Bulan bercerita [Yang Ingin Disampaikan]
Yang Ingin Disampaikan
Oleh zzztare
Masih tahun kedua di pondok saat Arin menerima kabar itu. Disampaikan melalui surat, lewat kepala asrama. Rasa tidak betah yang berhasil Arin atasi saat awal-awal masuk kini kembali menyerangnya. Lebih kuat. Lebih hebat.
“Bunda membohongi kami semua. Aku, bahkan Ayah.” Arin nyaris meremas surat itu jadi bola, tetapi urung. Ia ingin menangis, tetapi ego menahannya. Ia ingin pulang dulu, baru menangis. Ia benci. Benci semuanya. Mengapa ia dipaksa masuk pesantren? Ayah yang menyuruhnya. Kini, ia jadi berjauhan dengan Bunda, di saat kritisnya.
Arin berkeras ingin pulang. Kepala asrama berkali-kali mengingatkan, pulang tanpa urgensi akan menyebabkan diturunkannya surat peringatan. Arin tak peduli. Sebenarnya, ia memang ingin keluar.
“Ibuku sakit dan aku anak satu-satunya.” Entah mengapa, saat mengatakan hal itu, hati Arin seakan berdenyit. Ngilu.
“Apa ibumu … dirawat di rumah sakit?” Kepala Asrama tampak melunak. “Apa tidak ada yang menjagainya?”
“Ada atau tidak, aku harus tetap berbakti pada Bunda.” Arin sudah menahan tangisnya. “Aku memang tahu kabarnya dari Ayah, tapi aku tahu seberapa enggak becusnya Ayah sebagai kepala keluarga.”
Kepala Asrama terhenyak mendengar kalimat itu, bahkan mulutnya sempat ternganga beberapa detik. Senior lulusan empat tahun lalu itu kemudian mengangguk. “Tapi ….”
“Kak Nisa.” Arin mencengkeram pinggiran meja, tampak amat galau. “Aku tidak peduli meski aku harus dikeluarkan. Aku mau di sisi Bunda. Aku … enggak masalah kalau enggak boleh kembali.”
Napas Nisa memburu. Gadis di hadapannya punya niat terselubung. Bukan hanya menjenguk ibunya, melainkan juga kabur. Kabur dan tidak kembali selamanya.
Arin memang ingin keluar.
“Kita harus bicarakan ini ke Kepala Sekolah …” Nisa tampak tegang. Ia mungkin terbiasa dengan anak-anak keras kepala yang sulit diatur, termasuk Arin saat baru masuk dulu. Namun, Arin sudah menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Ia berbalik menjadi anak penurut selama tingkat dua. Mana ia tahu, Arin memendam suatu keinginan selama ini?
Hasil dari perundingan alot itu, beberapa hari kemudian, Ayah menjemput Arin dengan tatapan sedih sekaligus bertanya-tanya.
Arin tak peduli meski ia dihujani pertanyaan, pun tatapan merendahkan. Yang ia inginkan hanya ibunya. Bahkan, ia melengos ketika Ayah mengajaknya bicara.
“Dien … ini keinginan ibumu. Dia ingin kamu jadi anak baik-baik dan penurut, punya ilmu agama bagus ….”
“Tapi percuma kalau Bunda sakit.” Arin menunduk, menahan air matanya. “Buat apa aku kalau enggak ada di sisinya pas lagi dibutuhkan.”
Ayah hanya menghela napas. Terlihat betul apa yang akan terjadi hari-hari ke depan. Dugaannya benar. Yang terjadi setelah itu adalah Arin setia di sisi ibunya, di rumah sakit.
“Kenapa Bunda nyembunyiin semua?” bisik Arin.
Bunda, dalam balutan kerudung putihnya, tersenyum tenang. Beliau tak tampak seperti orang penyakitan sama sekali. Justru Arin yang terlihat kacau.
“Arin … anakku.”
Arin menatap Bunda penuh harap.
“Bunda enggak akan mempertanyakan alasanmu memilih keluar pesantren.”
Mata Arin berkaca-kaca. “Ya, ‘kan? Bunda tahu alasanku, ‘kan? Enggak kayak Ayah ….”
Bunda meletakkan telunjuknya di bibir Arin. Gadis itu langsung terdiam.
“Bunda enggak paham masalah kesehatan. Kirain bakal sembuh sendiri, ternyata sudah parah. Baru ketahuan pas waktu itu terasa nyeri sekali, akhirnya periksa untuk pertama kali. Sudah stadium empat rupanya. Arin, kalau kamu merasa ada yang janggal dengan dirimu, segera periksakan, ya. Jangan ragu.”
Arin menunduk sambil menggigit bibirnya. Surat yang datang padanya waktu itu membuatnya syok. Bagaimana tidak? Bunda, yang selama ini sehat-sehat saja, tiba-tiba didiagnosis kanker payudara stadium IV. Bukankah itu sudah parah? Mengapa Bunda tidak menyadarinya selama ini?
“Bunda tetap mau kamu tumbuh sebagai anak perempuan baik-baik.” Bunda mengusap setetes air mata yang luruh di pipi anaknya. “Penurut, tenang, dan punya bekal ilmu agama yang kalau bisa lebih banyak dari Bunda ….”
“Bunda … enggak akan pergi, ‘kan?” Air mata Arin makin menderas. Firasatnya buruk. Sangat buruk. “Aku enggak punya kerabat perempuan lain. Aku enggak punya teman. Bunda jangan pergi, nanti aku enggak punya siapa-siapa. Aku enggak mau sendirian.”
“Kamu enggak akan sendirian. Ada ayahmu--”
“Orang tua enggak becus yang bahkan enggak sadar kalau istrinya sakit?” tukas Arin.
“Dien Ariannisa.”
Arin terdiam mendengar Bunda memanggil nama lengkapnya dengan suara yang amat tenang.
“Yakinlah, kamu enggak akan sendirian.” Bunda kini menggenggam tangan Arin. “Bahkan meski kamu memutuskan keluar pesantren, meski kamu tidak berteman dengan banyak orang sejak SD …. Kamu memiliki masa lalu yang lebih kuat. Orang-orang itu akan kembali padamu.”
“Masa lalu? Orang-orang?” Arin tak mengerti.
“Ya … misalnya, sahabat Bunda dan keluarganya. Kamu mungkin belum pernah bertemu dengannya, tetapi beliau adalah salah satu perempuan selain Bunda yang bisa kamu andalkan. Atau mungkin bisa juga teman lamamu.” Bunda menarik napas agak panjang sebelum melanjutkan. “Dan juga, seseorang yang mungkin kamu lupakan.”
“Lupakan?”
“Bunda memimpikan diari Bunda yang sudah lama hilang ….” Bunda menghela napas. “Di sana, ada tulisan soal kamu dan … satu orang lain, yang tampaknya pernah ada dalam pengawasan Ayah Bunda?”
“Eh?” Hari Arin tiba-tiba mencelos. Mungkin, ia tak akan terlalu menganggapnya jika ia tidak ingat akan perasaan aneh tiap ia menyebut dirinya sebagai anak tunggal. “Aku punya … saudara?”
Bunda hanya tersenyum tipis. Senyum yang entah bagaimana, tiba-tiba mendorong perasaan bersalah Arin. Ia takut. Takut kehilangan Bunda sebelum berbuat apa-apa.
“Bunda, apa Bunda merestui semua yang kulakukan?” bisik Arin kalut. “Maaf karena aku sempat enggak betah dan ingin pulang dari pesantren. Tapi, kali ini … aku merasa, aku harus bersama Bunda.”
“Perasaanmu pasti enggak salah, Arin. Bunda juga ingin melihatmu di sini, saat ini. Bunda merestuimu ….”
Tepat saat itu, ekspresi Bunda berubah. Mengernyit, menahan sakit. Arin gemetar, tangannya panik mencari-cari tombol untuk memanggil … entah. Siapa pun yang kiranya dapat membantu.
Siapa pun, datanglah. Siapa pun, tolong Bunda!
Takdir tak dapat dielak, malang tak dapat ditolak. Bunda mengembuskan napas terakhirnya hari itu, ketika Arin histeris memanggilnya dari balik pelukan Ayah. Arin benar-benar merasa hampa. Namun, kehangatan itu datang dari sosok yang memeluknya. Sosok yang sama-sama kehilangan, seperti dirinya.
“Ayah … maafkan aku.” Arin terisak di pelukan ayahnya. “Maafkan aku yang kurang ajar. Maaf …! Aku, aku … Bunda ….”
Semoga Bunda tidak kecewa. Aku sudah berbaikan dengan Ayah. Aku sudah meminta maaf padanya.
Hari-hari berikutnya, Arin sibuk mengembalikan hubungan baik dengan sang Ayah. Makan bersama, jalan-jalan berdua, saling bercerita, apa pun yang bisa merekatkan keduanya.
Hingga suatu hari, Ayah memberikan robekan kertas pada Arin.
“Ibumu merobeknya sejak lama. Entah bukunya ada di mana sekarang, tapi Ayah yakin, dia ingin kamu membaca ini.”
Arin menerimanya dengan tangan gemetar. Surat wasiat?
Bukan. Itu hanya potongan buku harian.
Ralat, itu lebih dari hanya.
Aku yakin hal ini akan terlupakan, jadi aku menuliskannya. Aku akan merobek halaman ini dan meletakkannya di bawah tumpukan pakaian, andai sesuatu terjadi padaku atau bukuku menghilang. Nuris bisa menemukannya sewaktu-waktu dan Dien bisa membacanya.
Saat aku dan Nuris pulang dari dinas, hampir bisa ditebak, Dien tinggal satu-satunya anak di rumah. Arya pun tak bisa ingat ketika ditanya. Ada yang terpotong dari ingatan mereka, yang aku dan Nuris yakini sebagai kelakuan curang orang itu--semacam hipnosis, atau apa pun yang bisa jadi membuat seseorang lupa ingatan.
Ada yang hilang, ingatan kami semua tak sampai. Namun, aku tahu dari kamar berantakan yang tidak berpemilik, dari buku-buku pelajaran yang terserak.
Nama anak itu Eugeo Amirullah.
Sebelum Dien cukup kuat merelakan kepergiannya, aku tidak akan mengatakannya. Yah, mungkin, suatu saat nanti ia akan menemukan kertas ini dan membacanya.
Ingatkah ia akan saudaranya?
Tangan Arin gemetar hebat setelah itu. Ia memang punya saudara. Saudara yang terlupakan. Saudara yang … tidak ia ingat sama sekali tampangnya.
“Ayah!” Arin berseru dengan suara tertahan. “Aku akan menemukan saudaraku!”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro