalak matanya diterpa aksara keemasan. Ada pancaran hangat yang merasuk mulai dari bola matanya, masuk ke dalam benak, lalu menjalar melalui pembuluh darahnya ke seluruh tubuh.
Tiba-tiba si Bongkok melayang di udara. Dia melantunkan aksara dewa yang dapat dia baca dari gulungan itu. Otaknya sedang menerjemahkan aksara itu. Tulisan aksaranya cukup panjang.
Ada bagian dari tubuh si Bongkok yang dapat dirasanya tengah mengelupas. Sekeping sisik borong jatuh ke tanah tanpa yang lain sadari.
"Bagaimana, sudah belum?" Bima jengah, kakinya mengentak-entak tanah.
Warga yang sedang gembira tengah asyik sendiri masuk ke rumah masing-masing untuk menempatinya lagi. Wanja dan dua ajudannya mengawasi para pendekar dari jarak aman.
"Sabar, Bima,"tegur Sruni.
Si Bongkok mulai mendarat, dia menggulung lagi perkamen itu. Dia berlutut, memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut lagi tapi tidak sakit. Justru seperti sedang dipijat enak.
"Beri aku waktu menerjemahkan aksara dewa ini, aku belum terbiasa," pinta si Bongkok.
Semua mengangguk. Sruni, Agni, dan Maruli membantu si Bongkok berjalan menuju rumah Wanja. Rumah kepala desa lebih besar dari yang lain karena gabung dengan balai pertemuan. Di situ para pendekar menyelonjorkan kaki beristirahat dari kemenangan pertama mereka.
Setelah ditunggu sambilmenyantap sajian dari istri Wanja, si Bongkok berdiri dan menjentikkan jaritangan kirinya. "Nama jurusnya adalah Jurus Rambut Berduri!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro