
1 - Pertemuan Sepuh Guru
Tanah Bhumidewa, membentang dari ujung ke ujung bumi yang bulatnya mencembung seperti telur. Tiap ujungnya hampir bertemu. Dipisahkan oleh sebuah selat yang serupa tabir gaib. Berupa lembaran cahaya hijau aurora. Jaman dahulu kala, orang-orang Bhumidewa percaya, jika perjalanan menuju ke barat sampai tuntas dan menyeberang laut demi menuju titik mula, maka mereka akan dibawa ke langit. Tempat para Dewa bersemayam.
Ribuan tahun makhluk di tanah Bhumidewa hidup, belum ada satu orang pun yang mampu membenarkan kepercayaan itu. Bhumidewa tanahnya subur dan memiliki kekuatan magis di beberapa tempat khusus. Tiap tempat itu kemudian didirikan perguruan bela diri. Tanah Bhumidewa dipenuhi para pendekar ulung.
Ada lima perguruan utama. Sasaklangit, Warnajingga, Puanpuan, Latahansatu, dan Sentrajagat. Meski begitu, tak menghalangi tiap kota di bawah lima belas kerajaan untuk mendirikan perguruan silat lain. Selama ratusan tahun tanah Bhumidewa subur dilindungi oleh para pendekar.
Tentu saja, pihak jahat selalu ada. Mulai dari siluman, pendekar ilmu hitam, utusan iblis, hantu linimasa, cecunguk pasar yang membentuk kongsi global, dan lain-lain yang berpikiran buruk. Para pendekar dari lima perguruan ternama selalu bisa memukul mundur mereka hingga kapok. Menghitung mundur dari masa sekarang sampai lima puluh tahun sebelumnya, tanah Bhumidewa lagi sedang damai-damainya.
Lima belas kerajaan pun tak ada satu pun yang berpikiran untuk tampil superior dari pada yang lain. Terakhir ada seperti itu sekitar lima ratus tahun lalu. Itu pun kerajaannya sudah dimusnahkan dan tumbuhlah kerajaan baru yang lebih agung bijaksana.
Para sepuh guru di setiap perguruan, adalah orang-orang yang mampu berkomunikasi dengan dewa. Mereka akan naik ke puncak tertinggi tanah-tanah berdaya magis, melalui samberan petir mereka berbincang. Setiap raja selalu mendengarkan perkataan sepuh guru. Sepuh guru membentuk sebuah komunitas dewan yang membicarakan kemaslahatan tanah Bhumidewa dari masa awal waktu sampai akhir jaman.
Sampai pada suatu waktu, lima sepuh guru berkumpul di sebuah kedai atas langit. Yaitu tempat mereka bertemu tanpa meninggalkan raga dari tempat masing-masing. "Para Dewa akan menurunkan sebuah kitab seribu satu jurus," kata Sepuh Guru Warugeni dari Sasaklangit.
"Apa guna kitab jurus itu? Tiap perguruan kita sudah punya kitab kumpulan jurus masing-masing," tanggap Sepuh Guru Jinggoroyo dari perguruan Warnajingga.
Sepuh guru perempuan Ratushia dari perguruan Puanpuan yang cantiknya seperti bidadari meski sudah berusia ratusan tahun, tampak tertarik, dia punya pemikirannya sendiri. "Para sepuh, kita mesti hati-hati ketika para Dewa menjanjikan hal seperti itu. Tanah Bhumidewa sudah ratusan tahun berdamai. Aku merasa, para Dewa ingin mengadakan sebuah permainan. Ingin menguji kita."
"Dari jaman dulu sampai sekarang, makhluk di atas tanah Bhumidewa selalu bisa melewati ujian yang diberikan para Dewa, aku yakin, kitab sakti sejagad itu hanyalah alat untuk membuat kehidupan lebih baik," kata sepuh guru dari Latanahsatu bernama Tandoriman.
"Benar, aku yakin, kitab itu tujuannya baik. Aku selalu percaya kepada Dewa," kata sepuh guru Jiban, dari perguruan Sentrajagat yang paling alim dan selalu berdoa kepada para dewa yang berjumlah seratus satu.
"Benar, kitab seribu satu jurus itu dinamakan Kitab Sakti Sejagat. Apabila para sepuh guru tidak ada penolakan atas turunnya kitab itu, maka setiap kita bersama lima pendekar unggulan di tiap perguruan, mesti melakukan ritual penerimaan wahyu dari langit di atas puncak tanah magis," lanjut Sepuh Guru Warugeni.
"Berarti kitab ini akan terbagi jadi lima jilid? Atau satu jilid yang langsung salinannya kita terima dalam satu waktu bersamaan?" tanya sepuh guru Ratushia.
"Lima jilid. Tugas kita adalah untuk menjaganya dan menggabungkannya," tanggap sepuh guru Warugeni.
"Kekuatan seribu satu jurus, barangkali akan menyamai para dewa," decak sepuh guru Jiban.
"Benar, barangsiapa yang mampu menguasai semua jurus itu, maka tempatnya akan berada di kahyangan bersama para dewa. Pertanyaannya, siapa yang sanggup? Aku sangsi ada pendekar di tanah Bhumidewa yang mampu," ujar sepuh guru Jinggoroyo.
"Kecuali dia yang berdarahkan campuran dewa," kata sepuh guru Warugeni.
"Memangnya masih ada makhluk semacam itu? Sejauh pencatatan dalam kurun waktu dua ratus tahun, tidak ditemukan makhluk yang berdarah campuran dewa. Itu hanya mitos. Dewa-dewa sudah tidak main lagi dengan makhluk bumi yang fana," kilah sepuh guru Tandoriman.
"Kita tidak pernah tahu, sepuh guru Tandoriman. Bahkan kita yang kesaktiannya paling tinggi di tanah Bhumidewa, tidak pernah tahu setiap kecil apa pun yang terjadi di sekitar kita. Kita hanya tahu, bila kita melihat dan mendengar langsung," kata bijak sepuh guru Warugeni.
"Baiklah, kalau begitu tugas kita sudah jelas. Kita akan berada di tiap puncak tanah magis pada malam terang tanpa awan. Itu artinya dalam waktu lima hari lagi," kata sepuh guru Ratushia.
"Tunggu dulu, apakah pihak kerajaan perlu tahu tentang ini?" tanya sepuh guru Jiban.
Semua saling pandang, lalu sepakat. "Mereka akan diberitahu ketika semua kitab sudah kita pegang dan satukan," kata sepuh guru Warugeni.
Mereka mencapai kesepakatan. Setiap pertemuan mereka jarang sekali ditemui selisih paham yang berakhir pertengkaran. Selama ratusan tahun, mereka menjaga perdamaian satu sama lain. Kepercayaan satu dunia berada di pundak mereka. Intrik personal terhadap kekuasaan tak lagi penting bagi mereka.
Mereka kembali ke tempat masing-masing. Sepuh guru Warugeni sukmanya kembali ke raganya yang sedang semadi di kamar sebuah menara di perguruan di balik tebing dan bukit berbatu tinggi melayang Sasaklangit. Abdinya yang senantiasa menungguinya, bangkit tergopoh karena postur tubuhnya yang bongkok.
Mata abdi itu agak benjol karena kelopak matanya yang sangat tebal. Itu bawaan dari lahir, dia mengaku. "Jati Saka," panggil Sepuh guru Warugeni.
Dari semua orang hanya sepuh guru yang memanggilnya dengan nama lahir pantas, Jati Saka. Sepuh guru menemukan Jati Saka di pinggiran sungai, di atas sebuah peti buah. Bayi kecil meringkuk dengan kondisi tubuh penuh borok membatu, punggung bongkok, dan hidung seperti paruh beo.
"Siap, sepuh guru, hamba di sini," sahut si Bongkok. Seperti orang-orang memanggilnya.
"Sentuh tanganku, Jati Saka," pinta sepuh guru Warugeni.
Ragu, si Bongkok menyentuh tangan kurus keriput sepuh guru Warugeni yang tiap jarinya tersemat cincin batu akik. Tangan si Bongkok sendiri seperti akar tanaman yang dirubung kutu. Sentuhan pada tangan sepuh guru seperti memberi sengatan listrik ke jari si Bongkok. Si Bongkok kaget, dia mundu beberapa langkah, terengah-engah.
"Kau tahu arti barusan, Jati Saka?" uji sepuh guru Warugeni.
Si Bongkok menggeleng jujur tak mengerti.
"Takdirmu sudah membentang di depan mata. Akan ada peran untukmu di tanah Bhumidewa ini. Apakah kau pernah merasakan pertanda seperti itu?"
Si Bongkok menggeleng jujur tak mengerti lagi.
"Kelak kau akan tahu. Sebentarlagi bahkan," kata sepuh guru Warugeni, tersenyum lembut. Senyuman yangmemberikan kekuatan serta harapan pada si Bongkok yang sering diperlakukan burukoleh manusia.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro